Kali ini saya akan berbagi materi tentang psikologi olahraga..
Materi saya dapat dari dosen matakuliah psikologi olahraga Drs.Heru Suranto, M.Pd, dengan izin beliau..
Jurusan
Pendidikan Olahraga dan Kesehatan
Fakultas
Keguruan Ilmu Pendidikan
Universitas
Sebelas Maret
Surakarta
2012
B A B I
PENDAHULUAN
Sejalan
dengan berkembangnya ilmu dan teknologi yang semakin pesat di jaman modern
sekarang ini, ternyata banyak memberi kemudahan dan kesejahteraan bagi umat
manusia. Namun di sisi lain sebenarnya juga telah mendatangkan banyak
permasalahan.
Demikian pula yang terjadi dalam dunia olahraga,
bahwa sekarang ini telah banyak sarana maupun fasilitas yang lebih modern,
sehingga lebih menunjang perkembangan dan kemajuan yang lebih baik. Namun demikian
yang perlu diingat bahwa manusia adalah merupakan kesatuan jiwa dan raga,
sehingga permasalahan yang muncul selain permasalahan fisik juga permasalahan
psikologis. Jika permasalahan secara fisik telah banyak teratasi oleh kemajuan
teknologi, maka tentunya permasalahan psikologis juga harus diatasi atau
mendapatkan perhatian sesuai dengan kemajuan jaman sekarang. Sebagai antisipasi
dari keadaan semacam ini, para ahli psikologi merasa terpanggil bukan hanya
mengembangkan disiplin ilmunya sendiri, melainkan telah mulai memasuki disiplin
ilmu lain termasuk ke dalam dunia atau kehidupan olahraga.
A. SEKILAS TENTANG SEJARAH PSIKOLOGI OLAHRAGA
Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari
tentang gejala kejiwaan manusia. Sedangkan kejiwaan adalah merupakan sesuatu
yang sifatnya abstrak, yang berarti tidak dapat dilihat sehingga belum dapat
diungkapkan secara jelas dan langkap. Oleh karena itu, untuk mengungkapnya para
ahli cenderung untuk mempelajari kejiwaan yang terjilma ke dalam jasmani
manusia dalam bentuk perilaku fisik, yaitu segala aktivitas, perbuatan, atau
penampilan diri manusia. Dengan demikian sebenarnya bahwa perilaku manusia
merupakan pencerminan dari kejiwaannya, sehingga psikologi dapat juga dikatakan
sebagai ilmu yang mempelajari tentang prilaku atau tingkah laku manusia.
Psikologi Olahraga adalah merupakan
salah satu cabang ilmu yang relatif baru, yaitu merupakan salah satu hasil
perkembangan dari psikologi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa, sejak akhir abad
ke 19 para ahli psikologi telah berusaha menerapkan hasil‑hasil penelitian
psikologi ke dalam kehidupan sehari‑hari. Selanjutnya tumbuh dan berkembang apa
yang disebut sebagai psikologi terapan (applied
psychology) di berbagai bidang, termasuk salah satunya adalah dalam bidang
olahraga.
Pada
awalnya psikologi hanya mengembangkan diri secara vertikal, artinya bahwa
psikologi berkembang hanya terbatas dalam lingkup disiplin ilmunya sendiri,
yaitu tentang kejiwaan manusia sebagai individu (belum dikaitkan dengan hal lain
di sekitarnya). Sedangkan manusia
sebenarnya bukan hanya sebagai individu, melainkan juga merupakan makhluk
sosial, yang berarti segala perilakunya tidak akan terlepas dari pengaruh
lingkungan. Dengan demikian memaksa para ahli psikologi tidak hanya mengembangkan
disiplin ilmunya secara vertical, melainkan juga harus mengembangkan psikologi
secara horizontal. Maksudnya adalah bahwa psikologi mulai mengembangkan diri
dengan memasuki disiplin ilmu yang lain. Oleh karena olahraga juga merupakan
salah satu bentuk perilaku manusia, maka dalam perkembangannya secara
harizontal psikologi juga memasuki bidang olahraga, dan muncullah Psikologi
Olahraga. Dengan demikian sebenarnya bahwa psikologi olahraga adalah merupakan
perpaduan antara psikologi dan olahraga, seperti digambarkan berikut ini :
Gambar 1. Perpaduan antara psikologi
dan olahraga
B. Manusia sebagai Kesatuan Jiwa dan Raga
Manusia
juga dikatakan sebagai makhluk mono
dualisme, artinya bahwa manusia adalah merupakan kesatuan tak terpisahkan antara
dua aspek yang saling berbeda yaitu jiwa dan raga. Di satu sisi aspek fisik
atau raga dapat dilihat, diraba, tampak nyata oleh indera manusia, di sisi lain
aspek kejiwaan (psikologis) adalah aspek yang bersifat abstrak, yang tidak
dapat diraba, tidak tampak oleh mata manusia. Aspek jiwa dan raga yang
merupakan kesatuan, sudah tentu antara keduanya (jiwa dan raga) akan saling
mempengaruhi. Dengan demikian segala sesuatu yang dialami, diperbuat dan
dicapai oleh manusia, akan sangat tergantung dari kedua aspek tersebut. Dengan
kata lain, bahwa segala perilaku atau tingkah laku manusia tidak akan terlepas
dari pengaruh aspek jiwa dan raga atau aspek fisik dan psikologisnya. Oleh karena
itu, semua yang dirasakan oleh raga tentu akan dirasakan pula oleh kejiwaanya,
begitu pula semua yang dirasakan atau dialami oleh kejiwaan akan terasa pula
oleh raganya. Hal ini kiranya sudah sejak jaman dahulu disadari dan dimengerti,
bahwa antara jiwa dan raga merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
dan saling mempengaruhi. Jika demikian maka seharusnya kita juga harus dapat
memperlakukan, merawat, dan memperhatikan dua aspek tersebut yaitu jiwa dan
raga kita secara seimbang. Artinya bahwa kita selain harus memperhatikan,
memperlakukan, merawat dan membina raga kita, juga harus merawat,
memperhatikan, memperlakukan dan membina kejiwaan kita secara seimbang atau
sama dengan memperlakukan dan membina raga kita. Namun demikian kenyatannya sampai
saat ini belum demikian, artinya bahwa perlakuan kita terhadap raga dan
kejiwaan kita masih berat sebelah atau belum seimbang.
Sekalipun
telah dimengerti bahwa antara jiwa dan raga saling mempengaruhi dan seharusnya
mendapatkan perhatian yang sama, namun masih banyak orang yang karena lupa atau
sebab lain atau tanpa disadari, memperlakukan aspek jiwa dan raga ini dengan
tidak adil atau tidak seimbang, yaitu lebih banyak menekankan perhatiannya atau
pembinaannya terhadap aspek raga saja.
Seseorang
yang merasa sakit atau menderita sakit tertentu, sebagai usaha penyembuhan
biasanya dibawa ke dokter. Setelah ke dokter yang satu penyakitnya tidak
kunjung sembuh, kemudian ke dokter lain, demikian seterusnya. Hal ini karena
pada umumnya mereka hanya melihat akibat semata, tanpa melihat atau memang
tidak tahu sebabnya. Sebagai akibat yang terlihat atau yang terasa memang sakit
secara fisik, tetapi sebenarnya penyebab sakit dapat bermacam‑macam. Penyebab
itu dapat karena aspek fisik, dapat juga disebabkan faktor psikologis, walaupun
sebagai akibatnya bisa sama yaitu sakit secara fisik. Jika memang penyebabnya
adalah faktor fisik (fisiologis), maka memang tepat dibawa ke dokter umum.
Tetapi jika yang menjadi penyebabnya adalah faktor psikologis, walaupun setelah
diobati oleh dokter umum menjadi sembuh, maka kemungkinan penyakit itu akan
muncul kembali setelah pengaruh obat yang diberikan telah habis. Jika memang
demikian, maka sebaiknya dibawa ke psikiater untuk dicari penyebab dari aspek
yang lain yaitu aspek psikhologis.
Di
sinilah terlihat bahwa pada umumnya masih belum adil dalam memperlakukan diri
kita sebagai satu kesatuan jiwa dan raga. Artinya bahwa apapun penyebabnya pada
umumnya pengobatan yang dilakukan hanyalah secara fisik saja, walaupun tahu
bahwa penyebab sakit yang sebenarnya adalah faktor psikologis. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena rasa malu untuk pergi ke dokter jiwa atau
psikiater, dan khawatir bahwa dengan pergi ke dokter jiwa akan dikira oleh
teman atau tetangganya, ia menderita penyakit gila. Jika penyebab penyakitnya
itu adalah aspek psikologis, maka pengobatan secara fisik saja tidak akan dapat
menyembuhkan sakit itu secara tuntas. Hal ini karena yang diobati hanyalah
akibatnya (sakit), bukan penyebabnya.
Jika
telah dimengerti dan difahami adanya hubungan dan pengaruh antara aspek jiwa
(psikologis) dan aspek raga (fisik) secara timbal balik, sehingga jika terjadi
adanya kasus penyakit yang tidak kunjung sembuh walaupun telah dibawa ke dokter
umum, maka seharusnya perlu dibawa ke psikiater untuk diperiksa dari segi
kejiwaan.
Demikian
pula yang terjadi dalam kehidupan dunia olahraga, masih sering dijumpai pelatih
atau guru pendidikan jasmani yang mempunyai pemikiran atau perlakuan yang
kurang adil, terhadap dua aspek psikologis dan fisiologis pada anak asuhnya.
Artinya bahwa masih sering dijumpai pelatih atau guru pendidikan jasmani yang
selalu menitikberatkan aspek fisik dalam membina anak asuh atau anak didiknya.
Oleh karena itu khususnya bagi guru pendidikan jasmani yang mempunyai tanggung
jawab mendidik atau membina siswa melalui kegiatan olahraga, seharusnya dapat
memperlakukan anak didiknya secara wajar sebagai manusia seutuhnya, dan tidak
memperlakukan mereka sebagai mesin.
Dengan
memperhatikan serta membina kedua aspek itu secara seimbang dan wajar,
diharapkan perkembangan dan pertumbuhan mental maupun fisik anak didik dapat
berlangsung dengan wajar dan seimbang pula. Sebaliknya jika perhatian atau
pembinaan hanya tertuju dan menitikberatkan pada aspek fisik saja, maka
akibatnya perkembangan antara aspek fisik dan psikologis menjadi kurang atau
tidak seimbang, dan dapat berakibat negatif/merugikan.
1. jiwa Sebagai Penggerak
Dalam hal ini jiwa bukanlah jiwa yang
berarti nyawa, yang artinya jika seseorang telah mati berarti jiwanya telah
melayang; bukan demikian. Tetapi yang dimaksudkan jiwa dalam hal ini adalah
aspek psikologis atau aspek non fisik yang mewarnai kehidupan seseorang seperti
emosi, motivasi, kemauan, dan perasaan-perasaan yang lain. Semua yang tercakup
di dalam aspek psikologis tidak mudah untuk dipelajari maupun dipastikan
keberadaannya, karena aspek psikologis merupakan aspek yang sifatnya abstrak
tidak tampak oleh mata, sehingga aspek psikologis ini belum juga dapat
diungkapkan secara pasti (eksak) dan lengkap.
Karena sifatnya yang abstrak, maka
untuk mempelajarinya orang cenderung mempelajari aspek psikologis atau kejiwaan
yang tampak dan muncul sebagai perilaku manusia secara fisik. Perilaku manusia
yang dimaksud adalah dapat berbagai bentuk aktivitas, perbuatan, ataupun penampilan
diri yang lain selama ia hidup. Manusia di dalam menampilkan dirinya, selalu
diwarnai oleh dua aspek secara bersamaan yaitu aspek fisik dan aspek
psikologis, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa manusia merupakan
kesatuan jiwa dan raga (mono‑dualisme).
Di dalam dunia kedokteran, manusia
yang dikatakan masih hidup adalah manusia yang masih berdetak jantungnya.
Dengan kata lain bahwa selama jantung masih berdetak atau berdenyut, berarti
manusia itu masih hidup. Dengan demikian manusia yang dalam keadaan pingsan
yang berarti pada saat itu kehilangan kesadarannya, tetapi jantungnva masih
berdetak, maka manusia itu masih dikatakan hidup. Namun demikian walau ia masih
hidup, ia tidak dapat beraktivitas secara fisik. Selanjutnya demikian ia sadar
dari pingsan, ia akan dapat beraktivitas seperti menangis, tertawa, berjalan,
berbicara, atau melakukan kegiatan lainnya. Hal ini karena ia telah sadar dari
pingsan, atau ia telah memperoleh kembali kesadarannya. Dalam keadaan pingsan
(kehilangan kesadarannya) aspek psikologis manusia tidak bekerja (berfungsi),
dan pada saat manusia sadar kembali (sudah tidak pingsan lagi) maka aspek
psikologis manusia itu berfungsi kembali.
Dari uraian di atas menunjukkan, bahwa
manusia hidup agar dapat berpenampilan atau berperilaku secara wajar sebagai
manusia; artinya manusia yang bukan sekedar berdetak jantungnya dan bernafas
saja, tetapi manusia yang dapat berbicara, tertawa, marah, sedih, senang dan
dapat bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain atau beraktivitas lainnya;
selain diperlukan raga atau fisik yang tampak oleh mata, juga diperlukan faktor
lain sebagai motor atau sebagai penggeraknya. Faktor penggerak atau motor gerak
bagi manusia, tidak lain adalah aspek psikologis atau aspek kejiwaannya.
Dengan aspek psikologis sebagai
penggerak atau motor gerak bagi manusia, maka pada saat aspek psikologis ini
tidak bekerja, manusia hanya merupakan raga atau fisik yang hidup sekedar hidup
secara klinis, atau hidup sekedar jantungnya masih berdetak dan masih bernafas saja,
dan sebagai manusia ia tidak dapat bergerak atau berperilaku seperti layaknya
manusia normal lainnya.
Anak‑anak berlari dengan cepatnya karena ingin berebut layang‑layang
yang putus. Mereka dapat berlari apa penyebabnya ? Mereka dapat berlari karena
memiliki otot‑otot, tulang, syaraf, kekuatan maupun energi untuk berlari. Namun
sebenarnya otot, tulang, kekuatan maupun energi itu ada yang menggerakkan,
yaitu aspek kejiwaan atau aspek psikologis mereka. Dalam contoh di atas, aspek
kejiwaan atau aspek psikologis yang menggerakkan mereka untuk berlari adalah
minat dan kemauan mereka.
Walaupun mereka memiliki kekuatan dan energi untuk bergerak
(berlari), tetapi jika mereka tidak berminat dan tidak memiliki keinginan
terhadap layang‑layang itu, maka mereka juga tidak akan beranjak dari
tempatnya. Demikian pula yang terjadi dengan perilaku yang lain pada manusia,
seperti misalnya dalam kegiatan olahraga.
Manusia dapat melakukan kegiatan olahraga seperti menendang bola,
memukul bola, selain ia harus memiliki kemampuan secara fisik untuk kegiatan
itu, ia juga perlu motor penggerak untuk menggerakkan fisiknya. Seperti
seberapa keras ia harus memukul atau menendang, ke arah mana ia harus menendang
atau memukul, itu semua dikendalikan oleh aspek kejiwaan atau psikologis.
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa aspek kejiwaan merupakan aspek
yang mewarnai bagi kehidupan manusia, seperti munculnya perilaku manusia yang
bermacam‑macam. Hal ini karena aspek kejiwaan juga mencakup berbagai macam
bentuk seperti minat, emosi, perasaan, kemauan dan sebagainya. Sedangkan minat,
emosi maupun kemauan seseorang adalah bermacam‑macarn pula. Dengan demikian
jika penggeraknya (aspek kejiwaan) ada bermacam‑macam bentuk, maka gerak atau
perilaku yang dihasilkan pun akan menjadi bermacam‑macam pula, sesuai dengan
penggeraknya atau sesuai dengan jenis yang menggerakkan. Sedangkan kita tahu
bahwa aspek kejiwaan orang yang satu tentu berbeda dengan yang lain, sehingga
corak atau warna kepribadian, perilaku atau tingkah laku setiap orang pun akan menjadi
berbeda‑beda pula.
Misalnya dua orang memiliki kemampuan fisik sama, tetapi keduanya
memiliki faktor penggerak yang berbeda, maka hasil geraknya atau perilaku yang
munculpun menjadi berbeda pula. Hal ini akan tampak lebih jelas pada kasus‑kasus
kegiatan olahraga keras seperti karate, tinju, atau cabang lain yang sejenis.
Dua karateka atau dua orang petinju yang sedang bertanding di arena
pertandingan, misalnya keduanya memiliki kemampuan fisik yang sama,
keterampilan yang sama, kecedasan sama, seharusnya hasilnya seri (draw). Tetapi kenyataannya tidak
demikian. Karena faktor penggeraknya berbeda, motor geraknya berbeda, atau
aspek kejiwaannya berbeda, maka hasil pertandingan pun menjadi lain. Tetapi
seandainya kedua orang yang bertanding itu memiliki motor penggerak yang sama,
keduanya akan memukul pada waktu yang bersamaan dan sama‑sama mengenai sasaran,
maka hasilnya mungkin mereka akan sama‑sama jatuh. Sebaliknya jika salah satu
memiliki motor gerak yang lebih rendah (agak takut), akibatnya menjadi lain
lagi. Dengan keberanian yang lebih kecil (agak takut), sehingga dalam
melontarkan pukulan menjadi tidak sepenuh hati, dan akibatnya kekuatan pukulan
itu tidak sesuai dengan kekuatan yang sebenarnya ia miliki.
Di dalam dunia olahraga atau dalam kegiatan
olahraga tampaknya memang kegiatan fisik yang lebih menonjol (walaupun
sebenarnya tidak demikian). Kegiatan yang tampaknya lebih menonjolkan aspek
fisik ini, yang sudah barang tentu harus dilakukan pembinaan fisik dengan baik,
harus pula dilakukan pembinaan secara psikologis (mental) dengan seimbang. Hal
ini mengingat bahwa aspek psikologis atau kejiwaan merupakan motor atau sebagai
penggerak bagi manusia. Dengan keadaan psikologis atau kejiwaan yang lebih
baik, tentu akan dapat membangkitkan atau menampilkan kemampuan fisik secara
maksimal, sesuai dengan kemampuan yang sebenarnya ia miliki.
2. Raga sebagai Alat Gerak
Jika di atas telah diuraikan bahwa
aspek jiwa merupakan motor penggerak bagi manusia, maka aspek raga adalah
merupakan alat gerak bagi manusia. Yang dimaksudkan dengan raga adalah semua
hal yang berkaitan dengan fisik baik secara anatomis maupun fisiologis. Artinya
bahwa yang dimaksud raga mencakup bentuk tulang, keadaan otot, syaraf, bentuk
dan keadaan jantung, paru, maupun organ lain yang pada dasarnya dapat diraba
maupun dilihat oleh mata, walaupun kadang‑kadang untuk melihat diperlukan alat
bantu tertentu, seperti mikroskop dan alat yang lain.
Raga secara anatomis yang dimaksud
adalah merupakan aspek fisik yang berkaitan dengan kuantitas, misalnya susunan
atau konstruksi, bentuk, jumlah, maupun ukuran organ tubuh tertentu. Sedangkan
raga secara fisiologis yang dimaksud adalah segala sesuatu yang berkaitan
dengan kualitas dari aspek raga itu, misalnya kemampuan, proses kerja atau cara
kerja dari suatu organ tubuh tertentu. Secara keseluruhan yang tampak dari luar
atau yang tampak oleh mata, raga adalah seperti yang dapat dilihat sebagai
bentuk tubuh manusia yang terdiri dari kepala, tangan, kaki maupun dada dan
perut dengan segala isinya. Terutama dalam kaitannya dengan kegiatan olahraga,
bagian tubuh seperti yang disebutkan di atas itulah yang dimaksud sebagai alat
gerak.
Tentunya raga atau bagian tubuh
sebagai alat gerak seperti kepala, tangan, kaki, dan lain sebagainya, akan
bergerak kalau ada yang menggerakkannya, yaitu jiwa kita seperti yang telah
diuraikan sebelumnya. Dengan demikian raga yang berujud fisik manusia ini,
tanpa adanya faktor penggerak atau tanpa adanya motor yang menggerakkan yaitu
jiwa kita, hanyalah merupakan benda mati yang tidak dapat berbuat apa‑apa. Raga
sebagai alat memang bergerak sesuai dengan perintah penggeraknya yaitu faktor
kejiwaan atau kemauan kita, walaupun sebenarnya ada jenis gerak tertentu yang
bukan digerakkan oleh kemauan kita, seperti misalnya gerak reflek dan detak
jantung kita.
Dalam kaitannya dengan gerak‑gerak
dalam kegiatan olahraga, seperti misalnya orang menendang bola, jelas bahwa
kaki yang bergerak menendang bola adalah atas kemauan orangnya dan kaki
hanyalah alat yang diperintah, baik arah maupun keras lemahnya tendangan. Namun
demikian tidak semua perintah gerak itu dapat dilaksanakan dengan baik oleh
alatnya. Seperti misalnya maksud menendang ke arah gawang tetapi nyatanya bola
itu meluncur jauh di kanan atau kiri gawang. Ketidaksesuaian antara kemauan dan
pelaksanaan oleh alat gerak, menunjukkan bahwa terdapat ketidak sesuaian antara
keadaan kejiwaan dan keadaan alatnya. Oleh karena itulah maka seperti telah
diuraikan sebelumnya, bahwa antara aspek psikologis maupun fisik seharusnya mendapatkan
pembinaan yang seimbang. Dengan kata lain bahwa sekalipun raga kita ini
hanyalah sebagai alat, tetapi kemampuannya perlu disesuaikan dengan kemampuan
penggeraknya.
Seperti telah sedikit disinggung
sebelumnya, bahwa raga atau alat gerak ini ada kalanya bergerak bukan karena
diperintah oleh faktor kejiwaan atau psikologis kita secara sadar. Selain detak
jantung ada jenis gerak yang lain yang bukan karena perintah kemauan kita
secara sadar, yaitu gerak refleks. Gerak refleks adalah gerak yang terjadi atau
dilakukan oleh alat gerak (raga) kita di luar perintah kemauan kita. Namun
demikian apapun nama geraknya dan bagaimanapun prosesnya, ternyata raga kita
ini tetap hanyalah sebagai alat, yang bergerak setelah diperintah faktor lain.
Dalam jenis‑jenis gerak secara sadar, jelas bergeraknya alat adalah atas
perintah kemauan kita. Demikian pula jenis‑jenis gerak yang terjadi di luar
kemauan manusia, sebenarnya bergeraknya alat gerak itu juga atas perintah
faktor lain, yaitu karena proses fisiologis tertentu hingga akhirnya terjadilah
perintah kepada alat gerak tertentu melalui saraf tertentu, seperti halnya yang
terjadi pada gerak refleks maupun berdetaknya jantung, dan gerak‑gerak lain
yang semacam itu.
Sebelumnya telah diuraikan bahwa raga
sebagai alat gerak tidak selalu bergerak sesuai dengan perintah dari
penggeraknya. Hal ini karena tergantung pula oleh keadaan alat gerak atau
raganya. Alat gerak yang mengalami gangguan atau kelainan tertentu, sudah
barang tentu tidak akan selalu mampu melaksanakan perintah penggeraknya, yaitu
kemauan kita. Oleh karena itu agar kedua aspek dapat berfungsi secara wajar,
normal dan serasi, maka di samping pembinaan secara psikologis, raga sebagai
alat perlu juga mendapatkan perawatan atau pembinaan agar tetap dalam keadaan baik
atau lebih baik sesuai dengan keadaan atau pembinaan aspek psikologisnya.
Untuk itulah mungkin telah sering kita
dengar istilah latihan atau training
atau semacamnya, yang maksudnya adalah untuk mengusahakan agar fisik/raga
sebagai alat gerak dapat menghasilkan suatu penampilan yang lebih baik atau
suatu hasil gerak yang lebih meningkat, baik dari segi teknik gerakan maupun
kemampuan organ seperti kekuatan otot, daya tahan otot, daya tahan kerja
jantung dan paru, sehingga yang terpenting raga kita dapat bergerak sesuai
dengan yang kita inginkan.
C. Perilaku Manusia
Perilaku
manusia merupakan satu istilah yang sudah umum digunakan, didengar, dan
dimengerti oleh banyak orang. Berjalan, berlari, berolahraga, disebut sebagai
perilaku manusia. Sedangkan termenung, melamun, berfikir, juga disebut sebagai
perilaku manusia. Jika demikian, apa yang dimaksud dengan perilaku manusia yang
sebenarnya ?
Memperhatikan contoh‑contoh di atas, yang
dimaksud sebagai perilaku manusia ternyata adalah segala yang dilakukan dan
atau dialami oleh manusia. Dengan demikian perilaku manusia tidak hanya yang
menyangkut perbuatan fisik atau kegiatan motorik, melainkan juga kegiatan yang
menyangkut aktivitas psikis. Kegiatan yang menyangkut aktivitas motorik
maksudnya adalah kegiatan yang secara umum tampak nyata bagi orang lain,
seperti misalnya tertawa, menangis, berjalan, berlari, makan, memukul dan lain
sebagainya yang sejenis. Sedangkan kegiatan psikis yang dimaksud adalah semua
kegiatan yang tidak tampak bagi orang lain seperti misalnya berfikir, atau
kegiatan lain yang semacam itu. Proses berfikir adalah kegiatan yang tidak
tampak dari luar dan tidak tampak bagi orang lain. Orang yang termenung diam
atau melamunkan sesuatu yang tampak diam secara fisik, juga disebut sebagai prilaku
manusia, dan demikian pula dengan kegiatan mendengar, melihat, ataupun
mengingat‑ingat sesuatu.
Perilaku manusia yang muncul seperti berjalan,
berlari, menyanyi, berteriak, berfikir, melamun, mengingat maupun mendengarkan
sesuatu, sudah barang tentu tidak muncul begitu saja dengan sendirinya,
melainkan melalui proses tertentu. Proses terjadinya perilaku sebenarnya adalah
merupakan proses yang sangat rumit dan kompleks, namun secara global atau
secara garis besar dapat dijelaskan bahwa: munculnya perilaku selalu didahului
oleh adanya rangsang, baik yang datang dari dalam maupun luar individu, dan
rangsang ini pertama-tama akan ditangkap oleh saraf‑saraf penerima rangsang
yang disebut "receptor".
Selanjutnya rangsang yang telah ditangkap oleh receptor diteruskan ke otak dan susunan saraf tulang belakang yang
berfungsi sebagai penyaring atau "diskriminator".
Di dalam diskriminator
rangsang-rangsang tadi disaring, dipilih, dan diinterpretasikan (sebagai reaksi
dari adanya rangsang). Di dalam diskriminator (penyaring) itu terdapat sumber
energi dari aspek psikhologis yang mempengaruhi perilaku, yaitu yang disebut
"motif". Selanjutnya
setelah rangsang yang masuk disaring, dipilih, diinterpretasikan dan
dipengaruhi oleh motif, kemudian diteruskan ke "efektor" sebagai saraf‑saraf
pelaksana yang menggerakkan otot‑otot. Kerja otot yang berujud gerak atau
perilaku lainnya inilah sebagai respon dari adanya rangsang yang masuk ke dalam
diri manusia. Agar lebih jelas dapat diikuti bagan secara sederhana
berikut ini:
Gambar 2. Sistem perilaku manusia
Sebungan dengan perilaku manusia, seperti
kenyataan yang ada bahwa perilaku akan mengalami perkembangan dari bayi atau
sejak lahir hingga dewasa dan akhirnya mati. Menurut para ahli bahwa
perkembangan perilaku dipengaruhi oleh faktor tertentu, dan menurut ahli yang
satu dengan ahli lainnya berbeda‑beda. Pendapat yang berbeda‑beda itu pada
dasarnya dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan para ahli yang
mengikuti aliran "nativisme",
pendapat para ahli yang mengikuti aliran "empirisme", dan para ahli yang mengikuti aliran "Konvergensi".
1. Nativisme
Pendapat para ahli yang mengikuti
aliran nativisme ini menjelaskan,
bahwa perilaku manusia dalam perkembangannya hanya dipengaruhi oleh faktor‑faktor
yang dibawa sejak lahir (natus =
lahir). Tokoh utama dalam aliran nativisme
ini adalah Schopenhauer yang diikuti
pula oleh Descrates, Plato maupun Lombroso. Dengan demikian menurut aliran
ini bahwa faktor‑faktor lain sangat kecil pengaruhnya terhadap perkembangan
perilaku atau tingkah laku manusia, sehingga aliran ini jelas mengabaikan
faktor belajar, latihan, atau faktor lingkungan lainnya. Artinya bahwa jika
sekarang ini kita menganut aliran nativisme, maka kita tidak perlu sekolah,
tidak perlu berlatih, juga tidak perlu alat fasilitas pendukung lainnya, karena
segala sesuatunya sudah ditentukan dari bawaan sejak lahir. Namun ternyata kita
tidak menganut aliran nativisme ini.
Para ahli yang mengikuti aliran ini mendasarkan
kebenaran konsepsinya, dengan menunjuk kepada beberapa atau berbagai kesamaan
atau kemiripan antara orang tua dan anak‑anaknya. Kesamaan atau kemiripan yang
dimaksud, bahwa misalnya orang tua sebagai orang yang ahli melukis maka
kemungkinan besar bahwa anaknya juga akan menjadi seorang yang ahli melukis, demikian
pula jika orang tuanya adalah orang yang ahli dalam bidang matematik atau
musik, maka anak‑anaknya juga akan menjadi orang yang ahli dalam bidang
matematik atau musik. Dengan demikian dapat dikatakan pula menurut aliran ini,
bahwa keistimewaan‑keistimewaan yang dimiliki orang tuanya akan menurun kepada
anak‑anaknya.
2. Empirisme
Aliran ini adalah aliran yang
bertentangan dengan aliran sebelumnya (nativisme).
Jika aliran nativisme menyebutkan
atau para ahli yang mengikuti aliran ini berpendapat, bahwa perkembangan
manusia semata‑mata didasarkan faktor pembawaan (dasar), maka para ahli
pengikut aliran empirisme ini
berpendapat bahwa perkembangan manusia, sangat tergantung atau hanya
dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dengan kata lain bahwa para pengikut aliran
empirisme ini berpendapat, bahwa
faktor pembawaan atau faktor dasar tidak mempunyai peranan (sangat kecil
perannya) dalam mempengaruhi perkembangan perilaku manusia. Tokoh utama dalam
aliran ini adalah John Locke.
Jika kita sekarang ini menganut aliran
empirisme, maka di dalam mencetak
atlet dalam berbagai cabang olahraga tidak perlu memilih dari mereka yang
berbakat, karena menurut aliran ini segala sesuatunya tergantung dari
lingkungan. Artinya jika kita menginginkan seseorang berprestasi tinggi, maka
tergantung bagaimana latihannya, bagaimana pelatihnya, dan bagaimana dukungan
sarana prasarananya. Namun ternyata kita juga tidak menganut aliran ini.
3. Konvergensi
Seperti yang telah diuraikan
sebelumnya baik aliran nativisme
maupun aliran empirisme, ternyata
merupakan aliran yang ekstrim atau sangat menyebelah. Tampaknya ke dua aliran
di atas lebih berorientasi pada dunia binatang. Misalnya seekor anjing yang
sesuai dengan bawaannya (nativisme)
memang tidak dapat berbicara, walaupun diberi lingkungan seperti apapun,
diajarkan berbicara misalnya, tetap saja tidak akan dapat berbicara. Sedangkan
seorang bayi yang baru lahir (menurut empirisme
sebenarnya memiliki bawaan dapat berbicara) kemudian diasuh oleh kera di tengah
hutan, ternyata setelah dewasa juga tidak dapat berbicara, ia berkomunikasi
menggunakan cara seperti kera yang mengasuhnya (lingkungannya). Oleh karena itu
sesuai dengan kenyataan yang ada sekarang, ke dua aliran itu tidak dapat
dipertahankan lagi. Selanjutnya muncullah aliran atau faham konvergensi, sebagai penengah untuk
mengatasi ke dua aliran yang saling bertentangan (nativisme dan empirisme),
yang dipelopori oleh William Stern.
Menurut aliran konvergensi, bahwa dalam perkembangannya individu atau manusia sangat dipengaruhi oleh faktor pembawaan (dasar) juga faktor lingkungannya. Dengan kata lain bahwa faktor pembawaan maupun faktor lingkungan (environment), memainkan peranan sangat penting secara bersamaan dalam membantu dan mengembangkan individu. Oleh karena itu aliran ini berpendapat pula bahwa seseorang yang memiliki dasar pembawaan atau potensi dasar yang cukup besar, agar mencapai keberhasilan dalam mengembangkan dirinya secara maksimal, juga harus ditunjang dengan alat, fasilitas, pertolongan, dan kondisi‑kondlsi luar (lingkungan) yang mencukupi. Demikian pula sebaliknya bahwa seseorang yang ingin meraih prestasi tinggi, tentu tidak cukup hanya berbekal sarana prasarana memadai, pelatih yang handal, dana yang cukup, tetapi juga harus memiliki bakat, minat atau kemauan, dan juga motivasi yang tinggi. Agar lebih jelas mengenai aliran‑aliran seperti yang telah diuraikan di atas, dapat diikuti bagan berikut ini:
Gambar 3. Nativisme, Empirisme, dan
Konvergensi, dalam kaitannya
dengan pengembangan
individu.
B A B II
HUBUNGAN ANTARA JIWA, RAGA, DENGAN OLAHRAGA
Sebelumnya telah diuraikan, bahwa manusia sebagai
makhluk mono dualisme dapat diartikan
pula sebagai manusia yang merupakan kesatuan antara jiwa dan raga. Dua aspek
yang menyatu yaitu jiwa dan raga, tentunya masing‑masing akan saling
mempengaruhi. Artinya bahwa manusia dalam segala perilakunya tidak akan
terlepas dari aspek kejiwaan dan aspek raganya, termasuk juga salah satu di
antaranya adalah perilaku olahraga. Dengan demikian tentunya bahwa jiwa akan
mempengaruhi olahraga dan sebaliknya olahraga akan mempengaruhi aspek kejiwaan,
demikian juga raga akan mempengaruhi olahraga dan sebaliknya olahraga akan
mempengaruhi raga.
A. Hubungan Kejiwaan dengan Olahraga
Aspek kejiwaan atau psikhologis
mencakup banyak hal dan banyak istilah seperti keinginan, kemauan, emosi,
motivasi, keberanian, kecintaan, kebencian, takut, senang, sedih, gembira,
malu, cemas, agresif dan lain sebagainya, yang sering pula bahwa antara istilah
yang satu dengan yang lain mempunyai maksud atau arti sama atau hampir sama
namun dengan istilah yang berbeda. Aspek kejiwaan ini dapat mempengaruhi
bekerjanya kelenjar‑ kelenjar dalam tubuh, sehingga dengan demikian setiap
perubahan yang terjadi pada aspek kejiwaan akan membawa perubahan pula terhadap
bekerjanya kelenjar dalam tubuh. Perubahan kerja kelenjar dalam tubuh,
akibatnya akan mempengaruhi perilaku manusia yang salah satunya adalah perilaku
olahraga.
Salah satu aspek kejiwaan yang ada
pada manusia adalah yang disebut sombong.
Seseorang yang memiliki sikap sombong, pada umumnya memiliki rasa percaya diri
yang berlebihan. Di dalam olahragra,
rasa percaya diri memang diperlukan, tetapi rasa percaya diri yang cukup dalam
batas-batas tertentu. Akibat dari rasa percaya diri yang berlebihan (over confidence) ini, biasanya diikuti
dengan perasaan menganggap ringan setiap lawan. Oleh karena menganggap ringan
lawan, maka merasa bahwa ia tidak perlu lagi mempersiapkan diri dengan latihan‑latihan
yang keras. Selanjutnya di dalam pertandingan ia juga kurang/tidak bersungguh‑sungguh,
dan sebagai akibatnya jelas akan mempengaruhi hasil, artinya bahwa yang
sebenarnya dapat memenangkan pertandingan tetapi menjadi sebaliknya. Sikap
terlalu percaya diri (over confidence)
selain mempengaruhi olahraga (hasil pertandingan), sebaliknya dapat pula
munculnya justru karena kegiatan olahraga.
Seseorang yang menang dalam
pertandingan olahraga, tentu akan menambah kepercayaan terhadap kemampuan
dirinya. Kemenangan demi kemenangan atau keberhasilan demi keberhasilan yang dicapai
atau diperoleh terus menerus, tentu juga semakin menambah atau mempertebal
kepercayaan diri. Namun demikian keberhasilan yang tanpa disertai evaluasi dan
introspeksi diri, akan mengakibatkan percaya diri yang berlebihan dan tidak
terkendali (over confidence). Apa
lagi diperparah dengan sifat‑sifat dasar pribadinya yang kurang atau tidak baik
dan pola pembinaan yang kurang atau tidak tepat, akan mempercepat munculnya
sikap over confidence, setelah ia
memperoleh keberhasilan terus menerus tanpa evaluasi dan introspeksi. Oleh
karena itu evaluasi dan introspeksi sebaiknya senantiasa dilakukan, artinya
bahwa apakah kemenangan atau keberhasilan yang diperoleh itu bukan karena
memang kemampuan lawan jauh di bawah kemampuannya ? Secara psikologis hal
seperti ini adalah merupakan salah satu hal yang erat kaitannya dengan kegiatan
latih tanding (try-out), artinya
bahwa dari hasil latih tanding itu diharapkan akan memperoleh salah satu
manfaat yaitu pengalaman yang berharga dari aspek psikologisnya.
Jika kemenangan atau keberhasilan yang
beruntun atau terus menerus memungkinkan seseorang terhinggapi sikap terlalu
percaya diri (over confidence), maka
kekalahan atau kegagalan yang beruntun atau terus menerus juga memungkinkan
munculnya akibat yang sama buruknya. Kalah dalam suatu pertandingan,
memungkinkan berkurangnya rasa percaya diri. Jika dalam berbagai pertandingan
selalu kalah, berarti kepercayaan terhadap kemampuan dirinya juga cenderung
semakin berkurang dan semakin tipis, bahkan mungkin hilang sama sekali (karena
faktor negatif lainnya, seperti sifat dasar pribadinya yang kurang baik maupun
pembinaan yang tidak tepat). Keadaan yang demikian cenderung mengakibatkan
munculnya perasaan selalu kalah siapapun
lawannya, atau merasa kalah walau pertandingan belum berlangsung (kalah
sebelum bertanding).
Contoh ke dua
kasus di atas adalah mempunyai dampak sama buruknya, yaitu mengakibatkan
munculnya over confidence dan merasa kalah sebelum bertanding siapapun
lawannya. Oleh karena itu akan lebih baik jika sebelum terjun dalam
pertandingan, diberikan pengalaman yang bervariasi (try-out) di samping harus didukung dengan pola pembinaan secara
tepat. Dengan mendapatkan pengalaman yang bervariasi dalam bertanding dan
bervariasi pula hasilnya, diharapkan akan dapat menumbuhkan sikap juara (winning attitude). Dengan dimilikinya winning attitude, berarti akan
selalu siap sedia dengan rasa percaya
diri yang cukup tinggi dan berusaha
untuk menang dalam batas‑batas sportivitas, dalam menghadapi setiap
pertandingan siapapun lawannya. Dengan demikian sekiranya kemenangan itu dapat
dicapai, tidak akan mabuk dengan kemenangannya itu. Sebaliknya saat ia
menderita kegagalan, diharapkan dapat selalu mawas diri (introspeksi) atas kegagalannya itu atau dapat mensikapi
kekalahannya secara wajar.
B. Hubungan Raga Dengan Olahraga
Tampaknya
sebagian besar manusia di dunia ini tidak akan menyangkal lagi, babwa ternyata
olahraga berpengaruh positif terhadap raga manusia. Seandainya masih ada yang
berpendapat atau berpandangan negatif tentang pengaruh olahraga terhadap
fisik/raga, itu hanya sebagian kecil atau sekelompok orang tertentu saja.
Demikian besar manfaat atau pengaruh olahraga terhadap raga, hingga di semua
jenis dan jenjang sekolah di Indonesia khususnya, diberikan mata pelajaran
olahragra (penjas). Olahraga yang diberikan di sekolah selain bertujuan untuk
membantu individu dalam mengembangkan pribadinya, juga berguna dalam
mengembangkan dan membina fisiknya. Sedangkan untuk tujuan pengembangan dan
pembinaan ini kiranya sudah bukan merupakan hal baru dan telah dimengerti
oleh sebagian besar masyarakat. Seperti misalnya orang yang
menginginkan ototnya kuat dan besar, kesegaran jasmaninya meningkat menjadi
lebih baik, tentu akan melakukan olahraga dengan jenis tertentu yang sesuai
dengan tujuannya. Hal ini karena selain memang telah jelas diketahui bahwa
olahraga dapat mempengaruhi tubuh atau raga, juga karena olahraga itu digunakan
secara tepat dan sesuai dengan aturan yang benar. Sebaliknya jika olahraga
dilaksanakan dengan tidak atau kurang tepat dalam arti tidak sesuai dengan
aturan yang benar, justru besar kemungkinan akan berpengaruh negatip terhadap
raga atau tubuh manusia.
Tentang pengaruh olahraga terhadap
raga, kiranya telah banyak contoh yang dapat dilihat dan bahkan banyak orang
telah membuktikannya sendiri. Seperti
misalnya melakukan olahraga lari dengan aturan tertentu, ternyata dapat
memperkuat otot jantung dan bahkan sistem kardiovaskularnya. Tampak jelas dapat
dilihat bahwa seorang yang terbiasa melakukan olahraga lari jarak jauh (secara
rutin) misalnya pelari jarak jauh, tentu memiliki bentuk tubuh yang berbeda
dengan seorang atlet angkat berat. Hal ini karena perbedaan proses selama
latihan yang disesuaikan dengan karakteristik jenis olahraga yang diikutinya,
sehingga akhirnya juga terbentuklah fisik yang berbeda pula.
Demikian pula dengan raga, bahwa
bentuk atau jenis maupun ciri‑ciri fisik (raga) adalah sangat berpengaruh
terhadap olahraga, terutama yang dimaksudkan untuk meraih prestasi yang tinggi
(olahraga prestasi). Pada dasarnya bahwa setiap orang atau siapa saja berhak
dan dapat melakukan atau memilih jenis olahraga yang disenanginya, namun jika
dikehendaki prestasi yang tinggi maka jelas tidak semua atau setiap orang dapat
mencapai prestasi tinggi dalam cabang olahraga tertentu. Hal ini berkaitan erat
dengan keadaan bentuk tubuh atau ciri‑ciri fisik seseorang, sebagai bahan baku
yang akan doproses untuk mencapai prestasi olahraga tertentu. Sebagai contoh
misalnya seseorang yang hanya memiliki tinggi badan 100 cm, tentu akan sangat
sulit untuk menjadi pemain bola voli atau bola basket tingkat nasional.
Seandainya ada orang yang dapat bermain bola voli atau bola basket dengan
tinggi badan hanya 100 cm, prestasi yang dapat dicapai tentu juga hanya
terbatas, sesuai dengan keadaan fisiknya. Dengan kata lain bahwa untuk mencapai
prestasi yang tinggi, diperlukan ciri‑ciri fisik tertentu sesuai dengan
tuntutan cabang olahraga yang diikutinya. Di samping ciri‑ciri fisik tertentu memang lebih cocok untuk
cabang olahraga tertentu, ciri‑ciri fisik juga mempunyai hubungan dengan sifat‑sifat
kejiwaan (psikologis) seseorang, yang juga perlu diperhitungkan dalam olahraga
prestasi khususnya. Maksudnya adalah bahwa sejumlah individu yang memiliki ciri‑ciri
atau struktur tubuh tertentu, ternyata memiliki sifat‑sifat kejiwaan tertentu
pula. Namun demikian hubungan antara ciri‑ciri fisik dan sifat seseorang adalah
bukan merupakan hubungan sebab-akibat, melainkan karena ditemukannya unsur
kesamaan antara ciri‑ciri fisik atau tipe tubuh tertentu dan sifat‑sifat
tertentu pula (secara korelasional). Dengan demikian kesesuaian antara fisik
dengan olahraga, bukan berarti hanya bentuk fisik saja, tetapi juga dikaitkan dengan kesesuaian
antara sifat‑sifat individu dan jenis olahraganya.
Berkaitan dengan ciri‑ciri fisik dan
sifat‑sifat individu, menurut Sheldon
ada 3 komponen penting dalam struktur tubuh manusia yaitu endomorf, mesomorf, dan ektomorf.
Namun demikian, dalam kenyataannya bahwa seseorang termasuk ke dalam salah satu
tipe secara murni adalah tidak ada. Seseorang termasuk ke dalam salah satu tipe
tubuh tertentu karena ia memiliki salah satu komponen yang paling dominan.
Dengan kata lain bahwa sebenarnya setiap orang tentu memiliki ke 3 komponen
struktur tubuh itu, tetapi salah satu dari ke 3 komponen itu berkembang lebih
dominan atau lebih menonjol dibandingkan dengan yang lainnya, sehingga
seseorang disebut memiliki tipe tubuh sesuai dengan komponen yang berkembang secara
dominan (menonjol) itu.
1. Endomorf
Seseorang yang
termasuk ke dalam tipe tubuh endomorf,
yaitu orang yang memiliki tingkat perkembangan lebih dominan pada organ
lambung, usus maupun jantung. Sehingga pada umumnya orang yang termasuk ke
dalam golongan ini kelihatan gemuk cenderung pendek dan bulat. Tipe tubuh ini
atau mereka yang termasuk ke dalam tipe tubuh ini, memiliki kelompok sifat
tertentu yang disebut "viscerotonia".
Mereka yang memiliki kelompok sifat viscerotonia,
pada umumnya memiliki sikap dan gerakan yang rileks dan suka makan. Di samping
itu juga suka akan kesenangan fisik dan suka bergaul, juga biasanya
berorien-tasi pada masa kanak‑kanak maupun keluarga, senang terhadap hal‑hal
yang sifatnya seremonial dan kesopanan.
Dalam kaitannya dengan kegiatan olahraga dan
khususnya yang ditekankan untuk mengejar prestasi tinggi, mengetahui tipe tubuh
adalah sangat penting, baik bagi pelatih maupun dirinya sendiri yang akan
memilih cabang olahraga mana yang sesuai atau coook bagi dirinya. Terutama bagi
pelatih atau guru olahraga atau yang sejenisnya, mengetahui tipe tubuh sangat
bermanfaat untuk mengarahkan seseorang atau sekelompok orang untuk menekuni
cabang olahraga tertentu, di samping bermanfaat untuk menyelesaikan masalah
yang muncul pada diri seseorang secara psikologis, sesuai dengan sifat yang
dimilikinya.
2. Mesomorf
Mereka yang termasuk ke dalam tipe
mesomorf adalah mereka yang memiliki tingkat perkembangan lebih dominan pada
otot dan tulang. Pada umumnya mereka disebut juga dengan tipe atletis. Mereka
yang memiliki tipe ini pada umumnya tampak kekar, berotot, dengan tinggi badan
yang cukup atau sedang. Seperti halnya pada tipe endomorf, bahwa tipe mesomorf inipun mempunyai kelompok sifat
kejiwaan tertentu, yang disebut dengan “somatotonia".
Adapun sifat‑sifat yang tercakup di dalamnya dapat digambarkan bahwa pada umumnya mereka memiliki sikap dan gerakan yang
tegas, senang dengan pengalaman fisik, giat berlatih dan berani. Di samping itu
mereka senang berorientasi pada masa remaja, dan berorientasi pada tujuan dalam
setiap kegiatannya. Mereka juga senang berbicara atau menyelesaikan sesuatu
dengan secara langsung atau tanpa basa‑basi, yang berarti mereka kurang senang
terhadap hal‑hal yang sifatnya berbelit‑belit atau pura‑pura.
Bagi pelatih, guru olahraga, atau yang sejenis
lainnya, yang berarti mengasuh, membina, melatih ataupun mengajar seseorang
atau sekelompok orang, dengan mengetahui bahwa anak didiknya memiliki tipe mesomorf,
tentu akan dapat membantu tugasnya dalam mengarahkan atau mengembangkan potensi
ke arah yang sesuai dengan keadaan atau tipe mesomorf yang dimilikinya. Dengan mengetahui bahwa seseorang
memiliki tipe tertentu, berarti dapat diketahui pula (seara umum) mengenai
sifat‑sifat kejiwaannya. Dengan demikian setiap kasus atau permasalahan yang
dialami seorang mesomorf harus
mendapatkan penyelesaian sesuai dengan ciri‑ciri atau sifat‑sifat kejiwaan yang
dimilikinya. Oleh karena itu penyelesaian masalah secara psikologis antara
seorang endomorf tentu akan berbeda
dengan orang mesomorf, atau
penyelesaian terhadap permasalahan seorang
viscerotonia tentu akan
berbeda dengan seorang somatotonia.
3. Ektomorf
Kelompok orang
yang termasuk ke dalam tipe ektomorf
atau tingkat perkembangan organ yang mencakup susunan saraf dan kulit,
pada umumnya tampak kurus, kerempeng dan relatif tinggi. Seperti halnya pada
tipe‑tipe endomorf dan mesomorf, bahwa tipe ektomorf juga menunjukkan adanya sifat‑sifat khusus, yaitu kelompok
sifat tertentu yang disebut dengan "cerebrotonia".
Adapun sifat‑sifat itu dapat digambarkan bahwa kebanyakan dari mereka adalah
pendiam, tertutup, tidak suka bergaul karena memang sukar bergaul. Dengan
demikian mereka adalah orang‑orang yang lebih senang dengan kesendiriannya.
Dengan sederetan sifat‑sifat itu memberi kecenderungan bahwa mereka juga
memiliki sikap dan gerakan yang terhambat. Namun demikian mereka memiliki
kesadaran diri yang cukup besar, sehingga dalam hidupnya mereka lebih senang
berorientasi ke masa depan atau masa tua.
Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya bahwa
bagi pelatih, pembina, atau guru olahraga, menghadapi orang yang memiliki tipe
tertentu akan berbeda dengan tipe yang lainnya. Khususnya dalam menghadapi
orang‑orang ektomorf ini dalam arti
membimbing, mengarahkan, atau membantu memecahkan masalah yang dialaminya,
adalah relatif lebih sulit dibandingkan dengan tipe‑tipe yang lain yang orang‑orangnya
lebih terbuka.
Selain tipe‑tipe tubuh seperti yang
dikemukakan oleh Sheldon, ada
penggolongan tipe‑tipe tubuh yang lain yang dikemukakan oleh Kretchmer. Adapun penggolongan tipe‑tipe
tubuh sesuai dengan ciri‑ciri fisiknya, menurut Kretchmer adalah sebagai berikut:
a. Pyknis
Mereka yang tergolong ke dalam tipe
ini memiiki ciri‑ciri tubuh pendek, gemuk, leher kuat, bentuk dada bulat dan
perut menonjol ke depan. Dengan oiri‑ciri fisik seperti ini, mereka mempunyai
kecenderungan senang dan banyak makan, sehingga cenderung pula akan mendapatkan
kemudahan dalam pencernaan makanan. Karena mempunyai ciri senang dan banyak
makan, hingga pada umumnya mereka yang tergolong ke dalam tipe ini memiliki
simpanan energi yang cukup.
b. Athletis.
Berbeda dengan tipe pyknis, bahwa mereka yang termasuk ke
dalam tipe athletis pada umumnya
memiliki ukuran badan sedang, otot‑otot relatif kuat, dada lebar, tangan maupun
kaki besar dan kuat.
c. Asthenis
Mereka yang termasuk ke dalam tipe asthenis mempunyai ciri‑ciri badan
tinggi, langsing, dada rata atau tipis, bahu agak ke depan. Pada umumnya mereka
memiliki alat‑alat tubuh bagian dalam
yang cenderung lemah, sehingga mereka yang termasuk ke dalam tipe tubuh ini
juga cenderung mendapat kesulitan dalam pencernaan makanan.
Dari penggolongan tipe tubuh yang
dikemukakan oleh Sheldon maupun Kretchmer, sebenarnya mengandung
kesamaan atau bahkan memang sama, hanya masing‑masing menggunakan istilah yang
berbeda. Seperti misalnya tipe endomorf
dari Sheldon, mempunyai ciri‑ciri
yang sama dengan tipe pyknis dari Kretchmer. Tipe mesomorf
dari Sheldon mempunyai ciri-ciri yang
sama dengan tipe athletis dari Kretchmer, serta tipe ektomorf dari Sheldon mempunyai ciri‑cirii fisik yang sama dengan tipe asthenis dari Kretchmer. Seorang ahli lain yaitu Cureton dalam penelitiannya mengenai tipe‑tipe seseorang yang juga
menggunakan modifikasi Sheldon,
akhirnya memperoleh kesimpulan bahwa:
1. Mereka yang termasuk ke dalam tipe mesomorf, yaitu yang memiliki ciri‑ciri
fisik nampak kekar, berotot kuat dan keras, adalah lebih sesuai untuk menekuni
pada cabang olahraga yang memerlukan lebih banyak kekuatan (strenght) dan tenaga (power).
2.
Sedangkan mereka yang termasuk ke dalam kelompok tipe ektomorf yaitu yang memiliki ciri‑ciri
fisik kurus, kecil atau kerempeng, relatif tinggi, adalah memiliki
fleksibilitas atau kelentukan dan keluwesan gerak relatif lebih baik dibanding
tipe lainnya.
Dari uraian di atas, tampak
bahwa bentuk raga atau fisik mempunyai sumbangan besar terhadap pencapaian
prestasi yang tinggi dalam olahraga. Dengan demikian sudah sewajarnya bahwa
untuk menekuni dan mencapai prestasi yang tinggi dalam olahraga, perlu
penyesuaian antara ciri‑ciri fisik atau tipe tubuh dan cabang olahraganya.
B A B III
ASPEK‑ASPEK PSIKOLOGIS DALAM OLAHRAGA
Telah
diuraikan sebelumnya bahwa kegiatan berolahraga adalah merupakan salah satu
perilaku manusia, sedangkan perilaku manusia selalu diwarnai oleh keadaan fisik
maupun psikologisnya, dengan demikian kegiatan berolahraga juga selalu diwarnai
oleh keadaan kedua aspek tersebut. Hal ini kiranya sudah tidak asing lagi,
karena memang yang melakukan olahraga adalah manusianya, bukan sekedar fisiknya.
Dengan kata lain bahwa dalam kegiatan berolahraga yang merupakan salah satu
bentuk perilaku manusia, tentu tidak akan terlepas dari pengaruh aspek fisik maupun aspek psikologis atau pengaruh alat
gerak maupun motor penggeraknya.
Terutama pengaruh dari aspek
psikologis adalah banyak macamnya, sehingga dalam kegiatan olahraga juga
bermacam‑macam akibat yang muncul. Adapun beberapa aspek itu akan diuraikan
seperti berikut :
A. Kecerdasan
dalam olahraga.
Istilah
kecerdasan sering pula disebut sebagai inteligensi,
kecakapan, kepandaian, atau juga intelektualitas.
Kecerdasan atau yang disebut dengan bermacam‑macam istilah itu, adalah
merupakan faktor penting yang sering menentukan kemenangan dalam pertandingan
olahraga, khususnya dalam cabang‑cabang tertentu seperti tenis lapangan, sepak
bola, bola voli, bulu tangkis, tinju dan cabang‑cabang lain yang semacam.
Dalam cabang‑cabang yang semacam itu, pada umumnya
sebelum pertandingan seorang pemain harus mengetahui bahwa siapa sebenarnya
calon lawannya itu. Dengan kata lain bahwa pemain harus tahu lebih dulu calon
lawannya, baik dalam hal kelebihan maupun kekurangannya. Maksudnya agar pemain
yang akan bertanding itu harus mengetahui lebih dahulu kekuatan dan kelemahan
lawan, di samping juga kemampuan dirinya sendiri, agar selanjutnya dapat
menentukan pola ataupun strategi yang digunakan dalam bertanding nanti. Selain
itu selama bertanding atau selama dalam pertandingan berlangsung, ia dituntut
pula untuk menganalisis permainan lawan, yang kemudian ia dituntut untuk segera
menentukan sikap dan bertindak sebagai jawaban atas permainan lawan atau
sebagai tindakan antisipasi terhadap permainan lawannya itu. Hal semacam ini
dapat dilakukan kalau pemain yang bersangkutan memiliki kecerdasan atau inteligensi
yang cukup memadai atau relatif tinggi. Untuk itu perlu diketahui lebih dahulu
apa sebenarnya yang dimaksud kecerdasan
atau inteligensi atau kepandaian itu, hingga demikian besar
pengaruhnya terhadap cabang‑cabang olahraga tertentu dalam mencapai prestasi
yang setinggi‑tingginya.
Ada bermacam‑macam batasan mengenai kecerdasan atau yang biasa disebut dengan inteligensi, karena memang banyak pula para ahli yang mengemukakan
batasan itu sesuai dengan sudut pandangnya masing‑masing. Untuk itu batasan
tentang inteligensi hanya beberapa yang akan dikemukakan. Menurut William Stern, inteligensi adalah
merupakan kemampuan untuk menggunakan secara tepat segenap alat‑alat bantu dan
fikiran, guna menyesuaikan diri terhadap tuntutan‑tuntutan baru. Dari batasan Stern ini dapat digambarkan bahwa orang
yang cerdas atau pandai akan lebih mampu berfikir, menimbang, menganalisis,
mengkombinasikan segala informasi yang diperolehnya, untuk menemukan kesimpulan
dan kemudian memutuskan dan bertindak. Dengan demikian orang yang cerdas atau
pandai atau cakap atau pintar, akan dapat menyelesaikan semua itu dalam waktu
yang relatif singkat, memahami masalah lebih cepat dan cermat, juga mampu
bertindak secara cepat.
Menurut Wechsler,
inteligensi adalah merupakan potensi atau kemampuan yang bersifat umum yang
dimiliki seseorang atau individu untuk bertindak secara terarah, berfikir
secara rasional dan menyesuaikan diri secara efektif dengan lingkungannya. Dari
batasan Wechsler ini sebenarnya
secara umum adalah tidak jauh berbeda atau bahkan mengandung pengertian yang
sama. Artinya bahwa batasan dari Wechsler
inipun dapat digambarkan, bahwa seseorang yang cerdas atau pandai atau memiliki
inteligensi tinggi, adalah orang yang cepat menyesuaikan diri dengan situasi
yang ia hadapi, relatif cepat, tepat dan cermat.
Dari
dua batasan tentang inteligensi di atas kemudian dapat disimpulkan, bahwa
seseorang yang memiliki inteligensi tinggi, adalah orang yang memiliki
kemampuan ataupun potensi untuk menyesuaikan diri dengan situasi, kondisi,
ataupun lingkungannya, lebih cermat dan cepat. Dengan demikian sebenarnya
perbedaan antara orang yang memiliki inteligensi rendah, sedang dan tinggi,
hanya terletak pada soal tempo atau waktu, walaupun sebenarnya tidak
sesederhana itu persoalannya. Menyesuaikan dengan situasi, kondisi, maupun
lingkungan, adalah bermacam‑macam bentuk maupun jenisnya. Seorang siswa yang
lulus Sekolah Dasar dan masuk ke SMP, berarti harus menyesuaikan dengan
situasi, kondisi, maupun lingkungan di SMP itu. Artinya bahwa selain ia harus
menyesuaikan dengan teman‑temannya yang baru, juga harus menyesuaikan dengan
semua kegiatan termasuk jenis‑jenis mata pelajaran yang baru baginya. Demikian
pula saat ia masuk ke SMA, masuk ke pendidikan tinggi, ia selalu harus
menyesuaikan dengan hal‑hal yang baru. Jika ia memiliki kecerdasan yang cukup
atau relatif tinggi, tentu ia akan cepat menyesuaikan diri, seperti misalnya
dapat menangkap dan mengerti tentang semua pelajaran yang diberikan, lebih
cepat dari pada teman lainnya. Sebaliknya seseorang yang memiliki kecerdasan
atau inteligensi relatif rendah, untuk mengerti sesuatu atau untuk menyesuaikan
dengan sesuatu yang baru, akan diperlukan waktu yang lebih lama. Biasanya orang
yang lamban atau lama untuk mengerti sesuatu ; yang berarti lamban juga untuk
menyesuaikan dengan lingkungannya ; akan dikatakan sebagai anak bodoh. Dengan
demikian seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa cerdas dan bodoh atau
inteligensi tinggi dan rendah, secara umum adalah hanya soal tempo atau waktu
penyesuaian. Dengan kata lain bahwa sebenarnya semua manusia ini memiliki
potensi atau kemampuan untuk menyesuaikan diri, hanya kadar atau besar kecilnya
kemampuan itu berbeda‑beda, hingga ada yang dikatakan cerdas atau
berinteligensi tinggi, juga ada yang sedang‑sedang saja, ada pula yang
dikatakan bodoh atau berinteligensi relatif rendah, dan lain sebagainya. Namun
demikian seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa persoalan inteligensi
atau kecerdasan atau yang semacamnya adalah tidak semudah dan sesederhana itu.
|
|
Perkembangan
kecerdasan atau kemajuan kecerdasan adalah berasal dari dalam hingga mencapai
kematangannya, dan setelah itu akan dapat dicapai melalui pengajaran dan
pendidikan yang teratur, hingga mencapai pada kecerdasan yang sesuai dengan
yang sebenarnya ia miliki. Dengan kata lain bahwa seseorang yang sebenarnya
memiliki kecerdasan tinggi, namun tanpa adanya suatu pengajaran dan pendidikan
atau pengarahan tertentu, tidak akan dapat mencapai puncak kemampuan yang
sebenarnya ia miliki.
Dalam kaitannya dengan olahraga, kecerdasan juga
diperlukan dalam cabang‑cabang tertentu. Artinya memang ada cabang tertentu
yang memerlukan kemampuan untuk berfikir secara cepat dan tepat, kemudian
bertindak secara cepat untuk menganti-sipasi lawannya. Oleh karena itu kondisi
kecerdasan ini dalam kaitannya dengan olahraga, agar tetap atau bertambah baik
harus tetap memperoleh stimulasi atau
rangsangan untuk berfungsi, dengan salah satu cara bahwa yang bersangkutan
harus selalu dibiasakan untuk menggunakan kemampuan inteleknya. Seorang pemain
yang terus menerus berlatih baik secara fisik maupun teknik, tetapi lupa atau
tidak pernah memberi makanan intelek,
akibatnya juga kegiatan yang bersifat intelektualistis menjadi tidak berkembang
sesuai dengan yang sebenarnya ia miliki. Untuk itu setelah disadari dan
dimengerti bahwa intelektualitas atau kecerdasan mempunyai peranan penting
dalam olahraga (terutama untuk cabang tertentu), maka makanan intelek ini perlu diperhatikan antara lain dengan cara
memberi kesempatan kepada mereka untuk bersekolah atau mengikuti kursus‑kursus
tertentu. Jika mereka atau olaragawan yang bersangkutan sedang dalam pemusatan
latihan, hendaknya tetap memperoleh kesempatan melatih proses bertikir, dengan
cara latihan menganalisis jalannya suatu pertandingan, mengungkapkan pendapat
yang dapat dilakukan dalam diskusi‑diskusi yang terarah. Dengan demikian peran
seorang pelatih atau pembina olahraga akan semakin luas, karena tidak sekedar
bertugas membentuk seseorang memiliki keterampilan dasar yang hebat, melainkan
juga membentuk seseorang itu pandai menganalisis pola atau strategi permainan
lawan, juga memanfaatkan kemampuan dirinya agar pada akhirnya dapat memenangkan
permainan atau suatu pertandingan yang dilakukannya.
B. Bakat
dalam olahraga.
Seperti
halnya kecerdasan atau inteligensi, bahwa bakat
juga merupakan salah satu faktor penting sebagai pendukung yang diperlukan
dalam pencapaian prestasi olahraga. Untuk mencapai prestasi yang tinggi dalam
olahraga, tampaknya tiada satupun cabang olahraga yang tidak memerlukan adanya bakat dari pelakunya. Artinya bahwa bakat adalah mutlak diperlukan. Demikian
pentingnya peranan bakat dalam pencapaian prestasi olahraga, sehingga perlu
diketahui lebih dahulu apa bakat itu.
Untuk
menjelaskan tentang bakat, sebenarnya sama rumitnya dengan masalah kecerdasan
atau intelegensi. Dengan memunculkan pertanyaan apa bakat itu ? justru akan banyak menimbulkan persoalan. Artinya
bahwa sudah sejak lama para ahli mencoba menjelaskan dengan sudut pandangnya
masing‑masing, namun hasilnya ternyata belum dapat memuaskan semua pihak. Namun
demikian usaha selanjutnya untuk menjawab pertanyaan tersebut, akhirnya tetap
muncul bermacam‑macam definisi atau batasan yang berbeda satu dengan lainnya.
Untuk itu tidak semua batasan mengenai bakat akan dikemukakan, namun hanya
salah satu di antaranya yang dipandang sesuai dengan kepentingan olahraga
tentunya.
Bakat adalah kemampuan untuk terbentuknya keahlian atau keberhasilan seseorang dalam mengerjakan sesuatu (Saparinah S. 1982). Dari sini tampak bahwa sebenarnya bakat adalah seperti halnya kecerdasan atau kecakapan, artinya masing‑masing adalah merupakan kemampuan atau potensi yang dimiliki oleh seseorang. Bakat adalah potensi atau kemampuan seseorang yang lebih khusus, sedangkan kecerdasan adalah kemampuan atau potensi yang lebih umum. Dengan kata lain bahwa orang yang dikatakan cerdas atau pandai atau cakap, biasanya memiliki kelebihan yang hampir menyeluruh, tetapi orang yang dikatakan berbakat biasanya terbatas dalam hal‑hal yang tertentu seperti berbakat dalam matematika atau berbakat menggambar atau berbakat olahraga dan sebagainya. Dengan demikian bakat dalam kaitannya dengan olahraga dapat disebut sebagai bakat olahraga, yang artinya adalah kemampuan atau potensi seseorang untuk berprestasi dalam kegiatan olahraga.
Orang
yang dikatakan berbakat dalam olahraga,
artinya dalam dirinya terdapat ciri‑ciri yang dapat dikembangkan menuju
keberhasilan, yaitu prestasi yang tinggi dalam olahraga. Untuk itu ciri‑ciri
yang terdapat di dalam diri seseorang atau individu perlu dikenali, agar
diperoleh bahan baku atau bahan mentah yang dapat dikembangkan secara maksimal.
Hal ini sering disebut dengan pemanduan bakat, yang tidak lain maksudnya adalah
mengenali ciri‑ciri potensi seseorang atau mengidentifikasi ciri‑ciri kemampuan
seseorang yang dapat dikembangkan dan lebih berkembang dari pada kemampuan
lainnya, ke arah jenis olahraga tertentu yang sesuai dengan ciri‑ciri
kemampuannya itu. Sebenarnya setiap cabang olahraga memerlukan berfungsinya
lebih dari satu faktor bakat. Dengan kata lain bahwa sebenarnya bermacam‑macam
faktor mungkin diperlukan dalam cabang olahraga tertentu. Misalnya dalam
olahraga tinju, diperlukan berfungsinya faktor‑faktor kecepatan, kelincahan,
kekuatan dan mungkin masih banyak lagi. Pada setiap individu sebenarnya
terdapat semua faktor yang diperlukan untuk berbagai cabang olahraga, hanya
saja tentu dengan perbandingan porsi, kombinasi, maupun intensitas yang
berlainan. Untuk itu pada umumnya dalam mengidentifikasi tentang faktor‑faktor
bakat, yang dilakukan adalah membuat urutan (ranking) mengenai faktor‑faktor
bakat pada setiap individu.
Bertolak
dari jalan fikiran seperti di atas, sehingga pada umumnya tes bakat disusun
dengan prosedur sebagai berikut :
1.
Menganalisis kegiatan
berolahraga, artinya melakukan analisis untuk menemukan faktor‑faktor apa saja
yang diperlukan, agar seseorang dapat berhasil dalam kegiatan berolahraga
secara umum.
2.
Dari hasil analisis itu
kemudian dibuat suatu batasan pengertian (description)
tentang faktor‑faktor itu.
3.
Dari batasan pengertian
tentang faktor‑taktor itu, akan diketahui syarat apa saja yang harus dipenuhi,
agar seseorang dapat lebih berhasil dalam cabang olahraga tertentu.
4.
Dari syarat‑syarat itu,
untuk selanjutnya dijadikan landasan menyusun alat ukur (alat ukur bakat), yang
biasanya alat ukur itu berujud/berbentuk dan disebut tes.
Mencermati prosedur mengenai pembuatan
tes bakat yang masih bersifat umum ini, ternyata memang masih memerlukan penjelasan
secara panjang lebar dan lebih mendalam, sehingga untuk menyusun tes bakat
memang tidak mudah. Dengan demikian alat ukur atau tes bakat yang telah ada
itupun belum dapat dikatakan memuaskan, karena memang tes bakat tidak akan
mungkin memuat seluruh faktor yang disyaratkan. Untuk itu yang dapat dilakukan
dalam membuat atau menyusun tes bakat adalah, berusaha membuat sedekat mungkin
dengan syarat yang seharusnya dipenuhi, atau mengambil faktor‑faktor yang lebih
dominan yang dapat ditampung di dalam rangkaian tes itu.
Sungguhpun membuat tes atau menyusun
tes bakat adalah tidak mudah dan tidak setiap orang dapat membuatnya, namun
dalam bidang olahraga faktor bakat tetap harus diperhatikan, jika diinginkan
prestasi yang tinggi. Belum atau tidak dapat menyusun tes bakat, bukan berarti
harus melupakan faktor bakat, karena setidaknya dapat digunakan tes bakat yang
telah dibuat oleh para ahli atau orang lain, walaupun dirasa masih belum tepat
benar. Hal ini seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa bakat adalah
merupakan modal utama yang mutlak diperlukan dalam olahraga, karena memang
bakat itulah yang akan dikembangkan melalui pembinaan dan latihan untuk
mencapai prestasi setinggi‑tingginya.
Kadang‑kadang atau bahkan sering bahwa
walaupun tes atau alat ukur itu ada, namun tidak mudah untuk dilaksanakan atau
diterapkan, karena mungkin banyak persyaratan yang harus dipenuhi dalam
pelaksanaannya. Sungguhpun demikian sering pula orang mengatakan atau seorang
guru yang mengatakan bahwa salah seorang
muridnya sangat berbakat dalam cabang olahraga tertentu, walaupun ia tak
pernah melakukan atau mengadakan tes bakat untuk murid‑muridnya. Hal ini hampir
dapat dipastikan bahwa guru itu hanya menilai berdasarkan penglihatan secara
visual, yang berarti walaupun masih sangat terbatas ia memiliki pengetahuan
tentang faktor‑faktor bakat sesuai dengan cabang olahraga yang dimaksudkan.
Seandainya ia tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang faktor‑faktor
bakat itu, tidak akan mungkin ia dapat mengatakan semacam itu. Hal semacam
itulah minimal yang harus dilakukan, seandainya memang tidak dapat melaksanakan
tes bakat karena tidak terdapat peralatan yang sangat sederhana sekalipun, atau
karena memang letak atau lokasi yang sangat terpencil dan jauh dari peralatan
yang memadai. Dengan demikian dalam upaya mengembangkan dan membina potensi
anak didik tidak secara sembarangan seluruh anak yang ada diperlakukan sama
rata, yang akhirnya hanya membuang tenaga, waktu, fikiran secara sia‑sia,
karena sebenarnya mereka tidak memiliki bakat sama sekali.
C. Minat dalam olahraga.
Di atas telah diuraikan bahwa betapa
pentingnya peranan bakat maupun inteligensi (dalam cabang tertentu), demi
mencapai prestasi yang setinggi‑tingginya. Sebenarnya bakat maupun inteligensi
atau kecerdasan itu saja belum cukup menjamin untuk mencapai prestasi yang
tinggi, karena ternyata masih banyak faktor lain yang juga ikut menunjang atau
berpengaruh terhadap pencapaian prestasi atau keberhasilan tertentu, salah satu
di antaranya adalah faktor minat.
Minat dapat
diartikan sebagai kecenderungan untuk memilih dan atau melakukan sesuatu hal
atau obyek tertentu, di antara sejumlah obyek yang tersedia. Dengan demikian
seseorang yang mempunyai minat terhadap sesuatu obyek tertentu, artinya ia
telah menentukan pilihannya terhadap obyek itu. Jika ia memilih salah satu
obyek di antara sejumlah obyek, artinya ia telah mempertimbangkannya lebih
dahulu. Mempertimbangkan dapat didasarkan atas banyak hal yakni karena senang,
karena mendatangkan keuntungan, karena lebih mudah, karena mendatangkan
popularitas atau karena mudah untuk dikerjakan atau dijalani, dan lain
sebagainya. Mempertimbangkan sebelum menentukan pilihan dengan dasar yang bermacam‑macam
itu, artinya ia telah menilai atau memberikan penilaian kepada masing‑masing
obyek sesuai dengan kriteria atau dasar yang bermacam-macam tadi. Akhirnya ada
salah satu obyek yang mendapatkan nilai tertinggi atau terbanyak, dan kemudian
obyek itulah yang dipilih atau yang diminatinya.
Dengan demikian
bahwa sebenarnya seseorang yang berminat terhadap sesuatu obyek tertentu, belum tentu ia menyenangi obyek itu.
Pada umumnya memang berminat selalu dikaitkan dengan rasa senang, namun
ternyata faktor senang hanya salah satu pertimbangan dari banyak pertimbangan.
Dengan kata lain bahwa berminat belum
tentu senang, dan menyenangi sesuatu
juga belum tentu meminati sesuatu itu. Yang jelas bahwa melalui berbagai
pertimbangannya, seseorang akan memberikan nilai kepada obyek tertentu lebih
besar dari obyek lainnya, kemudian ia akan memutuskan pilihannya pada obyek
yang mempunyai nilai lebih tinggi dari obyek lainnya, dan itulah yang menjadi
minatnya. Untuk itu seseorang yang berminat terhadap sesuatu, tentu ia akan
berusaha dengan segala kemampuannya untuk mencapai keberhasilan, walau kadang‑kadang
ada juga yang justru menemui kegagalan. Hal ini sangat tergantung dari cara
berfikir seseorang, dalam meletakkan dasar atau kriteria untuk menilai obyek
yang dipilihnya itu. Artinya bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi dan
berpengetahuan luas, tentu memiliki cara berfikir yang lebih cermat dalam
mempertimbangkan sesuatu. Sebaliknya seorang yang berpendidikan rendah atau
pengetahuan sempit, pada umumnya juga memiliki cara berfikir yang dangkal,
sehingga dalam mempertimbangkan sesuatu juga kurang cermat, akibatnya apa yang
sebelumnya dinilai baik untuk dirinya dan mampu dilakukannya ternyata menjadi
sebaliknya. Untuk itu dalam olahraga selain bakat, minat juga perlu dikenali
untuk menunjang keberhasilannya.
Seorang yang
ingin berprestasi dalam cabang olahraga tertentu dan ia dihadapkan pada
berbagai cabang olahraga, tentu ia harus menentukan minatnya selain harus
sesuai dengan bakatnya dalam cabang tertentu. Artinya bahwa setelah ia
berhadapan dengan ber-bagai cabang olahraga, ia tentu akan menilai masing‑masing
cabang dengan berbagai pertimbangan. Pertimbangan pertama mungkin dari rasa
senang, artinya bahwa sesuai dengan kesenangannya ia akan memilih cabang tenis
misalnya. Namun setelah dipertimbangkan lagi, ternyata dalam cabang olahraga
tenis ini telah banyak saingan yang berprestasi tinggi. Di samping itu ternyata
bahwa dalam olahraga tenis diperlukan biaya yang tidak sedikit, untuk memenuhi
alat dan perlengkapan maupun keperluan latihan lainnya. Sedangkan dalam cabang
lainnya yaitu atletik dalam nomor lari misalnya, walaupun sebenarnya lebih
senang pada cabang tenis tetapi tampaknya pada nomor lari lebih memberi
kemungkinan berprestasi baginya. Artinya bahwa dalam nomor lari ini walaupun
sebenarnya kurang disenangi, namun ia dapat melakukan latihan dengan baik,
karena lintasan atau tempat latihan tidak memerlukan tempat khusus yang harus
menyewa, di samping itu peralatan atau perlengkapan relatif lebih murah dan
terjangkau. Dengan demikian akhirnya ia menentukan minatnya pada nomor lari
itu, dengan pertimbangan bahwa dalam cabang tenis ia senang tetapi tak mampu
sewa lapangan, beli bola, beli racket, dan lain sebagainya, hingga praktis tak
bisa melakukan latihan. Tetapi dalam nomor lari, ia dapat berlatih dengan baik
walau tanpa sepatu dan lintasan dalam stadion. Dengan kata lain bahwa dalam
nomor lari itu, ia lebih memiliki kemungkinan untuk berprestasi, hingga
akhirnya ia memilih cabang itu. Sebaliknya seandainya ia hanya menuruti rasa
senang dan berlatih tenis, mungkin kegiatannya itu akan terhenti di tengah
jalan karena tidak mampu mengeluarkan biaya yang relatif tinggi baginya.
Memperhatikan pada contoh kasus di
atas, dapat dijelaskan bahwa seandainya orang yang senang olahraga tenis itu
juga mampu membiayai dirinya untuk keperluan latihannya dengan baik,
kemungkinan lebih besar ia akan dapat meraih prestasi lebih baik pada cabang
tenis dari pada nomor lari. Dengan kata lain bahwa sebaiknya memang apa yang
diminati juga disenangi, atau yang disenangi juga diminati, hal ini akan lebih
mendukung tercapainya tujuan.
D. Emosi
dalam olahraga.
Istilah
emosi sering dikaitkan dengan hal‑hal
ataupun dikonotasikan sebagai perilaku yang sifatnya negatif, baik dalam bentuk
perilaku fisik maupun berupa kata‑kata atau kalimat ataupun dalam bentuk sikap.
Artinya bahwa hanya tindakan atau kalimat (kata‑kata) atau sikap yang sifatnya
negatif itu yang pada umumnya dikatakan sebagai perwujudan dari emosi
seseorang. Namun sebenarnya bahwa emosi bukan hanya yang menyangkut hal‑hal
negatif saja, melainkan juga menyangkut hal‑hal yang sifatnya positif dan
menyenangkan. Emosi sebenarnya
mencakup berbagai macam perasaan seperti susah, sedih, senang, gembira, kecewa,
marah dan masih banyak lagi perasaan sebagai luapan emosional seseorang. Oleh
karena itu perlu dimengerti lebih dahulu mengenai pengertian tentang emosi, agar tidak terjadi salah
pengertian yang akan menyesatkan.
Sebenarnya
bahwa emosi adalah merupakan gejala
kejiwaan, yang muncul karena adanya persepsi
seseorang terhadap sesuatu hal. Dengan demikian sebagai perwujudan atau sebagai
ekspresi dari emosi dapat juga bermacam‑macam bentuk perilaku, seperti orang
susah diekspresikan dalam bentuk menangis atau termenung, marah diekspresikan
dengan berteriak atau menyerang orang lain dan semacamnya, senang diekspresikan
dengan tertawa atau melonjak‑lonjak atau justru dengan menjerit, dan mungkin
pula bahwa segala luapan emosional itu hanya diekspresikan dengan diam
termenung saja. Dengan demikian sebenarnya bahwa selain bentuk luapan emosi itu
bisa bermacam‑macam, juga bentuk ekspresinya pun bermacam-macam. Hal ini
disebabkan karena berbagai macam faktor, baik itu faktor‑faktor yang
mempengaruhi meluapnya emosi maupun faktor‑faktor yang mempengaruhi dalam
mengekspresikannya. Dalam kejadian yang berbeda, mungkin akan memunculkan
luapan emosional yang sama, dan bentuk ekspresinya bisa sama dan bisa berbeda
pula. Sebaliknya bahwa bisa terjadi juga dalam kejadian yang sama, akan
memunculkan emosi yang berbeda antara orang satu dengan lainnya. Jika terjadi
emosi yang berbeda dan akibat yang ditimbulkan atau bentuk ekspresinya menjadi
berbeda, maka perbedaan‑perbedaan itu disebabkan oleh karena persepsi mereka yang berbeda pula
terhadap kejadian itu. Sedangkan persepsi
orang satu dengan lainnya menjadi berbeda walaupun dalam kejadian atau kondisi
atau situasi yang sama, disebabkan karena beberapa faktor antara lain luasnya
pengetahuan, tingkat pendidikan maupun pengalamannya selama ia hidup. Bahkan di
antara orang‑orang yang mempunyai tingkat pendidikan sama, dapat pula terjadi perbedaan persepsi mengenai hal yang sama, karena mereka memang
hidup dalam lingkungan dan kebudayaan yang berbeda. Untuk itu perlu kiranya
dimengerti lebih dahulu tentang persepsi, sebelum diuraikan lebih lanjut
mengenai emosi.
Persepsi adalah mengandung unsur‑unsur mengamati, mencerna
dalam fikiran sesuai dengan pengetahuannya dan menyimpulkan. Selanjutnya
kesimpulan yang muncul ini, mungkin yang sering disebut sebagai tanggapan. Dengan demikinn persepsi sering pula disebut sebagai
tanggapan seseorang terhadap sesuatu. Jika dilihat kembali mengenai batasan
tentang emosi, maka dapat juga dikatakan bahwa emosi adalah gejala kejiwaan yang muncul karena tanggapan seseorang
terhadap sesuatu hal.
Beberapa
orang yang menyaksikan terjadinya kecelakaan di jalan raya misalnya, tentu
menimbulkan akibat yang berbeda‑beda bagi yang melihatnya, karena persepsi atau
tanggapan mereka terhadap kejadian itu juga berbeda, sesuai dengan sudut
pandang atau pikiran masing‑masing. Orang yang satu mempunyai tanggapan
terhadap kejadian itu bahwa “biasanya
memang pejalan kaki atau pemakai jalan kurang atau tidak tertib terhadap
peraturan lalu lintas yang berlaku” sehingga emosi yang muncul juga tidak
terlalu berat atau biasa saja tentang kejadian itu. Dengan demikian perwujudan
atau ekspresi dari emosinya juga biasa‑biasa saja, mungkin setelah melihat
korban kecelakaan itu, lalu pergi. Berbeda dengan orang lainnya, bahwa
menanggapi kejadian itu dari sisi kemanusiaan. Setelah melihat korban
kecelakaan yang luka parah, ia mempunyai tanggapan sesuai dengan pengetahuannya
bahwa orang yang luka parah tentu merasakan sakit yang amat sangat, kalau
dibiarkan tentu akan mati, sementara orang lain yang melihat hanya diam saja.
Tanggapan atau persepsi itu kemudian memunculkan emosi dalam bentuk rasa
kasihan, dan sebagai perwujudan rasa kasihan atau sebagai luapan atau ledakan
emosinya, tanpa diminta ia segera membawa korban ke Rumah Sakit terdekat,
sambil melelehkan air matanya. Sementara ia menggendong korban, orang lain
terbengong atau heran karena korban yang digendong jauh lebih besar, tetapi
mampu juga ia menggendong. Mengapa demikian ? Hal ini dimungkinkan karena
luapan atau ledakan emosinya, sehingga muncul kekuatan atau kemampuan lebih
besar dari biasanya. Hal ini memang sangat mungkin terjadi, mengingat sifat dan
fungsi emosi adalah :
1.
Memperkaya dan mengisi
arti kehidupan seseorang. Namun demikian jika emosi ini terlalu kuat atau
terlalu besar, maka akan berakibat munculnya perilaku atau perbuatan yang tidak
rasional, yang berarti mengakibatkan penganalisaan kurang cermat.
2.
Berperan penting bagi
kehidupan sehat, ekspresi diri, kepemimpinan, maupun perkembangan nilai‑nilai.
3.
Dapat dirasakan tanpa
diketahui tempatnya.
4.
Berpengaruh terhadap
bekerjanya kelenjar‑kelenjar dalam tubuh, sehingga mempengaruhi pula cara
berfikir, perilaku, tindakan, sikap, maupun pengambilan keputusan, juga
kekuatan, yang keseluruhannya itu akan menunjukkan kepribadian seseorang.
Dengan
demikian bahwa contoh kasus di atas lebih terkait dengan fungsi emosi pada
nomor 4, yaitu bahwa emosi berpengaruh terhadap bekerjanya kelenjar dalam
tubuh, hingga dapat memunculkan kekuatan yang lebih dari biasanya.
Memperhatikan
pengertian mengenai emosi seperti diuraikan di atas, sebenarnya bahwa emosi
yang muncul pada seseorang tidak selalu mengakibatkan hal‑hal yang negatif.
Luapan atau ledakan emosional dapat berbentuk senang, sedih, kecewa, marah,
takut, cemas, kasihan, dan perasaan lainnya. Dengan demikian sebagai akibatnya
atau sebagai ekspresinya dapat bermacam‑macam pula seperti tertawa atau
melonjak dan sejenisnya, menangis atau duduk termenung dan sejenisnya,
mengumpat atau bertindak kasar dan sejenisnya, menggigil dan gagap berbicara
atau sejenisnya, dan lain sebagainya, sesuai dengan rangsang yang masuk maupun
tingkat pendidikan, pengetahuan dan pengalaman yang bersangkutan.
Kaitannya dengan pengalaman hidup seseorang, tidak
jarang justru perilaku manusia atau seseorang lebih banyak dipengaruhi oleh
emosi dari pada akal sehat atau rasionya, sehingga mengakibatkan tindakannya
tidak terkontrol atau tidak cermat dalam mengambil keputusan atau berfikir,
karena memang akal sehat atau rasionya sudah tertutup oleh emosinya. Seperti
telah disebutkan di atas, bahwa emosi seseorang sangat dipengaruhi oleh
pengalaman hidupnya, sehingga ada orang yang dikatakan telah memiliki
kestabilan emosi, tetapi ada pula yang dikatakan belum memiliki kestabilan
emosi. Orang yang telah banyak memiliki pengalaman hidup, berarti ia telah
banyak menemui kasus‑kasus yang beraneka ragam. Kasus‑kasus itu sebenarnya
merupakan rangsang bagi munculnya emosi seseorang, dengan segala perwujudannya.
Dari banyaknya rangsang yang masuk dan bermacam‑macam, tentu akan memunculkan
emosi yang bermacam‑macam pula. Untuk itu berarti bermacam‑macam pula tindakan
yang pernah dilakukan sebagai akibat dari emosinya, dan ini merupakan
pengalaman baginya. Dari pengalamannya itu, berangsur‑angsur ia akan dapat
mengendalikan emosinya, dalam arti bahwa ternyata tindakan yang pernah
dilakukan sebagai luapan emosinya itu, merugikan dirinya atau bahkan merugikan
orang banyak. Seseorang yang telah memiliki kestabilan emosi, berarti ia tidak
mudah atau tidak cepat terganggu oleh rangsang‑rangsang yang masuk, sehingga
kalau ia mengalami perasaan marah misalnya, ia akan dapat mengekspresikannya
dengan wajar hingga tidak terlalu mengganggu efektivitas kerja kelenjar dalam
tubuh secara berlebihan.
Demikian
pula yang terjadi dalam kegiatan berolahraga. Artinya bahwa jika emosi
mempengaruhi perilaku manusia, sedangkan kegiatan olahraga adalah merupakan
salah satu bentuk perilaku manusia, maka
artinya emosi iuga berpengaruh terhadap kegiatan olahraga. Terutama emosi dalam
bentuk rasa cemas atau kecemasan, adalah besar pengaruhnya terhadap penampilan
olahraga yang berarti berpengaruh pula terhadap pencapaian prestasinya. Pengendalian
emosi pada saat bermain atau berlomba atau bertanding, sering kali menjadi
faktor penentu dalam mencapai keberhasilan atau kemenangan. Kecemasan adalah
merupakan salah satu bentuk emosi, yaitu merupakan perasaan khawatir yang pada
tahap lebih berat akan sampai pada keadaan takut atau ketakutan. Sesuai dengan
salah satu fungsi emosi adalah dapat mempengaruhi bekerjanya kelenjar dalam
tubuh, maka perasaan cemas juga merupakan faktor penggerak yang dapat
mengakibatkan munculnya kekuatan yang besar bagi seseorang. Namun demikian jika
gejala emosional semacam itu muncul dalam kadar atau ukuran yang sangat besar
atau terlalu besar, akibatnya justru akan menimbulkan over stimulus yang justru dapat merugikan.
Berkaitan
dengan gejala emosional yang disebut cemas, sebenarnya tidak seorangpun yang
terlepas dari rasa cemas. Semua orang tentu memiliki rasa cemas, hanya saja
dalam kadar atau ukuran atau derajat tertentu yang berbeda‑beda. Kecemasan
dalam kadar tertentu memang dapat menyebabkan orang menjadi putus asa dan tidak
berdaya, tetapi sebaliknya luapan emosional dalam kadar tertentu pula justru
bermanfaat. Karena derajat kecemasan sebagai ujud emosional adalah berbeda
antara orang yang satu dengan lainnya, maka dalam kaitannya memanfaatkan emosi
dalam kegiatan olahraga, pembina atau pelatih atau guru olahraga perlu mencari
cara‑cara yang sesuai bagi setiap orang untuk mengatasi atau mengendalikan
gejolak emosinya. Dengan emosi yang terkendali diharapkan akan dapat lebih
merangsang bekerjanya kelenjar dalam tubuh, sehingga dapat memunculkan tenaga
yang lebih besar, tetapi masih dalam pengendalian atau penguasaan akal sehat
atau rasionya.
E. Konsentrasi dalam olahraga.
Faktor lain yang
tak kalah pentingnya dalam kaitannya dengan pencapaian keberhasilan dalam
olahraga, adalah faktor konsentrasi.
Namun sebelumnya perlu dimengerti lebih dahulu, mengenai istilah konsentrasi ini walaupun istilah itu
telah sering kita dengar dan diucapkan.
Konsentrasi yang dalam bahasa asing (Inggris) ditulis dengan concentration, adalah berarti
"pemusatan". Namun demikian pada umumnya istilah konsentrasi,
diartikan sebagai pemusatan pemikiran dan perhatian. Hal ini memang tidak salah
walau sebenarnya kurang lengkap, sebab konsentrasi hanya berarti
"pemusatan", sedang pada umumnya terutama dalam olahraga istilah
konsentrasi memang dimaksudkan sebagai pemusatan dalam hal pemikiran dan
perhatian terhadap apa yang akan dilakukan, hingga akhirnya konsentrasi
diartikan sebagai pemusatan pemikiran dan
perhatian terhadap sesuatu yang akan dilaksanakan atau diusahakan. Untuk
itu konsentrasi dalam kaitannya dengan olahraga, sebenarnya memang merupakan
faktor yang sangat diperlukan untuk mencapai tujuan keberhasilan. Konsentrasi
seperti yang dimaksud di atas, sebenarnya mengandung unsur pokok yaitu
"perhatian". Sedangkan "perhatian" sesuai dengan
penggunaannya, dapat diartikan sebagai pemusatan tenaga psikis yang tertuju
kepada suatu obyek, dan dapat pula diartikan sebagai banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai suatu aktivitas yang
dilakukan. Dengan demikian tampaknya memang banyak sedikitnya perhatian inilah yang pada umumnya didisebut
sebagai konsentrasi. Jika demikian,
maka sebenarnya sesuai dengan kepentingan olahraga konsentrasi dapat digolongkan sesuai dengan intensitas dan luasnya obyek.
Sesuai dengan intensitas konsentrasi atau banyak sedikitnya kesadaran yang
tertuju atau menyertai suatu aktivitas atau usaha tertentu, konsentrasi dapat
dibedakan menjadi : konsentrasi intensif,
dan konsentrasi kurang atau tidak
intensif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, semakin banyak kesadaran
yang menyertai suatu aktivitas atau usaha, berarti semakin intensif
konsentrasinya. Oleh karena itu sebenarnya tidak mungkin bahwa melakukan dua
aktivitas secara bersamaan, dengan konsentrasi yang sama intensifnya. De-ngan
kata lain bahwa konsentrasi yang terpecah kepada lebih dari satu aktivitas,
menjadi kurang atau tidak intensif. Sedangkan keberhasilan suatu usaha,
diperlukan konsentrasi yang intensif. Sehingga dapat dikatakan bahwa
konsentrasi yang kurang atau tidak intensif jelas akan mengurangi keberhasilan
usahanya.
Sesuai dengan luasnya obyek yang memerlukan perhatian, konsentrasi dapat
dibedakan menjadi : konsentrasi
distributif dan konsentrasi
konsentratif. Adapun konsentrasi yang distributif
maksudnya adalah, konsentrasi yang terpencar atau terpecah kepada bermacam‑macam
obyek. Konsentrasi semacam ini seperti terdapat pada seseorang yang sedang
bermain atau bertanding sepak bola misalnya, artinya bahwa selain ia harus
berkonsentrasi terhadap bola yang sedang dibawa, ia juga berkonsentrasi
terhadap posisi teman‑temannya, selain juga terhadap lawannya sebagai halangan
yang perlu diantisipasi. Sedangkan konsentratif
maksudnya adalah, bahwa konsentrasi itu hanya terpusat kepada satu obyek atau
kepada obyek yang sangat terbatas. Konsentrasi semacam ini seperti terdapat
pada seseorang yang sedang dalam keadaan siap, menunggu aba‑aba start
(bunyi pistol start) dalam perlombaan lari misalnya.
Seperti telah
diuraikan di atas, hahwa konsentrasi adalah merupakan pemusatan perhatian
terhadap suatu usaha tertentu. Dengan demikian terganggunya perhatian, berarti
merupakan gangguan pula terhadap konsentrasi. Sedangkan perhatian dilihat dari
cara pemunculannya, dapat dibedakan
menjadi : perhatian yang spontan, dan
perhatian yang disengaja. Artinya
bahwa perhatian yang spontan adalah perhatian yang datangnya mendadak dan tidak
disengaja atau tidak terduga, sedangkan perhatian yang disengaja adalah memang
sudah diusahakan atau dikehendaki. Dengan demikian sebenarnya perhatian jenis
pertama atau perhatian yang spontan, adalah yang sering menimbulkan gangguan
dalam pertandingan atau perlombaan olahraga, sebab perhatian itu datangnya
secara mendadak atau secara tiba‑tiba, yang sudah barang tentu sebenarnya tidak
dikehendaki karena memang tidak dipersiapkan sebelumnya. Dengan datangnya
perhatian yang mendadak, biasanya akan menggeser perhatian yang telah
dipersiapkan atau disengaja, sehingga perhatian yang datangnya mendadak itu
berarti akan mengganggu konsentrasi seseorang.
Di dalam kegiatan olahraga, khususnya
dalam situasi bertanding atau berlomba, konsentrasi adalah merupakan faktor
penunjang yang besar pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan, di samping
kemampuan atau keterampilan dalam cabang olahraga itu sendiri tentunya. Dengan
kata lain bahwa semakin besar perhatian (konsentrasi) tertuju kepada usaha yang
akan atau sedang dilakukan, semakin besar pula kemungkinan memperoleh
keberhasilan dari usahanya itu. Sebaliknya semakin banyak perhatian spontan
atau mendadak itu muncul, berarti semakin besar pula gangguan konsentrasi itu
terjadi, dan akibatnya semakin kecil pula kemungkinan memperoleh keberhasilan
dalam usahanya.
Gangguan
konsentrasi secara umum terjadi dari: lingkungan keluarga, kerja atau sekolah,
dan dari lingkungan olahraga sendiri.
1. Lingkungan keluarga.
Segala hal yang terjadi di dalam
keluarga, terutama yang bersifat negatif seperti problem keuangan, anggota
keluarga sakit, pertengkaran dalam keluarga, dan lain‑lainnya yang sejenis,
tentu akan mengganggu fikirannya. Fikiran yang terganggu, berarti pula memecah
perhatian sewaktu seseorang berada di lapangan untuk bertanding. Walaupun
sebenarnya permasalahan itu telah mengganggu jauh sebelum berada di lapangan
pertandingan, tetapi pada saat di lapangan sebenarnya ia tidak menghendaki perhatiannya
terpecah dengan persoalan rumah tangga. Namun demikian secara tidak diduga atau
tidak disengaja, secara mendadak persoalan keluarga itu muncul kembali, dan ini
berarti akan memecah perhatiannya yang berarti pula mengganggu konsentrasinya.
Dengan terganggunya konsentrasi saat bertanding atau berlomba, akan berakibat
buruk terhadap dirinya atau prestasinya.
2. Lingkungan kerja atau sekolah.
Seperti halnya lingkungan keluarga, bahwa bagi
yang masih sekolah atau yang sudah bekerja atau yang sudah tidak sekolah dan
belum bekerja, tentu mempunyai persoalan tertentu dengan lingkungan
kelompoknya. Pada saat atau menjelang bertanding, kebetulan bersamaan waktunya
dengan ujian di sekolah misalnya. Hal ini juga dapat memecah perhatian yang
berarti akan mengganggu konsentrasi. Demikian pula dengan persoalan kantor
seperti harus segera menyelesaikan pembukuan tutup tahun misalnya, sedangkan
saat itu bersamaan dengan dimulainya pemusatan latihan atau justru bersamaan
dengan pelaksanaan pertandingan. Seandainya ia tetap melakukan pertandingan
atau tetap mengikuti pemusatan latihan, tentu perhatiannya akan terpecah dengan
persoalan pembukuan yang belum terselesaikan, sehingga ini merupakan gangguan
konsentrasi saat melakukan latihan maupun dalam pertandingan. Adapun bagi atlit
yang masih pengangguran, artinya ia telah lulus sekolah tetapi belum
mendapatkan pekerjaan misalnya, ini justru lebih banyak mendapatkan gangguan
konsentrasi, walaupun tidak seluruhnya demikian. Pada umumnya seseorang yang
menganggur, justru memiliki lingkungan pergaulan bermacam‑macam. Dengan
demikian kemungkinan munculnya persoalan yang dapat mengganggu perhatiannya
juga relatif lebih banyak.
3. Lingkungan olahraga.
Seperti halnya lingkungan yang lain,
di dalam lingkungan olahraga sendiri juga sering timbul persoalan yang dapat
mengganggu konsentrasi bagi atlet. Ada beberapa hal yang sering menimbulkan
gangguan konsentrasi, pada saat atlet sedang dalam program latihan maupun pada
saat bertanding di lapangan. Beberapa di antaranya adalah : faktor penonton,
faktor petugas termasuk di dalamnya adalah wasit, pembantu wasit dan yang
lainnya, faktor lawan, faktor alat, perlengkapan, fasilitas, cuaca, dan lain
sebagainya.
Ada jenis penonton yang justru
menumbuhkan semangat, seperti penonton yang berpihak padanya atau sebagai supporters bagi teamnya. Tetapi ada jenis penonton yang dapat memecah perhatian
pemain setiap saat, hingga dapat mengganggu konsetrasinya, ter-utama penonton
yang senang akan sensasi atau penonton yang datang hanya ingin membuat
keributan. Demikian juga dengan petugas, seperti wasit yang tidak menguasai
benar tentang peraturan, tentu akan banyak membuat kesalahan dalam bertindak,
sehingga hal ini akan mengganggu konsentrasi pemain, terutama tindakan petugas
yang berat sebelah. Faktor lawan yang bermain tidak semestinya, misalnya
bermain terlalu kasar, bahkan menjurus ke arah tindakan yang membahayakan,
tentu juga akan mempengaruhi konsentrasi pemain. Demikian pula dengan alat‑alat,
perlengkapan, fasilitas maupun cuaca yang tidak biasanya dialami, tentu akan
membuat konsentrasi pemain menjadi terpencar atau terpecah. Selain mereka
berkonsentrasi terhadap permaianannya, juga harus memikirkan sesuatu yang lain,
yang belum pernah di alami sehingga perlu penyesuaian pada saat itu pula.
Gangguan‑gangguan yang sifatnya
spontan seperti di atas, tidak dapat diabaikan dan perlu persiapan sebelumnya.
Artinya bahwa pemain maupun pelatih memang harus bersiap diri menghadapi
gangguan itu.
F. Frustrasi dalam olahraga.
Dalam olahraga,
munculnya perasaan frustrasi pada
umumnya setelah mengalami kegagalan dan sulit mencari jalan ke luar untuk
mengatasi kegagalannya itu. Sehingga frustrasi
sebenarnya semacam perasaan bingung atau kebingungan, setelah mencoba mengatasi
kegagalannya yang berulang‑ulang, dan tidak dapat menemukan jalan ke luarnya.
Seorang pemain tenis yang selalu gagal menerima service dari lawannya, walaupun ia telah berusaha dengan berbagai
cara, akhirnya ia menderita frustrasi. Artinya ia menderita kebingungan setelah
usahanya selalu gagal, dan akhirnya merasa putus asa. Dari perasaan putus asa,
pada umumnya menimbulkan akibat yang bermacam‑macam seperti membanting racket,
mengumpat dengan kata‑kata kasar, dan lain sebagainya. Biasanya orang
mengatakan bahwa pemain itu mengalami frustrasi,
karena melihat akibat yang muncul itu. Hal seperti ini adalah merupakan frustrasi yang sifatnya temporer (sesaat), yang dapat segera
hilang tetapi juga dapat berkepanjangan. Frustrasi yang sifatnya temporer dapat
segera hilang, sewaktu terjadi perubahan situasi. Seperti misalnya yang terjadi
pada contoh di atas, setelah beberapa game
berlalu dan kondisi mulai menurun, ternyata service
yang mematikan dan selalu gagal diantisipasi itu akhirnya melemah dan dapat
diatasi. Sewaktu seseorang mulai dapat mengatasi kesulitannya itu, perasaan frustrasi berangsur‑angsur berkurang dan
akhirnya akan hilang. Sedangkan dalam pengertian umum, yang dimaksud frustrasi biasanya adalah perasaan gagal
untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, yang sifatnya berkepanjangan. Dengan
kata lain bahwa frustrasi adalah
perasaan yang muncul karena tidak tercapainya suatu pemuasan kebutuhan, karena
adanya rintangan yang menghalangi dan sulit diatasi hingga benar‑banar tidak
teratasi.
Setiap orang
tentu ingin memenuhi kebutuhannya dan ingin memperoleh kepuasan, ingin mencapai
tujuan dan harapannya, ingin berprestasi di dalam olahraga yang ditekuninya dan
ingin menang dalam pertandingan. Hal‑hal semacam ini akan dapat menimbulkan
frustrasi, apabila menemui kegagalan. Sebenarnya frustrasi bukan hanya disebabkan karena kegagalan belaka, tetapi
justru lebih banyak disebabkan dari dalam diri individu itu sendiri. Telah
banyak orang menemui kegagalan atau banyak pula orang yang kalah dalam
pertandingan, yang berarti mereka tidak bisa mencapai keinginannya, tetapi
mereka tidak frustrasi. Sehingga
sebenarnya frustrasi dapat terjadi
bukan hanya kegagalannya itu, tetapi lebih banyak ditentukan sifat‑sifat
individu dan pengalaman hidupnya. Dengan demikian rintangan yang menyebabkan
timbulnya kegagalan selain datang dari luar individu, juga karena faktor dari
dalam individu sendiri, yang keduanya akhirnya merupakan sumber frustrasi.
Faktor dari luar individu bisa berujud
lawan yang memang sangat tangguh, alat dan perlengkapan, maupun petugas
lapangan, dan lain sebagainya yang di anggapnya merupakan halangan atau
rintangan bagi tercapainya keberhasilan. Lawan yang sangat tangguh atau memang
di atas dari kemampuan dirinya, jelas merupakan rintangan utama bagi pencapaian
keberhasilan, sebab memang mereka saling menghalangi dan saling merintangi agar
dirinyalah yang memperoleh keberhasilan.
Demikian pula dengan alat dan
perlengkapan yang kurang memadai atau bukan yang seperti biasanya dipakai, akan
merupakan rintangan dan mungkin menimbulkan kegagalan. Petugas juga sering
dianggapnya sebagai rintangan bagi tercapainya keberhasilan, sebab ada kalanya
petugas lapangan yang bertindak berat sebelah atau kurang mampu melaksanakan
tugasnya, hingga merugikan pihak tertentu yang akhirnya dapat merupakan
rintangan untuk memperoleh keberhasilan, dan hal ini dapat pula sebagai sumber
frustrasi.
Faktor rintangan dari dalam individu,
lebih bersumber pada bagaimana pengalaman atau cara berfikir seseorang, dalam
menanggapi rintangan dari luar itu. Seseorang yang tidak mau dan tidak mampu
melihat kemampuan dirinya (introspeksi),
pada umumnya lebih besar mendapatkan kemungkinan frustrasi dalam setiap
kegagalannya. Oleh karena itu sebenarnya pengalaman yang bervariasi sangat
diperlukan bagi seseorang, agar dapat dan mau melihat setiap kenyataan yang
terjadi, hingga setiap kegagalan yang dialami saat itu tidak dianggap sebagai
kegagalan untuk seterusnya, dan hal ini berarti sudah mengurangi adanya sumber
frustrasi itu.
Akibat dari
frustrasi dapat bermacam‑macam, yang pada umumnya bersifat negatip seperti
munculnya agresivitas atau justru
patah semangat. Oleh karena itu sedapat mungkin frustrasi harus dihindari,
dengan persiapan‑persiapan jauh sebelum puncak kegiatan (pertandingan)
dilaksanakan. Untuk itu seharusnya setiap program latihan juga dipersiapkan
untuk memberikan pengalaman menghadapi setiap kemungkinan yang terjadi,
termasuk kemungkinan gagal dalam pertandingan.
Seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, bahwa gejala emosional dapat muncul dengan berbagai istilah dan
memang banyak jenisnya seperti stress,
ketegangan, cemas dan juga frustrasi
dan lain sebagainya. Kadang‑kadang antara istilah satu dengan lainnya sulit
dicari perbedaannya, karena memang perbedaan yang sangat tipis dan penggunaan
pada situasi dan kondisi yang berbeda, sehingga muncul istilah yang berlainan.
Selain itu memang ada beberapa istilah yang tampaknya mempunyai pengertian
sama, tetapi sebenarnya merupakan urutan atau tingkatan munculnya gejala
emosional. Sedangkan urutan munculnya gejala emosional inipun sebenarnya sulit
ditentukan dari mana mulainya, seperti misalnya munculnya stress, ketegangan, cemas, frustrasi. Dapat juga dikatakan bahwa
mula‑mula orang merasa gagal dalam suatu hal, sehingga ia merasa tertekan dan
terancam harga dirinya. Dengan perasaan tertekan (stress) akan mengakibatkan keadaan kejiwannnya menjadi terganggu
keseimbangannya, sehingga ia berusaha memperoleh keseimbangannya kembali dengan
cara mengatasi kegagalannya itu. jika ia tidak berhasil mengatasinya, ia akan
merasa cemas karena dirinya benar‑benar terancam dengan kegagalannya itu.
Selanjutnya cemas yang berkepanjangan, akan menimbulkan frustrasi yang
akibatnya dapat memunculkan perilaku agresif,
yang bentuknya bermacam‑macam.
Namun demikian
urutan seperti di atas, ternyata tidak selalu terjadi demikian. Ada kalanya urutan itu
menjadi terbalik atau dengan urutan yang lain, seperti misalnya seseorang yang
melakukan tindakan agresif, baru kemudian ia merasa tegang dan cemas karena
melihat akibat perbuatannya itu, mungkin akan berakibat panjang. Dengan
demikian pemunculan gejala emosional banyak dipengaruhi oleh faktor individunya
sendiri, yaitu bagaimana ia menghadapi suatu persoalan. Hal ini tentu erat
kaitannya dengan pengalaman dan cara berfikir seseorang, tingkat pendidikan
maupun lingkungannya.
G. Motivasi dalam olahraga.
Motivasi yang
pada umumnya diartikan sebagai suatu dorongan, sebenarnya adalah merupakan
proses. Motivasi adalah merupakan
seluruh proses dari adanya kebutuhan, yang menimbulkan dorongan untuk
dilakukannya perilaku tertentu, demi memenuhi kebutuhan yaitu tercapainya
tujuan. Jika motivasi merupakan
proses, maka sebenarnya yang menjadi sumbernya adalah yang disebut motif. Perbuatan atau perilaku seseorang
selain ditentukan oleh faktor‑faktor dari luar, juga ditentukan oleh faktor
dari dalam individu sendiri. faktor dari dalam yang dimaksud adalah kekuatan
yang ada dalam diri seseorang, yang disebut motif.
Motif adalah
merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin yaitu movere, yang artinya adalah menggerakkan atau mendorong untuk
bergerak. Dengan demikian motif dapat
diartikan sebagai penggerak atau
pendorong bagi manusia ke arah tujuan tertentu. Selanjutnya setelah motif
itu menjadi aktif, kemudian menjadi apa yang disebut motivasi.
Manusia sebagai individu maupun
makhluk sosial, memiliki dua motif sesuai dengan kebutuhannya sebagai manusia,
yaitu motif dari dalam dan motif dari luar. Karena sumber penggerak atau
pendorong (motif) dapat dari dalam
dan dari luar, maka sebagai prosesnya yaitu motivasi
juga ada dua macam yaitu motivasi dalam (instrinksik)
dan motivasi luar (ekstrinksik).
1. Motivasi dalam.
Yang dimaksud motivasi dalam adalah, munculnya motivasi yang didasari oleh motif dari dalam diri individu, yang
antara lain meliputui motif biologis,
yaitu yang menyangkut atau berkaitan dengan keperluan dan kebutuhan untuk
mempertahankan hidup, atau yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia
seperti makan dan minum misalnya. Kebutuhan makan dan minum ini merupakan
motif, yang apabila seseorang merasa lapar kemudian kebutuhan makan (motif)
ini menjadi aktif. Selanjutnya kebutuhan
makan ini merupakan motivasi baginya untuk bergerak mengambil piring, buka
almari, ambil nasi dan makan; atau dapat pula berujud prilaku ambil uang, ambil
sepeda, pergi ke warung, beli nasi dan makan. Dengan kata lain bahwa karena
lapar (berarti ia memiliki motif untuk makan), sehingga ia memiliki motivasi
untuk segera ambil piring, buka almari, dan ambil nasi.
Demikian pula di
dalam dunia olahraga, bahwa motivasi
itu dapat disebabkan dari dalam diri individu sendiri. Seperti misalnya
keinginan seseorang untuk mencapai prestasi yang setinggi‑tingginya, berarti di
dalam dirinya telah dimiliki motif
berprestasi yang akan mendorong dirinya untuk berlatih keras, demi mencapai
keinginannya itu. Dengan kata lain bahwa karena ia memiliki motif berprestasi, sehingga ia memiliki motivasi untuk berlatih keras demi
tercapainya tujuan. Motif‑motif sebagai sumber motivasi yang berasal dari dalam
ada bermacam‑macam seperti prestasi, harga diri, dan lainnya yang semacam.
Seseorang yang memiliki motif berprestasi, ia akan berlatih keras semata‑mata
memang hanya ingin mencapai prestasi yang tinggi sebagai kepuasan hatinya.
Seseorang yang me-miliki motif harga diri, ia akan berlatih keras untuk
mencapai prestasi tinggi demi harga dirinya. Sehingga kepuasannya bukan
terletak pada prestasi yang tinggi semata, tetapi dari prestasi yang tinggi ia
berharap disanjung oleh orang banyak, dan sanjungan itu yang lebih menjadi
kepuasannya. Apapun motifnya, Jika motif itu muncul dari dalam dirinya sendiri,
maka motivasi untuk berlatih pada umumnya akan lebih ajeg, stabil, konsisten,
dan bertahan relatif lama.
2. Motivasi Luar.
Yang dimaksud motivasi luar adalah, motivasi yang didasari oleh motif dari luar
atau yang disebut sebagai motif sosial,
yaitu yang menyangkut atau yang berhubungan dengan kebutuhan sosial seperti
karena hadiah yang dijanjikan, dan ini bisa berupa uang, pe-kerjaan, atau
hadiah sejenis lainnya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, seseorang
memiliki motivasi berlatih dengan keras karena ia memiliki motif mendapatkan
hadiah uang atau pekerjaan atau hadiah lainnya. Sehingga motivasi luar ini,
pada umumnya ber-sifat labil atau
tidak ajeg atau tidak menetap, karena setelah tidak ada hadiah, motivasi
berlatih menjadi kendor atau menurun. Tetapi demikian hadiah itu dimunculkan kembali,
maka motlvasi untuk berlatih juga muncul kembali. Dengan kata lain bahwa jika
motif itu kuat (ingin mendapatkan hadiah), maka motivasi berlatih menjadi kuat.
Tetapi jika motif menurun atau hilang (tidak ada hadiah), maka motivasi
berlatih juga menurun atau hilang, karena ia kehilangan sumber dorongan
(motif).
Dari dua jenis motivasi di atas
menunjukkan bahwa sebenarnya motivasi dalam, adalah yang lebih diutamakan untuk
selalu dibangkitkan, dengan maksud agar semangat berlatih tetap konsisten
(ajeg). Hal ini cenderung lebih ditujukan untuk mereka yang melakukan olahraga,
karena menghadapi atau dipersiapkan untuk pertandingan (olahraga prestasi).
Sedangkan di luar olahraga prestasi, sebenarnya banyak Jenis motivasi
berolahraga. Motivasi berolahraga bagi seseorang baik anak‑anak, remaja maupun
orang tua, yang tidak dipersiapkan untuk suatu pertandingan ada bermacam‑macam
seperti misalnya hanya untuk bersenang‑senang, melepaskan ketegangan psikis,
mencari teman atau sebagai sarana pergaulan, untuk kebanggaan, maupun untuk
menjaga kesehatan tubuh. Motivasi seperti ini dapat saja berkembang, artinya
bahwa yang semula tidak ada niat untuk bertanding akhirnya meningkat
motivasinya untuk berprestasi, dan mengikuti pertandingan‑pertandingan.
Apapun motifnya hingga seseorang memiliki motivasi untuk melakukan latihan
olahraga, sebaiknya harus berasal dari dalam dirinya sendiri. Dengan demikian
yang penting dalam membangkitkan motivasi seseorang dalam kegiatan berolahraga,
baik yang dipersiapkan untuk suatu pertandingan maupun dengan tujuan lain
adalah, menanamkan pengertian yang berkaitan dengan cabang yang ditekuninya
atau kegiatan olahraga yang dilakukannya. Dengan demikian akhirnya diharapkan
bahwa mereka akan dapat menentukan atau menetapkan sendiri tentang target yang
sebenarnya ingin dicapai, sehingga sebagai konsekuensi dari targetnya itu, ia
akan memiliki kesadaran sepenuhnya bahwa ia harus melakukan latihan secara
benar dan teratur. Artinya bahwa setelah mereka mengerti benar tentang hal‑hal
yang memang harus dilakukan untuk meraih cita‑citanya, mereka akan melakukan
latihan secara benar sesuai petunjuk pelatih dengan penuh kesadaran, dan bukan
dirasakan sebagai kegiatan yang menyiksa. Pada umumnya seseorang yang kurang
mengerti benar tentang maksud maupun seluk-beluk kegiatan latihan, akan
merasakan kegiatan latihan itu sebagai siksaan atau terlalu berat, sehingga hal
ini dapat mengendorkan semangat berlatih. Demikian pula dengan kegiatan
olahraga yang dilakukan karena hanya ikut‑ikutan yang katanya untuk meningkatkan
derajat kesehatan mereka, tanpa ia tahu bagaimana proses atau pengaruh kegiatan
fisik terhadap organ tubuh yang sebenarnya, ia akan berhenti berlatih selagi
tidak ada teman seperti biasanya. Lain halnya dengan mereka yang telah tahu
benar tentang pengaruh kegiatan fisik terhadap kerja organ‑organ dalam tubuh,
ia melakukan latihan olahraga adalah sudah merasa sebagai kebutuhan, hingga
tanpa teman pun tetap akan berlatih secara teratur. Dengan kata lain bahwa
untuk membangkitkan motivasi, kesadaran akan tujuan harus ditanamkan.
H. Agresivitas dalam olahraga.
Agresivitas adalah merupakan sifat seseorang (individu), yang
selanjutnya setelah berbentuk perilaku disebut perilaku agresif. Pada umumnya perilaku agresif adalah berbentuk
tindakan yang menyerang, dan dapat berujud bermacam‑macam seperti memukul,
menendang, mengumpat dengan kata‑kata kasar kepada orang tertentu dan lain
sebagainya, yang sifatnya adalah menyerang orang lain. Di dalam cabang‑cabang
olahraga tertentu, tindakan agresif sangat diperlukan walaupun dalam batas‑batas
tertentu sesuai dengan aturan yang ada.
Secara umum agresivitas biasanya muncul karena frustrasi, dan frustrasi muncul bermula
dari keadaan cemas, sedangkan cemas muncul karena ketegangan (stress)
atau tekanan‑tekanan yang tidak teratasi. Dengan kata lain bahwa seseorang yang
mendapat tekanan, tentu berusaha untuk keluar dari tekanan itu. Setelah
berusaha berkali‑kali selalu mengalami kegagalan, kemudian merasa cemas
sehingga keseimbangan jiwanya mulai terganggu. Keadaan ini jika berlangsung
terus, dapat memunculkan frustrasi dan biasanya frustrasi inilah yang mendorong
tindakan atau perilaku agresif. Hal ini menunjukkan bahwa tampaknya tindakan
agresif adalah merupakan tingkah laku yang bertujuan melukai atau mencelakai
orang lain. Namun dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah dikaitkan
dengan olahraga tertentu, ternyata tindakan agresif tidak selalu dilandasi
dengan keinginan melukai atau mencelakakan orang lain, dan juga tidak selalu
muncul karena frustrasi.
Di dalam olahraga dikenal adanya dua jenis
tindakan agresif, yaitu tindakan agresif
karena frustrasi dan tindakan agresif
bukan karena frustrasi. Tindakan agresif karena frustrasi, biasanya
tindakan yang dilakukan disertai dengan rasa marah dan ingin mencelakai atau
melukai orang lain, yang biasanya juga disebut dengan "hostile aggresion". Seorang pemain
sepak bola yang frustrasi karena tak pernah dapat merebut bola atau tak pernah
dapat memasukkan bola ke gawang lawan, akhirnya ia berusaha menyerang kaki lawannya,
dengan tujuan mencederai lawan yang selalu membuatnya gagal itu. Sedangkan
tindakan agresif yang bukan karena fruntrasi
(instrumental aggresion),
ada bermacam‑macam seperti beberapa di antaranya adalah tindakan agresif karena meniru, tindakan agresif karena perintah dan tindakan agresif karena pengaruh kelompok.
1. Tindakan agresif
instrumental.
Seperti dalam cabang olahraga sepak bola atau
tenis atau juga bulu tangkis misalnya, diperlukan adanya tindakan yang agresif
demi mencapai kemenangan. Tindakan yang sifatnya agresif (menyerang) dan
bertujuan hanya untuk memenangkan pertandingan, adalah yang dimaksud sebagai
tindakan agresif instrumental. Dengan
demikian tindakan agresif yang dilakukan, bukan atas dasar marah atau
frustrasi, tetapi didasarkan atas tujuan memenangkan pertandingan yang berarti
juga masih dapat atau mampu memperhatikan dan mematuhi aturan‑aturan yang ada.
2. Tindakan agresif karena meniru.
Yang dimaksudkan tindakan agresif ini adalah,
seseorang melakukan tindakan agresif bukan
karena frustrasi dan juga bukan karena marah, melainkan meniru tindakan
para tokoh olahraga yang dikaguminya. Tindakan agresif semacam ini sejauh masih
dikaitkan dengan tujuan untuk memenangkan pertandingan, adalah masih baik.
Namun sering pula tindakan agresif karena meniru yang menjurus ke arah negatif,
sehingga hal ini perlu dicegah.
3. Tindakan agresif karena perintah.
Dalam cabang olahraga seperti tinju atau karate
atau pencak silat, sering terjadi tindakan agresif karena memang diperintahkan
oleh pelatihnya. Sebab dalam cabang olahraga seperti ini, banyak sedikitnya
tindakan menyerang juga merupakan unsur yang dinilai. Dengan demikian seseorang
yang bertanding hanya bertahan saja, memang perlu diberikan perintah atau
instruksi agar lebih agresif, dengan tujuan memperoleh penilaian. Walaupun
dalam cabang‑cabang seperti ini mungkin juga tindakan agresif itu menyebabkan
luka atau cedera, tetapi tindakan agresif yang dilakukan sebenarnya hanya untuk
memenangkan pertandingan, dan memang hanya dengan cara seperti itu yang berlaku
dalam cabang olahraga seperti tinju. karate atau pencak silat.
4. Tindakan agresif karena pengaruh
kelompok.
Pengaruh kelompok seperti penonton
ataupun kelompok pemain sendiri, sering juga dapat merangsang munculnya prilaku
agresif. Hal ini karena seseorang yang berada dalam ikatan kelompok, sering
berperilaku lain dari pada dalam kedudukannya sebagai individu. Sehingga
perilaku agresif jenis ini muncul karena pengaruh dari kelompok tertentu yang
mempengaruhi, dan bukan karena frustrasi sebelumnya. Tindakan agresif jenis
ini, sebenarnya juga erat kaitannya dengan sifat individu itu sendiri. Pada
umumnya memang individu yang memiliki sifat agresif, akan mudah memunculkan
sifat agresifnya karena rangsangan dari luar seperti dari penonton misalnya.
Dengan demikian sebenarnya bahwa
tindakan agresif (khususnya dalam olahraga), tidak selalu harus dikaitkan
dengan gejala frustrasi. Yang diperlukan dalam olahraga adalah agresif untuk memenangkan
pertandingan, sehingga justru sifat‑sifat agresif itu harus dapat dimanfaatkan,
agar tersalur secara wajar dan terarah dalam aktivitas olahraga yang
diikutinya.
Berkaitan dengan agresivitas,
sebenarnya ada dua faktor dalam diri manusia yang perlu diperhatikan, yaitu
faktor "instigation" dan
"inhibitions". Faktor instigation adalah merupakan kekuatan
dari dalam diri seseorang, yang dapat menimbulkan motivasi atau dorongan untuk
berperilaku agresif. Sedangkan faktor inhibitions
adalah merupakan faktor‑faktor dalam diri seseorang yang menentang ekepresi tindakan
agresif. Oleh karena itu tampaknya faktor lingkungan memang mempunyai pengaruh
yang besar, terhadap mun-culnya perilaku agresif maupun tercegahnya atau
tertekannya perilaku agresif. Artinya bahwa faktor "instigation" atau "inhibitions"
yang muncul pada saat itu, tergantung kuat dan lemahnya pengaruh penonton
(misalnya) yang memanaskan situasi, atau sebaliknya tindakan pelatih yang dapat
meredakan situasi. Jika lebih kuat pengaruh penonton yang memanaskan situasi,
maka faktor instigation yang akan
mendorong realisasi prilaku agresif. Jika tindakan pelatih yang meredakan
situasi lebih kuat, maka faktor inhibitions
segera merealisasikan pencegahan perilaku agresif.
Jika faktor lingkungan ternyata mempunyai
pengaruh besar terhadap munculnya perilaku agresif, maka sebenarnya perilaku
agresif dapat diperoleh atau dipelajari melalui lingkungan dan pengalamannya,
di samping juga diwarnai oleh sifat‑sifat pribadinya yang lain. Seseorang yang
terbiasa dengan menampilkan perilaku agresif dalam merespon setiap frustrasi
yang dialaminya, dan tak pernah ada larangan terhadap tindakannya itu, akhirnya
sifat agresif menjadi tidak terkontrol. Dari pengalamannya itu, yaitu tindakan
agresif yang tak pernah dilarang, hingga setiap tindakan agresif dianggapnya
sesuatu yang biasa. Sebaliknya bahwa seseorang yang selalu dilarang dalam
setiap tindakan agresifnya, ia juga selalu akan mengontrol dengan ketat setiap
pengungkapan agresivitas dalam berbagai kondisi. Seseorang yang agresivitasnya
selalu dikontrol dengan ketat, sementara itu frustrasi terus menumpuk,
kemungkinannya dapat meledak dengan cara mengalihkan tindakan agresif tersebut
kepada lain obyek (orang lain) yang disebut sebagai “displaced aggresion”. Selain itu mungkin juga dapat meledak, dalam
bentuk perilaku yang sangat ekstrim berupa tindak kekerasan. Dengan demikian
tanpa adanya kontrol maupun dengan kontrol yang kuat, tampaknya memiliki akibat
yang kurang baik. Oleh karena itu yang penting bukan "melarang" atau
"membiarkan", tetapi memberikan pengertian tentang sesuatu yang
dilakukan, di samping pembinaan yang benar tentunya. Selanjutnya diharapkan
bahwa dengan pengertian yang benar, akan dapat mengontrol dirinya dan
mengendalikan emosinya secara wajar tanpa menimbulkan persoalan lain/baru yang
lebih buruk sebagai akibat dari kontrol dan pengendalian diri yang terlalu
ketat tersebut.
B A B IV
KEPRIBADIAN DAN OLAHRAGA
A. Pengertian
Konsep
mengenai kepribadian adalah cukup luas, sehingga hal ini justru mendorong para
ahli ke arah usaha untuk mendefinisikannya secara tepat, walaupun akhirnya
definisi‑definisi yang muncul tetap masih bermacam‑macam. Hal ini karena
(seperti yang telah disebutkan di atas) luasnya konsep mengenai kepribadian
itu.
Menurut
Allport dalam bukunya Cox disebutkan, bahwa kepribadian adalah merupakan
pengorganisasian dinamis (pengaturan secara dinamis) mengenai sistem psikologis
individu yang menentukan penyesuaian diri secara unik terhadap lingkungannya.
Sedangkan Hollander mengemukakan bahwa kepribadian adalah, merupakan
keseluruhan karakteristik individu yang membentuk keunikan dirinya.
Adapun ahli lain yaitu Lazarus & Monat dalam bukunya
Diane L. Gill menyatakan, bahwa kepribadian adalah keadaan (susunan) psikologis
yang unik, atau lebih jelasnya adalah yang mendasari (relatif stabil) mengenai struktur
dan proses‑proses psikologis yang mengatur bentuk tingkah laku dan pengalaman
seseorang, maupun reaksinya terhadap lingkungan.
Dari
batasan mengenai kepribadian seperti di atas, ternyata antara ahli yang satu
dengan ahli lainnya secara eksplisit berbeda. Namun demikian dari usaha
pendefinisian mereka tampak bahwa sebenarnya telah terdapat keseragaman, bahwa
yang jelas kepribadian adalah merupakan keunikan dari masing‑masing individu,
sehingga kepribadian dapat dikatakan sebagai pola yang menyeluruh dari
karakteristik‑karakteriatik psikologik yang membuat masing‑masing orang
merupakan individu yang unik.
Struktur
kepribadian menurut Hollander dapat dibedakan ke dalam 3 tingkatan, yaitu psychological cor, typical responses, dan role‑related
behaviors. Adapun psychologica1 cor
pada dasarnya adalah merupakan inti psikologik, bersifat internal dan
konsisten, yang sulit ditembus oleh pengaruh lingkungan. Psychological Cor (inti psikologik) seorang/individu, berpegang
pada image (gambaran) seseorang itu
tentang dirinya. Artinya bahwa apakah ia seperti kenyatannya, dan hal ini akan
menyangkut tentang konsep diri individu itu sendiri. Psychological Cor (inti psikologik) tercermin sebagai suatu
perhiasan inti dari kepribadian seseorang, yang menyangkut sikap dasar, nilai,
minat, maupun motif.
Typical responses (respon‑respon
tertentu/khas) yang lebih bersifat eksternal, adalah berubah‑ubah (dinamis) dan
peka terhadap pengaruh lingkungan. Typical
responses tercermin pada sikap‑sikap tertentu, di dalam menanggapi situasi
lingkungan. Sebagai contoh : seseorang yang menunjukkan perangai tertentu dalam
menanggapi keadaan atau situasi tertentu seperti frustrasi, humor, dan
kecemasan. Typical responses (respon‑respon
tertentu/khas) adalah dipelajarinya cara‑cara yang berkaitan dengan lingkungan,
kecuali kalau seseorang itu sedang bersandiwara, atau memang memiliki
kepribadian yang tidak atau kurang stabil. Dengan demikian bahwa typical responses adalah merupakan indikator yang meyakinkan
(valid), mengenai inti psikologisnya
seseorang (psychological cor).
Sebagai contoh, jika seseorang merespon (menanggapi) segala situasi
lingkungannya dengan perasaan tegang atau ketakutan secara terus menerus
(ajeg), berarti yang bersangkutan dapat dikatakan sebagai orang yang sedang menderita
kegelisahan atau kecemasan.
Role‑related
behavior (prilaku yang berkaitan dengan peran) adalah semacam dengan typical responses, artinya bahwa role‑related behavior juga bersifat
eksternal yang peka atau mudah dipengaruhi oleh lingkungan. Role‑related behavior adalah
mencerminkan aspek kepribadian yang paling tampak dari luar (menonjol), yaitu
seperti pada saat kita menampilkan prilaku‑prilaku yang berkaitan dengan peran
kita untuk meluruskan persepsi kita, tentang ling-kungan di mana kita berada
atau di mana kita hidup. Artinya bahwa hal ini akan berkaitan dengan sikap
seseorang, dalam menghadapi situasi dan kondisi lingkungannya.
Menurut Sigmund Freud dalam teori psikodinamiknya, bahwa
kepribadian terdiri dari 3 hal yaitu Id,
Ego, dan Super-ego. Adapun "Id" adalah merupakan inti naluriah
(instinktif) bawah sadar dari
kepribadian, dan merupakan mekanisme pencarian kesenangan atau kepuasan.
Sedangkan "Ego" adalah
merupakan kesadaran yang bersifat logis dari kepribadian, yang berorientasi
pada kenyataan. "Super-ego"
adalah merupakan kata hati atau suara hati ataupun merupakan hati nurani
manusia, yang berorientasi pada standard moral dalam masyarakat, dan yang
mengingatkan seseorang pada kontrol dari orang tua dan proses sosialisasi.
Selanjutnya Freud menjelaskan bahwa super-ego
membantu dalam pemecahan konflik, yang terjadi antara Id dan Ego.
B. KEPRIBADIAN DAN PENAMPILAN
OLAHRAGA.
Sebenarnya sudah sejak tahun 1960 beberapa tinjauan secara mendalam telah
dilakukan oleh beberapa ahli, untuk menjelaskan hubungan antara kepribadian dan
penampilan olahraga. Sebagian besar dari mereka menyimpulkan bahwa ternyata
memang terdapat hubungan secara positif, antara kepribadian dan beberapa aspek
penampilan olahraga. Namun demikian bahwa hubungan itu hanyalah hubungan yang
bersifat korelasional, bukan merupakan hubungan sebab‑akibat.
Menurut Ogilivie (1968,1976) berdasarkan tinjauan dalam
beberapa penelitiannya, menyimpulkan bahwa ada 8 ciri kepribadian yang
berhubungan sangat erat dengan penampilan dalam olahraga, yaitu: stabilitas
emosional, kekerasan hati (tough‑mindedness),
sifat hati‑hati (conscientiousness),
disiplin pribadi (self‑discipline),
kepastian diri (self‑assurance),
kepercayaan (trust), dan keadaan
lahiriah (extroversion), juga
ketegangan yang rendah (low tension).
Sedangkan Cooper (1969) mendapatkan kesimpulan dalam research-nya, bahwa atlet secara jelas berorientasi pada pencapaian
prestasi. Selanjutnya Cooper juga memberikan kesannya bahwa atlet cenderung
menunjukkan sifat lahiriah, kekuasaan, percaya diri, daya saing, kecemasan
rendah, serta tabah. Secara umum bahwa atlet atau mereka yang secara rutin
aktif di dalam kegiatan olahraga, memiliki kepribadian relatif berbeda dengan
yang bukan atlet atau yang tidak secara aktif terjun dalam kegiatan olahraga.
Pada umumnya atlet atau mereka yang aktif secara rutin terjun dalam kegiatan
olahraga, lebih bebas, obyektif, dan memiliki tingkat kecemasan yang lebih
rendah, dibandingkan dengan non atlet. Selain itu Cooper juga menyebutkan bahwa atlet lebih percaya diri, lebih
memiliki rasa kompetitif.
Ashley dan Joy
(1977) dalam penelitiannya menunjukkan, bahwa terdapat perbedaan bentuk
kepribadian antara atlet‑atlet jenis olahraga beregu (team) dan jenis
perorangan (individual), juga antara
atlet‑atlet olahraga yang langsung mengalami body contact dengan yang tidak secara langsung mengalami body contact (direct dan parallel sport).
Atlet‑atlet olahraga beregu (team)
lebih memiliki rasa kekhawatiran atau kecemasan, ketergantungan, dari pada
atlet‑atlet olahraga perorangan. Adapun atlet‑atlet dalam direct sport (basket ball, sepak bola), adalah lebih bebas tetapi
kurang memiliki kekuatan ego dibandingkan dengan atlet‑atlet parallel sport (volley ball, base
ball). Selain itu bahwa pada umumnya pemain sepak bola adalah lebih agresif dan
memiliki rasa toleransi dari pada petenis atau pegolf (beregu‑perorangan). Di
samping itu bahwa perbedaan bentuk kepribadian terdapat pula pada jenis kelamin
yang berbeda, yaitu antara wanita biasa dan wanita yang sukses sebagai atlet,
juga antara atlet pria dan atlet wanita maupun pria biasa.
Williams (1980) dalam penelitiannya menyimpulkan, bahwa
atlet‑atlet wanita menunjukkan ciri‑ciri kepribadian seperti atlet‑atlet pria
maupun pria biasa. Di pihak lain wanita biasa cenderung lebih pasif, bersikap
patuh, emosional, agresivitas rendah, kebutuhan prestasi rendah, dan memiliki
rasa ketergantungan lebih besar.
B A B V
P E L A T I H
A. Pengertian
Pelatih yang dimaksudkan adalah seorang atau sekelompok orang yang
mengelola atau menangani sekelompok atau seseorang untuk mencapai suatu
keberhasilan tertentu. Dengan demikian pelatih
olahraga dapat disebutkan sebagai seorang atau sekelompok orang yang mengelola
atau menangani sekelompok atau seseorang untuk mencapai prestasi olahraga
tertentu yang setinggi‑tingginya. Untuk mencapai tujuan itu, tentunya tidak
setiap orang dapat melakukannya. Dengan kata lain bahwa menjadi seorang pelatih
olahraga yang ideal, diperlukan syarat-syarat tertentu.
B. Syarat Sebagai Pelatih
Telah disebutkan sebelumnya bahwa tidak setiap orang dapat menjadi
seorang pelatih, dalam arti pelatih yang baik atau ideal. Agar dapat menjadi seorang
pelatih yang baik, diperlukan beberapa syarat tertentu, beberapa di antaranya
adalah:
1. Kemampuan Fisik
Seorang pelatih harus memiliki
kemampuan secara fisik, yang mencakup tiga hal, yaitu:
a. Kesegaran Jasmani
Seorang
pelatih harus selalu siap memberikan contoh‑contoh gerakan yang benar dan baik,
di samping memberikan instruksi secara verbal. Untuk keperluan itu diperlukan
kesegaran jasmani yang memadai agar tidak terjadi hal‑hal yang tidak
diinginkan, karena sesuai dengan pengertian kesegaran jasmani bahwa orang yang
segar adalah orang yang “mampu menyelesaikan tugas pekerjaannya sehari-hari
tanpa menderita kelelahan yang berlebihan”. "Hal‑hal" yang dimaksud
seperti misalnya pada saat melatih seorang pelatih kelihatan lesu, seolah‑olah
tidak siap dan sebagainya, akan dapat mempengaruhi keadaan psikhologis bagi
anak asuhnya dalam melakukan latihan, di samping kemungkinan cedera saat
melatih bagi pelatih sendiri akan lebih besar.
Seorang pelatih yang memiliki tingkat
kesegaran jasmani yang baik, diharapkan akan selalu bersemangat dalam
menjalankan tugas melatihnya dan tidak kepayahan walaupun harus memberikan contoh‑contoh
gerakan dalam latihan. Hal yang demikian diharapkan pula akan dapat
mempengaruhi semangat berlatih bagi anak asuhnya, sehingga latihan‑latihan yang
diberikan akan terasa menyenangkan dan tidak membosankan. Untuk itu bagi
seorang pelatih sangat perlu senantiasa mempertahankan agar keadaan kesegaran
jasmani tidak menurun dengan melakukan pemeriksaan medis secara rutin,
meng-atur makanan dengan baik, mengatur waktu dengan baik kapan harus
beristirahat, bekerja maupun rekreasi, di samping juga secara teratur harus
melakukan latihan‑latihan fisik maupun skill
yang diperlukan dalam cabang olahraga yang dibinanya.
b. Physical
atau Skill Performance
Seorang pelatih harus dapat memberikan
contoh gerakan dengan benar dalam cabang olahraga yang dibinanya serta teknik‑
teknik yang diperlukan. Untuk itu seorang pelatih seharusnya selalu mengikuti
perkembangan agar dapat sebanyak mungkin
memberikan contoh gerakan teknik yang benar dan baru, sesuai dengan
perkembangan cabang olahraga yang dibinanya. Demikian juga jika dalam
memberikan teknik‑teknik yang baru itu atlet belum pernah mengetahui sama
sekali, sedangkan alat peraga juga tidak ada, maka pelatih harus dapat
mendemonstrasikannya dengan benar. Oleh karena itu memang sebaiknya pelatih
adalah mantan atlet dalam cabang olahraga yang dibinanya, agar ia benar‑benar
mengerti segala kesulitan dan bagaimana mempelajari teknik‑teknik yang
dilakukannya secara efektif dan efisien.
c. Proporsi Fisik
Pada umumnya kesan pertama dari anak
asuh atau atlet terhadap pelatihnya adalah dari proporsi atau bentuk tubuh. Artinya bahwa proporsi fisik itulah yang dijadikan sebagai penilaian pertama kali
terhadap pelatihnya. Untuk itu proporsi
fisik yang harmonis dan sesuai dengan cabang olahraga yang akan dibina,
sangat diperlukan bagi seorang pelatih. Atlet yang pertama kali bertemu muka
dengan calon pelatihnya, terutama akan mengagumi dan lebih menaruh kepercayaan
dan kebanggaan terhadap perwujudan orangnya. Kepercayaan itu akan semakin
mantap, setelah mengetahui kemampuannya dalam latihan‑latihan yang mulai
dilakukan memang dapat dibanggakan. Sebaliknya bentuk fisik atau proporsi fisik
ini akan menghilangkan kepercayaan atlet terhadap pelatihnya, bila dari segi
fisik sama sekali tidak sesuai dengan cabang yang dibinanya. Sebagai contoh,
misalnya seorang pelatih tinju tidak sesuai dengan idealnya seorang mantan
petinju (kurus kerempeng), pada waktu pertama kali bertemu dengan para atletnya
akan menimbulkan berbagai pertanyaan; benarkah ia yang akan melatih tinju,
mampukah ia dan sebagainya. Dengan kata lain bahwa seorang pelatih yang
memiliki proporsi fisik sesuai dengan idealnya cabang olahraga yang dibinanya,
akan memberikan pengaruh psikologis secara positif. Artinya bahwa untuk pertama
kali atlet sudah menaruh kepercayaan padanya, sehingga dalam latihan‑latihan
selanjutnya atlet terdorong untuk melakukan instruksi dengan sungguh‑sungguh,
dan sudah barang tentu harus ditunjang dengan kemampuan pelatih yang memadai.
2. Kemampuan Psikhologis
Selain kemampuan fisik seperti yang
telah dijelaskan sebe-lumnya, seorang pelatih harus memiliki pula kemampuan
psikhologis yang memadai. Kemampuan psikhologis yang dimaksud beberapa di
antaranya adalah:
a. Memiliki pengetahuan luas dalam
bidangnya
Seorang pelatih seharusnya menguasai seluk‑beluk dalam bidangnya secara
teoritis maupun praktis. Seorang pelatih harus selalu berusaha untuk menambah
dan mengembangkan pengetahuannya, terutama dalam bidangnya baik yang berkaitan
langsung dengan cabang olahraga yang dibinanya, maupun secara tidak langsung
yaitu ilmu dan pengetahuan pendukungnya seperti anatomi, ilmu jiwa, tes dan
pengukuran dan lain sebagainya yang merupakan penunjang dalam pencapaian
prestasi olahraga. Hal‑hal tersebut sangat diperlukan agar seorang pelatih
dapat secara cepat mengatasi problem‑problem yang timbul selama program latihan
berlangsung dan bahkan di arena pertandingan.
Persoalan yang timbul dalam proses
melatih tidak semudah dan sesederhana yang diduga oleh banyak orang, sebab
obyek yang ditangani adalah manusia. Manusia penuh dengan kemungkinan yang
dapat terjadi dalam dirinya, sehingga seorang pelatih harus mempelajari dan
mengetahui tentang limu‑ilmu yang berkaitan dengan manusia itu sendiri.
b. Memiliki Inteligensi yang tinggi.
Seperti telah disebutkan sebelumnya,
bahwa selama proses melatih tentu akan banyak dijumpai problem atau persoalan,
demikian pula selama waktu pertandingan atau perlombaan. Agar dapat menganalisis secara cepat dan mengatasi
setiap persoalan yang timbul secara tepat, diperlukan inteligensi yang relatif tinggi bagi seorang pelatih. Dengan kata
lain bahwa tinggi rendahnya tingkat inteligensi merupakan salah satu faktor
yang menentukan kualitas seorang pelatih.
c. Memiliki daya imajinasi dan
kreativitas yang tinggi
Seorang
pelatih harus senantiasa meningkatkan dan menyempurnakan terhadap apa yang
telah dimiliki oleh para atletnya. Untuk itu jelas diperlukan adanya suatu
usaha, yaitu menciptakan sesuatu yang baru, yang lebih baik dari yang sudah
ada. Untuk menciptakan sesuatu yang baru dapat pula dilakukan dengan cara
merangkai‑ rangkaikan atau mengkombinasikan yang telah ada, sehingga men-jadi
sesuatu yang baru. Untuk itu diperlukan daya
kreativitas yang tinggi. Seorang pelatih seharusnya tidak akan cepat puas
dengan apa yang telah dicapai oleh para atletnya, juga seharusnya tidak cepat
puas dengan hanya dapat meniru atau mengikuti dari kerja pelatih‑pelatih lain
saja, tetapi harus dapat menemukan sendiri hal‑hal yang baru, demi kemajuan
atletnya. Menciptakan sesuatu yang baru memang sulit, tetapi harus selalu diusahakan
dan harus dapat dilakukan, agar tidak selalu ketinggalan dengan atlet‑atlet
yang ditangani pelatih lain. Untuk itu maka bagi seorang pelatih diperlukan
adanya keberanian bertindak, pengetahuan yang luas, pengalaman maupun daya
imajinasi yang tinggi, terhadap apa yang akan diciptakan.
Pada saat bertanding, pelatih juga
harus pandai menebak strategi yang digunakan lawan, sehingga dengan daya imajinasi mau pun kreativitasnya akan mampu mereka‑reka
tentang usaha apa yang sebaiknya atau cocok untuk menangkal bahkan mengungguli
strategi lawan, dan diharapkan akhirnya akan dicapai kemenangan bagi timnya.
Selain hal‑hal tersebut di atas, pelatih yang memiliki daya imajinasi dan
kreativitas yang tinggi, akan mampu menganalisis persoalan yang timbul selama
pertandingan berlangsung, sehingga akan dapat memberikan petunjuk selama waktu
istirahat atau time out, berdasarkan
pengamatannya. Dengan demikian dalam saat yang kritis sekalipun, seorang
pelatih harus mampu menganalisis permainan dengan pengamatannya dan dapat
memberikan instruksi‑instruksi tertentu, sehingga terwujud bentuk‑bentuk
pertahanan maupun penyerangan yang lebih sempurna.
d. Memiliki Keberanian bertindak
Keberanian untuk bertindak adalah
salah satu hal yang harus dimiliki seorang pelatih, agar segala apa yang telah
direncanakan dapat dilaksanakan. Jika seorang pelatih telah memiliki keberanian
untuk melaksanakan apa yang telah direncanakan, maka ia akan memiliki banyak
pengalaman dari keberaniannya bertindak tersebut. Berbekal dari pengalamannya
yang itu, akan dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk bertindak
selanjutnya, di samping disertai pertimbangan akal sehatnya demi kemajuan
atletnya, yaitu latihan maupun strategi di arena pertandingan. Sebaliknya jika
seorang pelatih kurang memiliki keberanian bertindak, maka semua yang telah
direncanakan tidak akan terlaksana sehingga tidak ada artinya. Dengan demikian
ia tidak akan pernah memperoleh pengalaman yang sangat berharga bagi tindakan‑tindakan
selanjutnya.
e. Memiliki Kestabilan Emosional
relatif Baik
Kestabilan
emosional yang dimaksudkan beberapa di antaranya adalah:
1) Memiliki kesehatan mental yang baik
Seorang
pelatih adalah juga manusia, yang berarti sering mengalami gangguan‑gangguan psikhologis
seperti layaknya manusia pada umumnya. Hal ini disebabkan karena tidak semua dorongan‑dorongan
kebutuhan hidupnya terpenuhi dan tersalurkan secara memuaskan. Sedangkan
kebutuhan manusia adalah sangat kompleks baik kebutuhan jasmani, rokhani,
maupun kebutuhan sosialnya. Kadang‑kadang atau bahkan sering bahwa hal yang
satu dengan lainnya harus bertentangan untuk mencari jalan keluarnya. Hal
inilah yang sering menimbulkan masalah bagi manusia, begitu pula pelatih.
Untuk
itu maka, sebagai pelatih saat mengalami problem tertentu, harus mampu mencari
jalan ke luar agar tidak menimbulkan pertentangan yang berarti dalam dirinya
(walau harus mendahulukan yang satu daripada yang lain), sehingga diharapkan
tidak akan mengganggu keseimbangan kejiwaannya. Dengan kata lain bahwa seorang
pelatih harus dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi
yang dialami. Untuk keperluan itu, dibutuhkan mental dan emosi yang stabil.
2) Memiliki Sense of humor
Hal
ini penting untuk memberikan selingan agar dapat me-ngurangi ketegangan, yang
setiap saat dapat timbul dalam menghadapi pertandingan. Memang setiap persoalan
yang timbul harus diselesaikan sesuai dengan berat‑ringannya persoalan itu
dengan kesungguhan, tetapi tidak harus dengan ketegangan‑ketegangan. Seorang
pelatih seharusnya mampu mengubah atau membawa situasi tegang yang sering
timbul di antara para atletnya, ke arah suasana yang segar atau rileks, dan
bahkan diharapkan dapat menghadapi dan menyelesaikan persoalan‑persoalan yang rumit (kadang‑kadang
persoalan yang rumit akan menyebabkan ketegangan), secara rileks yaitu dalam
suasana yang segar, tanpa mengurangi kesungguhan.
3. Memiliki Social Approach yang Baik
Social Approach
atau pendekatan sosial bagi seorang pelatih yang dimaksud adalah termasuk di
dalamnya:
a. Mudah bergaul sesuai dengan
situasinya.
Di dalam latihannya sudah barang tentu
atlet ingin meningkatkan prestasinya. Atlet akan lebih bergairah dalam latihan
jika merasa senang atau simpatik terhadap pelatihnya. Untuk itu agar seorang
pelatih memiliki daya tarik dan simpatik di hadapan para atlet-nya, salah satu
hal yang perlu diperhatikan adalah harus mudah dan pandai bergaul. Jika antara pelatih
dan atlet sudah terjalin hubungan yang baik, maka diharapkan pelatih akan lebih
mudah melaksanakan programnya. Dengan keakraban hubungan batin dan pengertian
yang terjalin secara baik antara pelatih dan atlet, diharapkan atlet akan
merasa lebih dekat dengan pelatihnya, sehingga berani mengutarakan segala
persoalan yang ada pada dirinya. Jika keadaan demikian benar‑benar sudah
terwujud, maka seorang pelatih harus benar‑benar dapat menempatkan dirinya
sesuai dengan situasinya. Pada saat tertentu seorang pelatih harus dapat
berfungsi sebagai ayah, dan mungkin dalam saat dan situasi yang lain harus
dapat berfungsi sebagai seorang kakak terhadap adiknya dan bahkan sebagai
sahabat karib, tetapi sebaliknya pada saat‑saat tertentu pelatih harus
berfungsi sebagai seorang diktator, dimana atlet harus tunduk dan melaksanakan
apa yang diinstruksikannya. Satu hal yang mungkin tidak perlu dilakukan oleh
pelatih, yaitu mentertawakan atau mengejek atletnya, misalnya atlet mengajukan
pertanyaan atau pendapat yang kadang‑kadang memang atlet benar‑benar tidak
mengerti, sehingga sering juga mengundang tawa bagi orang lain atau
menggelikan. Namun demikian juga perlu diingat bahwa karakter masing-masing
atlet berbeda-beda, sehingga tentu saja perlu penanganan yang berbeda pula. Ada atlet yang dapat
diubah dengan cara harus diejek, tetapi sebaliknya ada atlet yang diejek
menjadi patah semangat atau menjadi rendah diri.
b. Memiliki tingkah laku dan tutur
bahasa yang baik.
Harus disadari
bahwa seorang pelatih akan banyak ditiru segala tingkah lakunya oleh para
atletnya. Untuk itu sebagai seorang pelatih harus benar‑benar korektif terhadap
segala yang dilakukannya. Atlet
akan merasa bangga memiliki pelatih yang
disegani dan dikagumi oleh orang lain. Untuk itulah seharusnya pelatih dapat
menjadi model bagi atletnya maupun
masyarakat di sekelilingnya, dalam arti sebagai manusia yang dapat dijadikan
sebagai contoh bagi orang banyak. Agar dapat mewujudkan hal itu sudah barang
tentu merupakan tugas yang tidak ringan, dalam arti harus selalu dapat mengatur
hidupnya, kebiasaannya, tingkah lakunya maupun tutur bahasanya dengan baik, sehingga akan terbukti adanya kesamaan
antara kata dan perbuatan. Justru yang lebih penting adalah contoh sehari‑hari
dalam hidupnya itu, daripada banyak ceramah atau anjuran namun pelatih sendiri
tidak pernah melaksanakan apa yang dikatakannya sebagai sesuatu yang baik.
B A B VI
TAKHAYUL
A. Pengertian Takhayul
Yang dimaksudkan
dengan takhayul adalah adanya suatu
anggapan bahwa benda atau tingkah laku tertentu memiliki tenaga/kekuatan di
luar kemampuan manusia, yang dapat mempengaruhi keberhasilan/keberuntungan dan
kegagalan atau kesialan bagi yang melakukannya, yang sebenarnya tidak benar
sama sekali. Seperti halnya yang banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat,
dalam dunia olahraga dapat pula terjadi adanya takhayul. Anggapan seperti di atas (takhayul) biasanya tanpa
dilandasi dengan pertimbangan akal sehat, sehingga tindakannya juga kurang atau
tidak rasional pula.
Perbuatan
tertentu yang secara ajeg dilakukan oleh seseorang/atlet sebelum pertandingan
atau perlombaan dimulai, secara tidak disadari dapat berubah menjadi takhayul. Alat perlengkapan atau benda‑benda
lain seperti kostum dijadikan titik tumpu harapan yang berlebih‑lebihan.
Sehingga sesuatu atau benda‑benda itu akan
dijadikan sebagai maskot dalam setiap pertandingan atau perlombaan. Oleh karena itu menurutnya maskot harus
selalu dibawa atau dikenakan dalam setiap perlombaan atau pertandingan. Jika
tidak, pasti kalah walaupun sebenarnya kekalahan itu hanya kebetulan saja
maskot tidak dibawanya. Hal ini terjadi karena kebiasaan seseorang suka
menghubung‑hubungkan kekalahan atau kemenangannya dengan apa yang pernah
dilakukan sebelum bertanding atau berlomba. Sebagai contoh bahwa setiap
kemenangannya kebetulan saja selalu mengenakan kostum merah, dan sewaktu kalah
kebetulan pula tidak mengenakan kostum merah. Kejadian yang demikian biasanya
sebagai awal salah satu sebab seseorang terjerumus ke dalam hal‑hal yang
bersifat takhayul, walaupun sekali lagi bahwa sebenarnya hal‑hal yang terjadi
itu hanya kebetulan saja.
Melihat
sejarah perkembangan peradaban bangsa kita (Indonesia) ini, agaknya memang masih
sulit untuk menghapus kepercayaan terhadap adanya takhayul ini. Namun demikian
bagi para pelatih atau pembina yang seharusnya bertindak secara rasional terhadap
anak asuhnya, haruslah berhati‑hati dalam menangani hal ini, agar tidak terjadi
hal‑hal yang tidak diinginkan. Yang jelas, percaya dengan apa yang disebut
takhayul akan banyak akibat negatifnya.
Seseorang yang terjun di arena
pertandingan atau perlombaan lebih banyak berharap kepada maskot yang
dibawanya, sudah barang tentu akan kurang dalam persiapan lainnya (karena sudah
yakin akan kemenangannya setelah membawa maskot). Jika Persiapan secara fisik
maupun teknik dan strategi kurang memadai, maka sudah barang tentu hasil yang
dicapai akan jauh dari memuaskan. Namun demikian mempercayai dan melakukan hal‑hal
yang bersifat takhayul tidak seluruhnya jelek, artinya masih ada beberapa hal
yang dapat dimanfaatkan dari kepercayaannya terhadap takhayul itu.
B. Manfaat positif dari takhayul
Telah
dijelaskan sebelumnya bahwa mempercayai dan melakukan hal‑hal yang bersifat takhayul akan lebih banyak menderita
kerugian. Jika disebutkan "lebih
banyak" menderita kerudian, maka berarti masih ada hal‑hal yang
sifatnya positif. Khususnya bagi pelatih atau pembina olahraga, oleh karena
memang kenyataannya masih sulitnya menghilangkan kepercayaan adanya takhayul
ini, maka hendaknya justru dapat memanfaatkan hal‑hal positif dari adanya
kepercayaan terhadap takhayul ini, walau hanya relatif lebih kecil.
Memanfaatkan hal‑hal yang positif ini, yang dimaksudkan adalah dari sisi
psikhologisnya. Seorang atlet yang mempercayai adanya takhayul, sudah barang
tentu akan memiliki rasa percaya diri
sewaktu ia membawa benda (maskot) yang dianggapnya memiliki kekuatan di luar
kemampuan kita (manusia). Rasa percaya diri atau keyakinan akan kemampuannya
inilah yang harus dimanfaatkan. Seseorang yang sudah memiliki rasa parcaya diri
akan kemampuannya dalam pertandingan, diharapkan dapat mempengaruhi pula dalam
penampilannya di lapangan, dalam arti bahwa rasa percaya diri ini diharapkan
akan menambah kemantapannya di dalam segala tindakan atau penampilannya,
sehingga akan dapat mengurangi penampilan yang sifatnya ragu‑ragu. Jika keragu‑raguan
sudah banyak berkurang atau bahkan hilang sama sekali, sekarang tinggal
bagaimana seorang pelatih itu membina atau mengolah secara fisik, teknik dan
taktiknya. Jika pembinaan secara ilmiah sebelumnya sudah dilakukan dengan
benar, maka kepercayaan terhadap takhayul yang belum dapat dihilangkan sama
sekali itu, justru akan dapat memberikan sumbangan secara positif (dari segi
psikhologis) terhadap penampilannya di arena pertandingan atau perlombaan.
C. mengatasi
atlet yang masih mempercayai takhayul.
Mempercayai
adanya takhayul jelas merupakan sesuatu yang irasional dan tanpa dasar akal
sehat. Oleh karena itu banyak akibat yang sifatnya negatif, sehingga akan lebih
banyak pula menimbulkan kerugian. Untuk itu jelas bahwa hal‑hal yang bersifat
takhayul sebaiknya diusahakan untuk dihilangkan. Namun demikian menghilangkan
kepercayaan seseorang terhadap takhayul adalah tidak semudah yang
dikatakan/diperkirakan orang, sehingga diperlukan tindakan yang bijaksana untuk
mengatasinya. Oleh karena di samping banyak hal yang sifatnya negatif dari
kepercayaan adanya takhayul ini juga ada pula hal‑hal yang sifatnya positif,
maka beberapa hal di bawah ini mungkin dapat dilakukan untuk mengatasi atlet‑atlet
yang masih percaya adanya takhayul.
1.
Program latihan secara
ilmiah (benar) tetap dilaksanakan sesuai rencana.
2.
Perjumpaan setiap kali
latihan diberikan ceramah‑ceramah tertentu yang sifatnya merasionalkan alam
fikiran atlet, yang dilakukan sedikit demi sedikit.
3.
Di dalam mengubah alam
fikiran mereka agar ditempuh cara tertentu sehingga tidak menimbulkan kesan
mengubah/melarang terlalu drastis.
4.
Agar di dalam
mengadakan perubahan alam fikiran mereka tidak menyinggung perasaannya, yaitu
diusahakan tidak menyinggung masalah takhayul terlalu mencolok dalam setiap
ceramah atau pengarahan yang diberikan.
5. ceramah
diutamakan dan diarahkan dalam hal keagamaan.
Hal‑hal di atas dilakukan apabila atlet yang dibina masih dalam jangka
waktu latihan, yaitu jauh sebelum turun
di arena pertandingan atau perlombaan. Namun jika sewaktu terjun di arena
pertandingan ternyata masih terdapat atlet yang bertindak atau menggunakan
benda‑benda yang berbau takhayul, maka tindakan yang mungkin dapat dilakukan
adalah membiarkan atlet membawa atau menggunakan maskotnya, selama tidak
mengganggu jalannya pertandingan atau perlombaan. "Membiarkan" yang dimaksudkan bukan berarti pelatih harus
menyetujui adanya tindakan yang berbau takhayul itu, tetapi justru memanfaatkan dari sisi psikologisnya.
Mengingat merasionalkan orang yang masih mempercayai adanya takhayul adalah
tidak mudah dan diperlukan waktu yang relatif lama, sehingga tidak akan mungkin
mengubahnya pada saat ia melakukan pertandingan. Jika seseorang atlet masih
melakukan haI‑hal atau membawa benda‑benda yang berbau takhayul pada saat
pertandingan kemudian dilarang oleh pelatihnya pada saat itu juga, akibat yang
dikhawatirkan akan terjadi adalah bahwa atlet yang semula sudah memiliki
kepercayaan diri untuk menang (karena merasa memiliki kemampuan yang "lebih"
berkat maskot yang dibawanya), justru akan menjadi sebaliknya, yaitu menjadi kehilangan
kepercayaan diri, sehingga penampilannya justru menjadi lebih buruk dari
biasanya atau lebih buruk dari pada kemampuan yang sebenarnya ia miliki. Hal
ini kemungkinan besar akan terjadi, karena atlet yang percaya benar terhadap
maskotnya, kemudian secara mendadak maskot yang dibawanya dipaksa untuk
ditinggalkan atau dibuang, maka ia akan merasa kehilangan segala kekuatan dan
kemampuannya, karena "sesuatu" yang diharapkan dapat memberikan
bantuan di luar kemampuannya itu telah hilang. Jika keadaan sudah demikian,
maka segala penampilannya menjadi serba ragu‑ragu dan akhirnya prestasi atau
kemampuan yang sebenarnya ia miliki tidak akan dapat ditampilkan dengan baik
dan berarti akan mempengaruhi prestasinya (akan menurun) dan lebih buruk dari
yang sebenarnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Bird, Anne Marie, Ph.D. and
Cripe, Bernette K., M.S. 1986. Psychology
and Sport Behavior. ST. Louis.
Toronto. Santa Clara: Times
Mirror/Mosby College Publishing.
Cox, Richard H. 1985. Sport Psychology, Concepts and Applications.
Iowa: Wm. C.
Brown Publishers, Dubuque.
Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Olahraga dan Pemuda. 1974. Ilmu Jiwa Olahraga. Jakarta:
Dep. P dan K.
DR. Sudibyo Setyobroto.
1989. Psikologi Olahraga. Jakarta: PT. Anem Kosong
Anem.
Gill, Diane L. Ph.D. 1986. Psychological Dynamics of Sport. Champaign, Illinoin:
Human Kinetics Publishers Inc.
Ndong Kamtomo. Psikologi Olahraga. Direktorat
Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Dep.Dik.Bud. Jakarta.
Prof.Dr. Singgih D. Gunarsa
dkk. 1989. Psikologi Olahraga. Jakarta: PT. BPK Gunung
Mulia.
Saparinah S. Sumarmo Markam.
1982. Psikologi Olahraga, Buku
tuntunan. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Kesegaran Jasmani dan Rekreasi
Proyek Pembinaan Kesegaran Jasmani dan Rekreasi.
Suinn, Richard M. 1980. Psychology In Sports. Minneapolis, Minnesota:
Burgess Publishing Company.
Sumadi Suryabrata,
(BA,Drs.,M.A,Ed.S,Ph.D.). 1971. Psikologi
Pendidikan. Jakarta:
CV. Rajawali.
Susan Butt, Dorcas. 1976. Psychology of Sport . New York: Van Nonstrand Reinhold Company.
Tutko, Thomas, Ph.D. and
Tosi, Umberto. 1976. Sports Psyching.
Los Angeles:
J.P. Tarcher, Inc.
Verducci, Frank M., Ed.D.
1980. Measurement Concepts in
Physical Education. ST.Louis.
Toronto. London:
The C.V. Mosby company.
mas biza tolong saya bagi materinya?
BalasHapus