Social Icons

9

Senin, 08 Oktober 2012

Psikologi Olahraga

Dear sobat bloggiest..
Kali ini saya akan berbagi materi tentang psikologi olahraga..
Materi saya dapat dari dosen matakuliah psikologi olahraga Drs.Heru Suranto, M.Pd, dengan izin beliau..



Jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan
Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
2012

B A B   I
PENDAHULUAN

Sejalan dengan berkembangnya ilmu dan teknologi yang semakin pesat di jaman modern sekarang ini, ternyata banyak memberi kemudahan dan kesejahteraan bagi umat manusia. Namun di sisi lain sebenarnya juga telah mendatangkan banyak permasalahan.
Demikian pula yang terjadi dalam dunia olahraga, bahwa sekarang ini telah banyak sarana maupun fasilitas yang lebih modern, sehingga lebih menunjang perkembangan dan kemajuan yang lebih baik. Namun demikian yang perlu diingat bahwa manusia adalah merupakan kesatuan jiwa dan raga, sehingga permasalahan yang muncul selain permasalahan fisik juga permasalahan psikologis. Jika permasalahan secara fisik telah banyak teratasi oleh kemajuan teknologi, maka tentunya permasalahan psikologis juga harus diatasi atau mendapatkan perhatian sesuai dengan kemajuan jaman sekarang. Sebagai antisipasi dari keadaan semacam ini, para ahli psikologi merasa terpanggil bukan hanya mengembangkan disiplin ilmunya sendiri, melainkan telah mulai memasuki disiplin ilmu lain termasuk ke dalam dunia atau kehidupan olahraga.


A. SEKILAS TENTANG SEJARAH PSIKOLOGI OLAHRAGA


Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang gejala kejiwaan manusia. Sedangkan kejiwaan adalah merupakan sesuatu yang sifatnya abstrak, yang berarti tidak dapat dilihat sehingga belum dapat diungkapkan secara jelas dan langkap. Oleh karena itu, untuk mengungkapnya para ahli cenderung untuk mempelajari kejiwaan yang terjilma ke dalam jasmani manusia dalam bentuk perilaku fisik, yaitu segala aktivitas, perbuatan, atau penampilan diri manusia. Dengan demikian sebenarnya bahwa perilaku manusia merupakan pencerminan dari kejiwaannya, sehingga psikologi dapat juga dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tentang prilaku atau tingkah laku manusia.
Psikologi Olahraga adalah merupakan salah satu cabang ilmu yang relatif baru, yaitu merupakan salah satu hasil perkembangan dari psikologi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa, sejak akhir abad ke 19 para ahli psikologi telah berusaha menerapkan hasil‑hasil penelitian psikologi ke dalam kehidupan sehari‑hari. Selanjutnya tumbuh dan berkembang apa yang disebut sebagai psikologi terapan (applied psychology) di berbagai bidang, termasuk salah satunya adalah dalam bidang olahraga.
Pada awalnya psikologi hanya mengembangkan diri secara vertikal, artinya bahwa psikologi berkembang hanya terbatas dalam lingkup disiplin ilmunya sendiri, yaitu tentang kejiwaan manusia sebagai individu (belum dikaitkan dengan hal lain di sekitarnya). Sedangkan manusia sebenarnya bukan hanya sebagai individu, melainkan juga merupakan makhluk sosial, yang berarti segala perilakunya tidak akan terlepas dari pengaruh lingkungan. Dengan demikian memaksa para ahli psikologi tidak hanya mengembangkan disiplin ilmunya secara vertical, melainkan juga harus mengembangkan psikologi secara horizontal. Maksudnya adalah bahwa psikologi mulai mengembangkan diri dengan memasuki disiplin ilmu yang lain. Oleh karena olahraga juga merupakan salah satu bentuk perilaku manusia, maka dalam perkembangannya secara harizontal psikologi juga memasuki bidang olahraga, dan muncullah Psikologi Olahraga. Dengan demikian sebenarnya bahwa psikologi olahraga adalah merupakan perpaduan antara psikologi dan olahraga, seperti digambarkan berikut ini :

Psikor








Gambar 1. Perpaduan antara psikologi dan olahraga


B. Manusia sebagai Kesatuan Jiwa dan Raga


Manusia juga dikatakan sebagai makhluk mono dualisme, artinya bahwa manusia adalah merupakan kesatuan tak terpisahkan antara dua aspek yang saling berbeda yaitu jiwa dan raga. Di satu sisi aspek fisik atau raga dapat dilihat, diraba, tampak nyata oleh indera manusia, di sisi lain aspek kejiwaan (psikologis) adalah aspek yang bersifat abstrak, yang tidak dapat diraba, tidak tampak oleh mata manusia. Aspek jiwa dan raga yang merupakan kesatuan, sudah tentu antara keduanya (jiwa dan raga) akan saling mempengaruhi. Dengan demikian segala sesuatu yang dialami, diperbuat dan dicapai oleh manusia, akan sangat tergantung dari kedua aspek tersebut. Dengan kata lain, bahwa segala perilaku atau tingkah laku manusia tidak akan terlepas dari pengaruh aspek jiwa dan raga atau aspek fisik dan psikologisnya. Oleh karena itu, semua yang dirasakan oleh raga tentu akan dirasakan pula oleh kejiwaanya, begitu pula semua yang dirasakan atau dialami oleh kejiwaan akan terasa pula oleh raganya. Hal ini kiranya sudah sejak jaman dahulu disadari dan dimengerti, bahwa antara jiwa dan raga merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan saling mempengaruhi. Jika demikian maka seharusnya kita juga harus dapat memperlakukan, merawat, dan memperhatikan dua aspek tersebut yaitu jiwa dan raga kita secara seimbang. Artinya bahwa kita selain harus memperhatikan, memperlakukan, merawat dan membina raga kita, juga harus merawat, memperhatikan, memperlakukan dan membina kejiwaan kita secara seimbang atau sama dengan memperlakukan dan membina raga kita. Namun demikian kenyatannya sampai saat ini belum demikian, artinya bahwa perlakuan kita terhadap raga dan kejiwaan kita masih berat sebelah atau belum seimbang.
Sekalipun telah dimengerti bahwa antara jiwa dan raga saling mempengaruhi dan seharusnya mendapatkan perhatian yang sama, namun masih banyak orang yang karena lupa atau sebab lain atau tanpa disadari, memperlakukan aspek jiwa dan raga ini dengan tidak adil atau tidak seimbang, yaitu lebih banyak menekankan perhatiannya atau pembinaannya terhadap aspek raga saja.
Seseorang yang merasa sakit atau menderita sakit tertentu, sebagai usaha penyembuhan biasanya dibawa ke dokter. Setelah ke dokter yang satu penyakitnya tidak kunjung sembuh, kemudian ke dokter lain, demikian seterusnya. Hal ini karena pada umumnya mereka hanya melihat akibat semata, tanpa melihat atau memang tidak tahu sebabnya. Sebagai akibat yang terlihat atau yang terasa memang sakit secara fisik, tetapi sebenarnya penyebab sakit dapat bermacam‑macam. Penyebab itu dapat karena aspek fisik, dapat juga disebabkan faktor psikologis, walaupun sebagai akibatnya bisa sama yaitu sakit secara fisik. Jika memang penyebabnya adalah faktor fisik (fisiologis), maka memang tepat dibawa ke dokter umum. Tetapi jika yang menjadi penyebabnya adalah faktor psikologis, walaupun setelah diobati oleh dokter umum menjadi sembuh, maka kemungkinan penyakit itu akan muncul kembali setelah pengaruh obat yang diberikan telah habis. Jika memang demikian, maka sebaiknya dibawa ke psikiater untuk dicari penyebab dari aspek yang lain yaitu aspek psikhologis.
Di sinilah terlihat bahwa pada umumnya masih belum adil dalam memperlakukan diri kita sebagai satu kesatuan jiwa dan raga. Artinya bahwa apapun penyebabnya pada umumnya pengobatan yang dilakukan hanyalah secara fisik saja, walaupun tahu bahwa penyebab sakit yang sebenarnya adalah faktor psikologis. Hal ini kemungkinan disebabkan karena rasa malu untuk pergi ke dokter jiwa atau psikiater, dan khawatir bahwa dengan pergi ke dokter jiwa akan dikira oleh teman atau tetangganya, ia menderita penyakit gila. Jika penyebab penyakitnya itu adalah aspek psikologis, maka pengobatan secara fisik saja tidak akan dapat menyembuhkan sakit itu secara tuntas. Hal ini karena yang diobati hanyalah akibatnya (sakit), bukan penyebabnya.
Jika telah dimengerti dan difahami adanya hubungan dan pengaruh antara aspek jiwa (psikologis) dan aspek raga (fisik) secara timbal balik, sehingga jika terjadi adanya kasus penyakit yang tidak kunjung sembuh walaupun telah dibawa ke dokter umum, maka seharusnya perlu dibawa ke psikiater untuk diperiksa dari segi kejiwaan.
Demikian pula yang terjadi dalam kehidupan dunia olahraga, masih sering dijumpai pelatih atau guru pendidikan jasmani yang mempunyai pemikiran atau perlakuan yang kurang adil, terhadap dua aspek psikologis dan fisiologis pada anak asuhnya. Artinya bahwa masih sering dijumpai pelatih atau guru pendidikan jasmani yang selalu menitikberatkan aspek fisik dalam membina anak asuh atau anak didiknya. Oleh karena itu khususnya bagi guru pendidikan jasmani yang mempunyai tanggung jawab mendidik atau membina siswa melalui kegiatan olahraga, seharusnya dapat memperlakukan anak didiknya secara wajar sebagai manusia seutuhnya, dan tidak memperlakukan mereka sebagai mesin.
Dengan memperhatikan serta membina kedua aspek itu secara seimbang dan wajar, diharapkan perkembangan dan pertumbuhan mental maupun fisik anak didik dapat berlangsung dengan wajar dan seimbang pula. Sebaliknya jika perhatian atau pembinaan hanya tertuju dan menitikberatkan pada aspek fisik saja, maka akibatnya perkembangan antara aspek fisik dan psikologis menjadi kurang atau tidak seimbang, dan dapat berakibat negatif/merugikan.

1. jiwa Sebagai Penggerak
Dalam hal ini jiwa bukanlah jiwa yang berarti nyawa, yang artinya jika seseorang telah mati berarti jiwanya telah melayang; bukan demikian. Tetapi yang dimaksudkan jiwa dalam hal ini adalah aspek psikologis atau aspek non fisik yang mewarnai kehidupan seseorang seperti emosi, motivasi, kemauan, dan perasaan-perasaan yang lain. Semua yang tercakup di dalam aspek psikologis tidak mudah untuk dipelajari maupun dipastikan keberadaannya, karena aspek psikologis merupakan aspek yang sifatnya abstrak tidak tampak oleh mata, sehingga aspek psikologis ini belum juga dapat diungkapkan secara pasti (eksak) dan lengkap.
Karena sifatnya yang abstrak, maka untuk mempelajarinya orang cenderung mempelajari aspek psikologis atau kejiwaan yang tampak dan muncul sebagai perilaku manusia secara fisik. Perilaku manusia yang dimaksud adalah dapat berbagai bentuk aktivitas, perbuatan, ataupun penampilan diri yang lain selama ia hidup. Manusia di dalam menampilkan dirinya, selalu diwarnai oleh dua aspek secara bersamaan yaitu aspek fisik dan aspek psikologis, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa manusia merupakan kesatuan jiwa dan raga (mono‑dualisme).
Di dalam dunia kedokteran, manusia yang dikatakan masih hidup adalah manusia yang masih berdetak jantungnya. Dengan kata lain bahwa selama jantung masih berdetak atau berdenyut, berarti manusia itu masih hidup. Dengan demikian manusia yang dalam keadaan pingsan yang berarti pada saat itu kehilangan kesadarannya, tetapi jantungnva masih berdetak, maka manusia itu masih dikatakan hidup. Namun demikian walau ia masih hidup, ia tidak dapat beraktivitas secara fisik. Selanjutnya demikian ia sadar dari pingsan, ia akan dapat beraktivitas seperti menangis, tertawa, berjalan, berbicara, atau melakukan kegiatan lainnya. Hal ini karena ia telah sadar dari pingsan, atau ia telah memperoleh kembali kesadarannya. Dalam keadaan pingsan (kehilangan kesadarannya) aspek psikologis manusia tidak bekerja (berfungsi), dan pada saat manusia sadar kembali (sudah tidak pingsan lagi) maka aspek psikologis manusia itu berfungsi kembali.
Dari uraian di atas menunjukkan, bahwa manusia hidup agar dapat berpenampilan atau berperilaku secara wajar sebagai manusia; artinya manusia yang bukan sekedar berdetak jantungnya dan bernafas saja, tetapi manusia yang dapat berbicara, tertawa, marah, sedih, senang dan dapat bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain atau beraktivitas lainnya; selain diperlukan raga atau fisik yang tampak oleh mata, juga diperlukan faktor lain sebagai motor atau sebagai penggeraknya. Faktor penggerak atau motor gerak bagi manusia, tidak lain adalah aspek psikologis atau aspek kejiwaannya.
Dengan aspek psikologis sebagai penggerak atau motor gerak bagi manusia, maka pada saat aspek psikologis ini tidak bekerja, manusia hanya merupakan raga atau fisik yang hidup sekedar hidup secara klinis, atau hidup sekedar jantungnya masih berdetak dan masih bernafas saja, dan sebagai manusia ia tidak dapat bergerak atau berperilaku seperti layaknya manusia normal lainnya.
Anak‑anak berlari dengan cepatnya karena ingin berebut layang‑layang yang putus. Mereka dapat berlari apa penyebabnya ? Mereka dapat berlari karena memiliki otot‑otot, tulang, syaraf, kekuatan maupun energi untuk berlari. Namun sebenarnya otot, tulang, kekuatan maupun energi itu ada yang menggerakkan, yaitu aspek kejiwaan atau aspek psikologis mereka. Dalam contoh di atas, aspek kejiwaan atau aspek psikologis yang menggerakkan mereka untuk berlari adalah minat dan kemauan mereka.
Walaupun mereka memiliki kekuatan dan energi untuk bergerak (berlari), tetapi jika mereka tidak berminat dan tidak memiliki keinginan terhadap layang‑layang itu, maka mereka juga tidak akan beranjak dari tempatnya. Demikian pula yang terjadi dengan perilaku yang lain pada manusia, seperti misalnya dalam kegiatan olahraga.
Manusia dapat melakukan kegiatan olahraga seperti menendang bola, memukul bola, selain ia harus memiliki kemampuan secara fisik untuk kegiatan itu, ia juga perlu motor penggerak untuk menggerakkan fisiknya. Seperti seberapa keras ia harus memukul atau menendang, ke arah mana ia harus menendang atau memukul, itu semua dikendalikan oleh aspek kejiwaan atau psikologis.
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa aspek kejiwaan merupakan aspek yang mewarnai bagi kehidupan manusia, seperti munculnya perilaku manusia yang bermacam‑macam. Hal ini karena aspek kejiwaan juga mencakup berbagai macam bentuk seperti minat, emosi, perasaan, kemauan dan sebagainya. Sedangkan minat, emosi maupun kemauan seseorang adalah bermacam‑macarn pula. Dengan demikian jika penggeraknya (aspek kejiwaan) ada bermacam‑macam bentuk, maka gerak atau perilaku yang dihasilkan pun akan menjadi bermacam‑macam pula, sesuai dengan penggeraknya atau sesuai dengan jenis yang menggerakkan. Sedangkan kita tahu bahwa aspek kejiwaan orang yang satu tentu berbeda dengan yang lain, sehingga corak atau warna kepribadian, perilaku atau tingkah laku setiap orang pun akan menjadi berbeda‑beda pula.
Misalnya dua orang memiliki kemampuan fisik sama, tetapi keduanya memiliki faktor penggerak yang berbeda, maka hasil geraknya atau perilaku yang munculpun menjadi berbeda pula. Hal ini akan tampak lebih jelas pada kasus‑kasus kegiatan olahraga keras seperti karate, tinju, atau cabang lain yang sejenis. Dua karateka atau dua orang petinju yang sedang bertanding di arena pertandingan, misalnya keduanya memiliki kemampuan fisik yang sama, keterampilan yang sama, kecedasan sama, seharusnya hasilnya seri (draw). Tetapi kenyataannya tidak demikian. Karena faktor penggeraknya berbeda, motor geraknya berbeda, atau aspek kejiwaannya berbeda, maka hasil pertandingan pun menjadi lain. Tetapi seandainya kedua orang yang bertanding itu memiliki motor penggerak yang sama, keduanya akan memukul pada waktu yang bersamaan dan sama‑sama mengenai sasaran, maka hasilnya mungkin mereka akan sama‑sama jatuh. Sebaliknya jika salah satu memiliki motor gerak yang lebih rendah (agak takut), akibatnya menjadi lain lagi. Dengan keberanian yang lebih kecil (agak takut), sehingga dalam melontarkan pukulan menjadi tidak sepenuh hati, dan akibatnya kekuatan pukulan itu tidak sesuai dengan kekuatan yang sebenarnya ia miliki.
Di dalam dunia olahraga atau dalam kegiatan olahraga tampaknya memang kegiatan fisik yang lebih menonjol (walaupun sebenarnya tidak demikian). Kegiatan yang tampaknya lebih menonjolkan aspek fisik ini, yang sudah barang tentu harus dilakukan pembinaan fisik dengan baik, harus pula dilakukan pembinaan secara psikologis (mental) dengan seimbang. Hal ini mengingat bahwa aspek psikologis atau kejiwaan merupakan motor atau sebagai penggerak bagi manusia. Dengan keadaan psikologis atau kejiwaan yang lebih baik, tentu akan dapat membangkitkan atau menampilkan kemampuan fisik secara maksimal, sesuai dengan kemampuan yang sebenarnya ia miliki.

2. Raga sebagai Alat Gerak
Jika di atas telah diuraikan bahwa aspek jiwa merupakan motor penggerak bagi manusia, maka aspek raga adalah merupakan alat gerak bagi manusia. Yang dimaksudkan dengan raga adalah semua hal yang berkaitan dengan fisik baik secara anatomis maupun fisiologis. Artinya bahwa yang dimaksud raga mencakup bentuk tulang, keadaan otot, syaraf, bentuk dan keadaan jantung, paru, maupun organ lain yang pada dasarnya dapat diraba maupun dilihat oleh mata, walaupun kadang‑kadang untuk melihat diperlukan alat bantu tertentu, seperti mikroskop dan alat yang lain.
Raga secara anatomis yang dimaksud adalah merupakan aspek fisik yang berkaitan dengan kuantitas, misalnya susunan atau konstruksi, bentuk, jumlah, maupun ukuran organ tubuh tertentu. Sedangkan raga secara fisiologis yang dimaksud adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kualitas dari aspek raga itu, misalnya kemampuan, proses kerja atau cara kerja dari suatu organ tubuh tertentu. Secara keseluruhan yang tampak dari luar atau yang tampak oleh mata, raga adalah seperti yang dapat dilihat sebagai bentuk tubuh manusia yang terdiri dari kepala, tangan, kaki maupun dada dan perut dengan segala isinya. Terutama dalam kaitannya dengan kegiatan olahraga, bagian tubuh seperti yang disebutkan di atas itulah yang dimaksud sebagai alat gerak.
Tentunya raga atau bagian tubuh sebagai alat gerak seperti kepala, tangan, kaki, dan lain sebagainya, akan bergerak kalau ada yang menggerakkannya, yaitu jiwa kita seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Dengan demikian raga yang berujud fisik manusia ini, tanpa adanya faktor penggerak atau tanpa adanya motor yang menggerakkan yaitu jiwa kita, hanyalah merupakan benda mati yang tidak dapat berbuat apa‑apa. Raga sebagai alat memang bergerak sesuai dengan perintah penggeraknya yaitu faktor kejiwaan atau kemauan kita, walaupun sebenarnya ada jenis gerak tertentu yang bukan digerakkan oleh kemauan kita, seperti misalnya gerak reflek dan detak jantung kita.
Dalam kaitannya dengan gerak‑gerak dalam kegiatan olahraga, seperti misalnya orang menendang bola, jelas bahwa kaki yang bergerak menendang bola adalah atas kemauan orangnya dan kaki hanyalah alat yang diperintah, baik arah maupun keras lemahnya tendangan. Namun demikian tidak semua perintah gerak itu dapat dilaksanakan dengan baik oleh alatnya. Seperti misalnya maksud menendang ke arah gawang tetapi nyatanya bola itu meluncur jauh di kanan atau kiri gawang. Ketidaksesuaian antara kemauan dan pelaksanaan oleh alat gerak, menunjukkan bahwa terdapat ketidak sesuaian antara keadaan kejiwaan dan keadaan alatnya. Oleh karena itulah maka seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa antara aspek psikologis maupun fisik seharusnya mendapatkan pembinaan yang seimbang. Dengan kata lain bahwa sekalipun raga kita ini hanyalah sebagai alat, tetapi kemampuannya perlu disesuaikan dengan kemampuan penggeraknya.
Seperti telah sedikit disinggung sebelumnya, bahwa raga atau alat gerak ini ada kalanya bergerak bukan karena diperintah oleh faktor kejiwaan atau psikologis kita secara sadar. Selain detak jantung ada jenis gerak yang lain yang bukan karena perintah kemauan kita secara sadar, yaitu gerak refleks. Gerak refleks adalah gerak yang terjadi atau dilakukan oleh alat gerak (raga) kita di luar perintah kemauan kita. Namun demikian apapun nama geraknya dan bagaimanapun prosesnya, ternyata raga kita ini tetap hanyalah sebagai alat, yang bergerak setelah diperintah faktor lain. Dalam jenis‑jenis gerak secara sadar, jelas bergeraknya alat adalah atas perintah kemauan kita. Demikian pula jenis‑jenis gerak yang terjadi di luar kemauan manusia, sebenarnya bergeraknya alat gerak itu juga atas perintah faktor lain, yaitu karena proses fisiologis tertentu hingga akhirnya terjadilah perintah kepada alat gerak tertentu melalui saraf tertentu, seperti halnya yang terjadi pada gerak refleks maupun berdetaknya jantung, dan gerak‑gerak lain yang semacam itu.
Sebelumnya telah diuraikan bahwa raga sebagai alat gerak tidak selalu bergerak sesuai dengan perintah dari penggeraknya. Hal ini karena tergantung pula oleh keadaan alat gerak atau raganya. Alat gerak yang mengalami gangguan atau kelainan tertentu, sudah barang tentu tidak akan selalu mampu melaksanakan perintah penggeraknya, yaitu kemauan kita. Oleh karena itu agar kedua aspek dapat berfungsi secara wajar, normal dan serasi, maka di samping pembinaan secara psikologis, raga sebagai alat perlu juga mendapatkan perawatan atau pembinaan agar tetap dalam keadaan baik atau lebih baik sesuai dengan keadaan atau pembinaan aspek psikologisnya.
Untuk itulah mungkin telah sering kita dengar istilah latihan atau training atau semacamnya, yang maksudnya adalah untuk mengusahakan agar fisik/raga sebagai alat gerak dapat menghasilkan suatu penampilan yang lebih baik atau suatu hasil gerak yang lebih meningkat, baik dari segi teknik gerakan maupun kemampuan organ seperti kekuatan otot, daya tahan otot, daya tahan kerja jantung dan paru, sehingga yang terpenting raga kita dapat bergerak sesuai dengan yang kita inginkan.

C. Perilaku Manusia


Perilaku manusia merupakan satu istilah yang sudah umum digunakan, didengar, dan dimengerti oleh banyak orang. Berjalan, berlari, berolahraga, disebut sebagai perilaku manusia. Sedangkan termenung, melamun, berfikir, juga disebut sebagai perilaku manusia. Jika demikian, apa yang dimaksud dengan perilaku manusia yang sebenarnya ?
Memperhatikan contoh‑contoh di atas, yang dimaksud sebagai perilaku manusia ternyata adalah segala yang dilakukan dan atau dialami oleh manusia. Dengan demikian perilaku manusia tidak hanya yang menyangkut perbuatan fisik atau kegiatan motorik, melainkan juga kegiatan yang menyangkut aktivitas psikis. Kegiatan yang menyangkut aktivitas motorik maksudnya adalah kegiatan yang secara umum tampak nyata bagi orang lain, seperti misalnya tertawa, menangis, berjalan, berlari, makan, memukul dan lain sebagainya yang sejenis. Sedangkan kegiatan psikis yang dimaksud adalah semua kegiatan yang tidak tampak bagi orang lain seperti misalnya berfikir, atau kegiatan lain yang semacam itu. Proses berfikir adalah kegiatan yang tidak tampak dari luar dan tidak tampak bagi orang lain. Orang yang termenung diam atau melamunkan sesuatu yang tampak diam secara fisik, juga disebut sebagai prilaku manusia, dan demikian pula dengan kegiatan mendengar, melihat, ataupun mengingat‑ingat sesuatu.
Perilaku manusia yang muncul seperti berjalan, berlari, menyanyi, berteriak, berfikir, melamun, mengingat maupun mendengarkan sesuatu, sudah barang tentu tidak muncul begitu saja dengan sendirinya, melainkan melalui proses tertentu. Proses terjadinya perilaku sebenarnya adalah merupakan proses yang sangat rumit dan kompleks, namun secara global atau secara garis besar dapat dijelaskan bahwa: munculnya perilaku selalu didahului oleh adanya rangsang, baik yang datang dari dalam maupun luar individu, dan rangsang ini pertama-tama akan ditangkap oleh saraf‑saraf penerima rangsang yang disebut "receptor". Selanjutnya rangsang yang telah ditangkap oleh receptor diteruskan ke otak dan susunan saraf tulang belakang yang berfungsi sebagai penyaring atau "diskriminator". Di dalam diskriminator rangsang-rangsang tadi disaring, dipilih, dan diinterpretasikan (sebagai reaksi dari adanya rangsang). Di dalam diskriminator (penyaring) itu terdapat sumber energi dari aspek psikhologis yang mempengaruhi perilaku, yaitu yang disebut "motif". Selanjutnya setelah rangsang yang masuk disaring, dipilih, diinterpretasikan dan dipengaruhi oleh motif, kemudian diteruskan ke "efektor"  sebagai saraf‑saraf pelaksana yang menggerakkan otot‑otot. Kerja otot yang berujud gerak atau perilaku lainnya inilah sebagai respon dari adanya rangsang yang masuk ke dalam diri manusia. Agar lebih jelas perilakudapat diikuti bagan secara sederhana berikut ini:


Gambar 2. Sistem perilaku manusia

Sebungan dengan perilaku manusia, seperti kenyataan yang ada bahwa perilaku akan mengalami perkembangan dari bayi atau sejak lahir hingga dewasa dan akhirnya mati. Menurut para ahli bahwa perkembangan perilaku dipengaruhi oleh faktor tertentu, dan menurut ahli yang satu dengan ahli lainnya berbeda‑beda. Pendapat yang berbeda‑beda itu pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan para ahli yang mengikuti aliran "nativisme", pendapat para ahli yang mengikuti aliran "empirisme", dan para ahli yang mengikuti aliran "Konvergensi".

1. Nativisme
Pendapat para ahli yang mengikuti aliran nativisme ini menjelaskan, bahwa perilaku manusia dalam perkembangannya hanya dipengaruhi oleh faktor‑faktor yang dibawa sejak lahir (natus = lahir). Tokoh utama dalam aliran nativisme ini adalah Schopenhauer yang diikuti pula oleh Descrates, Plato maupun Lombroso. Dengan demikian menurut aliran ini bahwa faktor‑faktor lain sangat kecil pengaruhnya terhadap perkembangan perilaku atau tingkah laku manusia, sehingga aliran ini jelas mengabaikan faktor belajar, latihan, atau faktor lingkungan lainnya. Artinya bahwa jika sekarang ini kita menganut aliran nativisme, maka kita tidak perlu sekolah, tidak perlu berlatih, juga tidak perlu alat fasilitas pendukung lainnya, karena segala sesuatunya sudah ditentukan dari bawaan sejak lahir. Namun ternyata kita tidak menganut aliran nativisme ini.
Para ahli yang mengikuti aliran ini mendasarkan kebenaran konsepsinya, dengan menunjuk kepada beberapa atau berbagai kesamaan atau kemiripan antara orang tua dan anak‑anaknya. Kesamaan atau kemiripan yang dimaksud, bahwa misalnya orang tua sebagai orang yang ahli melukis maka kemungkinan besar bahwa anaknya juga akan menjadi seorang yang ahli melukis, demikian pula jika orang tuanya adalah orang yang ahli dalam bidang matematik atau musik, maka anak‑anaknya juga akan menjadi orang yang ahli dalam bidang matematik atau musik. Dengan demikian dapat dikatakan pula menurut aliran ini, bahwa keistimewaan‑keistimewaan yang dimiliki orang tuanya akan menurun  kepada  anak‑anaknya.

2. Empirisme
Aliran ini adalah aliran yang bertentangan dengan aliran sebelumnya (nativisme). Jika aliran nativisme menyebutkan atau para ahli yang mengikuti aliran ini berpendapat, bahwa perkembangan manusia semata‑mata didasarkan faktor pembawaan (dasar), maka para ahli pengikut aliran empirisme ini berpendapat bahwa perkembangan manusia, sangat tergantung atau hanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dengan kata lain bahwa para pengikut aliran empirisme ini berpendapat, bahwa faktor pembawaan atau faktor dasar tidak mempunyai peranan (sangat kecil perannya) dalam mempengaruhi perkembangan perilaku manusia. Tokoh utama dalam aliran ini adalah John Locke.
Jika kita sekarang ini menganut aliran empirisme, maka di dalam mencetak atlet dalam berbagai cabang olahraga tidak perlu memilih dari mereka yang berbakat, karena menurut aliran ini segala sesuatunya tergantung dari lingkungan. Artinya jika kita menginginkan seseorang berprestasi tinggi, maka tergantung bagaimana latihannya, bagaimana pelatihnya, dan bagaimana dukungan sarana prasarananya. Namun ternyata kita juga tidak menganut aliran ini.

3. Konvergensi
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya baik aliran nativisme maupun aliran empirisme, ternyata merupakan aliran yang ekstrim atau sangat menyebelah. Tampaknya ke dua aliran di atas lebih berorientasi pada dunia binatang. Misalnya seekor anjing yang sesuai dengan bawaannya (nativisme) memang tidak dapat berbicara, walaupun diberi lingkungan seperti apapun, diajarkan berbicara misalnya, tetap saja tidak akan dapat berbicara. Sedangkan seorang bayi yang baru lahir (menurut empirisme sebenarnya memiliki bawaan dapat berbicara) kemudian diasuh oleh kera di tengah hutan, ternyata setelah dewasa juga tidak dapat berbicara, ia berkomunikasi menggunakan cara seperti kera yang mengasuhnya (lingkungannya). Oleh karena itu sesuai dengan kenyataan yang ada sekarang, ke dua aliran itu tidak dapat dipertahankan lagi. Selanjutnya muncullah aliran atau faham konvergensi, sebagai penengah untuk mengatasi ke dua aliran yang saling bertentangan (nativisme dan empirisme), yang dipelopori oleh William Stern.


aliran

Menurut aliran konvergensi, bahwa dalam perkembangannya individu atau manusia sangat dipengaruhi oleh faktor pembawaan (dasar) juga faktor lingkungannya. Dengan kata lain bahwa faktor pembawaan maupun faktor lingkungan (environment), memainkan peranan sangat penting secara bersamaan dalam membantu dan mengembangkan individu. Oleh karena itu  aliran  ini berpendapat pula bahwa seseorang yang memiliki dasar pembawaan atau potensi dasar yang cukup besar, agar mencapai keberhasilan dalam mengembangkan dirinya secara maksimal, juga harus ditunjang dengan alat, fasilitas, pertolongan, dan kondisi‑kondlsi luar (lingkungan) yang mencukupi. Demikian pula sebaliknya bahwa seseorang yang ingin meraih prestasi tinggi, tentu tidak cukup hanya berbekal sarana prasarana memadai, pelatih yang handal, dana yang cukup, tetapi juga harus memiliki bakat, minat atau kemauan, dan juga motivasi yang tinggi. Agar lebih jelas mengenai aliran‑aliran seperti yang telah diuraikan di atas, dapat diikuti bagan berikut ini:

Gambar 3.            Nativisme, Empirisme, dan Konvergensi, dalam kaitannya
dengan pengembangan individu.



B A B    II

HUBUNGAN ANTARA JIWA, RAGA, DENGAN OLAHRAGA

Sebelumnya telah diuraikan, bahwa manusia sebagai makhluk mono dualisme dapat diartikan pula sebagai manusia yang merupakan kesatuan antara jiwa dan raga. Dua aspek yang menyatu yaitu jiwa dan raga, tentunya masing‑masing akan saling mempengaruhi. Artinya bahwa manusia dalam segala perilakunya tidak akan terlepas dari aspek kejiwaan dan aspek raganya, termasuk juga salah satu di antaranya adalah perilaku olahraga. Dengan demikian tentunya bahwa jiwa akan mempengaruhi olahraga dan sebaliknya olahraga akan mempengaruhi aspek kejiwaan, demikian juga raga akan mempengaruhi olahraga dan sebaliknya olahraga akan mempengaruhi raga.


A. Hubungan Kejiwaan dengan Olahraga


Aspek kejiwaan atau psikhologis mencakup banyak hal dan banyak istilah seperti keinginan, kemauan, emosi, motivasi, keberanian, kecintaan, kebencian, takut, senang, sedih, gembira, malu, cemas, agresif dan lain sebagainya, yang sering pula bahwa antara istilah yang satu dengan yang lain mempunyai maksud atau arti sama atau hampir sama namun dengan istilah yang berbeda. Aspek kejiwaan ini dapat mempengaruhi bekerjanya kelenjar‑ kelenjar dalam tubuh, sehingga dengan demikian setiap perubahan yang terjadi pada aspek kejiwaan akan membawa perubahan pula terhadap bekerjanya kelenjar dalam tubuh. Perubahan kerja kelenjar dalam tubuh, akibatnya akan mempengaruhi perilaku manusia yang salah satunya adalah perilaku olahraga.
Salah satu aspek kejiwaan yang ada pada manusia adalah yang disebut sombong. Seseorang yang memiliki sikap sombong, pada umumnya memiliki rasa percaya diri yang berlebihan.  Di dalam olahragra, rasa percaya diri memang diperlukan, tetapi rasa percaya diri yang cukup dalam batas-batas tertentu. Akibat dari rasa percaya diri yang berlebihan (over confidence) ini, biasanya diikuti dengan perasaan menganggap ringan setiap lawan. Oleh karena menganggap ringan lawan, maka merasa bahwa ia tidak perlu lagi mempersiapkan diri dengan latihan‑latihan yang keras. Selanjutnya di dalam pertandingan ia juga kurang/tidak bersungguh‑sungguh, dan sebagai akibatnya jelas akan mempengaruhi hasil, artinya bahwa yang sebenarnya dapat memenangkan pertandingan tetapi menjadi sebaliknya. Sikap terlalu percaya diri (over confidence) selain mempengaruhi olahraga (hasil pertandingan), sebaliknya dapat pula munculnya justru karena kegiatan olahraga.
Seseorang yang menang dalam pertandingan olahraga, tentu akan menambah kepercayaan terhadap kemampuan dirinya. Kemenangan demi kemenangan atau keberhasilan demi keberhasilan yang dicapai atau diperoleh terus menerus, tentu juga semakin menambah atau mempertebal kepercayaan diri. Namun demikian keberhasilan yang tanpa disertai evaluasi dan introspeksi diri, akan mengakibatkan percaya diri yang berlebihan dan tidak terkendali (over confidence). Apa lagi diperparah dengan sifat‑sifat dasar pribadinya yang kurang atau tidak baik dan pola pembinaan yang kurang atau tidak tepat, akan mempercepat munculnya sikap over confidence, setelah ia memperoleh keberhasilan terus menerus tanpa evaluasi dan introspeksi. Oleh karena itu evaluasi dan introspeksi sebaiknya senantiasa dilakukan, artinya bahwa apakah kemenangan atau keberhasilan yang diperoleh itu bukan karena memang kemampuan lawan jauh di bawah kemampuannya ? Secara psikologis hal seperti ini adalah merupakan salah satu hal yang erat kaitannya dengan kegiatan latih tanding (try-out), artinya bahwa dari hasil latih tanding itu diharapkan akan memperoleh salah satu manfaat yaitu pengalaman yang berharga dari aspek psikologisnya.
Jika kemenangan atau keberhasilan yang beruntun atau terus menerus memungkinkan seseorang terhinggapi sikap terlalu percaya diri (over confidence), maka kekalahan atau kegagalan yang beruntun atau terus menerus juga memungkinkan munculnya akibat yang sama buruknya. Kalah dalam suatu pertandingan, memungkinkan berkurangnya rasa percaya diri. Jika dalam berbagai pertandingan selalu kalah, berarti kepercayaan terhadap kemampuan dirinya juga cenderung semakin berkurang dan semakin tipis, bahkan mungkin hilang sama sekali (karena faktor negatif lainnya, seperti sifat dasar pribadinya yang kurang baik maupun pembinaan yang tidak tepat). Keadaan yang demikian cenderung mengakibatkan munculnya perasaan selalu kalah siapapun lawannya, atau merasa kalah walau pertandingan belum berlangsung (kalah sebelum bertanding).
Contoh ke dua kasus di atas adalah mempunyai dampak sama buruknya, yaitu mengakibatkan munculnya over confidence dan merasa kalah sebelum bertanding siapapun lawannya. Oleh karena itu akan lebih baik jika sebelum terjun dalam pertandingan, diberikan pengalaman yang bervariasi (try-out) di samping harus didukung dengan pola pembinaan secara tepat. Dengan mendapatkan pengalaman yang bervariasi dalam bertanding dan bervariasi pula hasilnya, diharapkan akan dapat menumbuhkan sikap juara (winning attitude). Dengan dimilikinya winning attitude, berarti akan selalu  siap sedia dengan rasa percaya diri  yang cukup tinggi dan berusaha untuk menang dalam batas‑batas sportivitas, dalam menghadapi setiap pertandingan siapapun lawannya. Dengan demikian sekiranya kemenangan itu dapat dicapai, tidak akan mabuk dengan kemenangannya itu. Sebaliknya saat ia menderita kegagalan, diharapkan dapat selalu mawas diri (introspeksi) atas kegagalannya itu atau dapat mensikapi kekalahannya secara wajar.

B. Hubungan Raga Dengan Olahraga


Tampaknya sebagian besar manusia di dunia ini tidak akan menyangkal lagi, babwa ternyata olahraga berpengaruh positif terhadap raga manusia. Seandainya masih ada yang berpendapat atau berpandangan negatif tentang pengaruh olahraga terhadap fisik/raga, itu hanya sebagian kecil atau sekelompok orang tertentu saja. Demikian besar manfaat atau pengaruh olahraga terhadap raga, hingga di semua jenis dan jenjang sekolah di Indonesia khususnya, diberikan mata pelajaran olahragra (penjas). Olahraga yang diberikan di sekolah selain bertujuan untuk membantu individu dalam mengembangkan pribadinya, juga berguna dalam mengembangkan dan membina fisiknya. Sedangkan untuk tujuan pengembangan dan pembinaan ini kiranya sudah bukan merupakan hal baru dan telah dimengerti oleh  sebagian  besar masyarakat. Seperti misalnya orang yang menginginkan ototnya kuat dan besar, kesegaran jasmaninya meningkat menjadi lebih baik, tentu akan melakukan olahraga dengan jenis tertentu yang sesuai dengan tujuannya. Hal ini karena selain memang telah jelas diketahui bahwa olahraga dapat mempengaruhi tubuh atau raga, juga karena olahraga itu digunakan secara tepat dan sesuai dengan aturan yang benar. Sebaliknya jika olahraga dilaksanakan dengan tidak atau kurang tepat dalam arti tidak sesuai dengan aturan yang benar, justru besar kemungkinan akan berpengaruh negatip terhadap raga atau tubuh manusia.
Tentang pengaruh olahraga terhadap raga, kiranya telah banyak contoh yang dapat dilihat dan bahkan banyak orang telah  membuktikannya sendiri. Seperti misalnya melakukan olahraga lari dengan aturan tertentu, ternyata dapat memperkuat otot jantung dan bahkan sistem kardiovaskularnya. Tampak jelas dapat dilihat bahwa seorang yang terbiasa melakukan olahraga lari jarak jauh (secara rutin) misalnya pelari jarak jauh, tentu memiliki bentuk tubuh yang berbeda dengan seorang atlet angkat berat. Hal ini karena perbedaan proses selama latihan yang disesuaikan dengan karakteristik jenis olahraga yang diikutinya, sehingga akhirnya juga terbentuklah fisik yang berbeda pula.
Demikian pula dengan raga, bahwa bentuk atau jenis maupun ciri‑ciri fisik (raga) adalah sangat berpengaruh terhadap olahraga, terutama yang dimaksudkan untuk meraih prestasi yang tinggi (olahraga prestasi). Pada dasarnya bahwa setiap orang atau siapa saja berhak dan dapat melakukan atau memilih jenis olahraga yang disenanginya, namun jika dikehendaki prestasi yang tinggi maka jelas tidak semua atau setiap orang dapat mencapai prestasi tinggi dalam cabang olahraga tertentu. Hal ini berkaitan erat dengan keadaan bentuk tubuh atau ciri‑ciri fisik seseorang, sebagai bahan baku yang akan doproses untuk mencapai prestasi olahraga tertentu. Sebagai contoh misalnya seseorang yang hanya memiliki tinggi badan 100 cm, tentu akan sangat sulit untuk menjadi pemain bola voli atau bola basket tingkat nasional. Seandainya ada orang yang dapat bermain bola voli atau bola basket dengan tinggi badan hanya 100 cm, prestasi yang dapat dicapai tentu juga hanya terbatas, sesuai dengan keadaan fisiknya. Dengan kata lain bahwa untuk mencapai prestasi yang tinggi, diperlukan ciri‑ciri fisik tertentu sesuai dengan tuntutan cabang olahraga yang diikutinya. Di samping ciri‑ciri  fisik tertentu memang lebih cocok untuk cabang ­olahraga tertentu, ciri‑ciri fisik juga mempunyai hubungan dengan sifat‑sifat kejiwaan (psikologis) seseorang, yang juga perlu diperhitungkan dalam olahraga prestasi khususnya. Maksudnya adalah bahwa sejumlah individu yang memiliki ciri‑ciri atau struktur tubuh tertentu, ternyata memiliki sifat‑sifat kejiwaan tertentu pula. Namun demikian hubungan antara ciri‑ciri fisik dan sifat seseorang adalah bukan merupakan hubungan sebab-­akibat, melainkan karena ditemukannya unsur kesamaan antara ciri‑ciri fisik atau tipe tubuh tertentu dan sifat‑sifat tertentu pula (secara korelasional). Dengan demikian kesesuaian antara fisik dengan olahraga, bukan berarti hanya bentuk fisik saja,  tetapi juga dikaitkan dengan kesesuaian antara sifat‑sifat individu dan jenis olahraganya.
Berkaitan dengan ciri‑ciri fisik dan sifat‑sifat individu, menurut Sheldon ada 3 komponen penting dalam struktur tubuh manusia yaitu endomorf, mesomorf, dan ektomorf. Namun demikian, dalam kenyataannya bahwa seseorang termasuk ke dalam salah satu tipe secara murni adalah tidak ada. Seseorang termasuk ke dalam salah satu tipe tubuh tertentu karena ia memiliki salah satu komponen yang paling dominan. Dengan kata lain bahwa sebenarnya setiap orang tentu memiliki ke 3 komponen struktur tubuh itu, tetapi salah satu dari ke 3 komponen itu berkembang lebih dominan atau lebih menonjol dibandingkan dengan yang lainnya, sehingga seseorang disebut memiliki tipe tubuh sesuai dengan komponen yang berkembang secara dominan (menonjol) itu.
Gemuk-2
1. Endomorf
Seseorang yang termasuk ke dalam tipe tubuh endomorf, yaitu orang yang memiliki tingkat perkembangan lebih dominan pada organ lambung, usus maupun jantung. Sehingga pada umumnya orang yang termasuk ke dalam golongan ini kelihatan gemuk cenderung pendek dan bulat. Tipe tubuh ini atau mereka yang termasuk ke dalam tipe tubuh ini, memiliki kelompok sifat tertentu yang disebut "viscerotonia". Mereka yang memiliki kelompok sifat viscerotonia, pada umumnya memiliki sikap dan gerakan yang rileks dan suka makan. Di samping itu juga suka akan kesenangan fisik dan suka bergaul, juga biasanya berorien-tasi pada masa kanak‑kanak maupun keluarga, senang terhadap hal‑hal yang sifatnya seremonial dan kesopanan.
Dalam kaitannya dengan kegiatan olahraga dan khususnya yang ditekankan untuk mengejar prestasi tinggi, mengetahui tipe tubuh adalah sangat penting, baik bagi pelatih maupun dirinya sendiri yang akan memilih cabang olahraga mana yang sesuai atau coook bagi dirinya. Terutama bagi pelatih atau guru olahraga atau yang sejenisnya, mengetahui tipe tubuh sangat bermanfaat untuk mengarahkan seseorang atau sekelompok orang untuk menekuni cabang olahraga tertentu, di samping bermanfaat untuk menyelesaikan masalah yang muncul pada diri seseorang secara psikologis, sesuai dengan sifat yang dimilikinya.

2. Mesomorf
LariMereka yang termasuk ke dalam tipe mesomorf adalah mereka yang memiliki tingkat perkembangan lebih dominan pada otot dan tulang. Pada umumnya mereka disebut juga dengan tipe atletis. Mereka yang memiliki tipe ini pada umumnya tampak kekar, berotot, dengan tinggi badan yang cukup atau sedang. Seperti halnya pada tipe endomorf, bahwa tipe mesomorf inipun mempunyai kelompok sifat kejiwaan tertentu, yang disebut dengan “somatotonia". Adapun sifat‑sifat yang tercakup di dalamnya dapat digambarkan bahwa pada  umumnya mereka memiliki sikap dan gerakan yang tegas, senang dengan pengalaman fisik, giat berlatih dan berani. Di samping itu mereka senang berorientasi pada masa remaja, dan berorientasi pada tujuan dalam setiap kegiatannya. Mereka juga senang berbicara atau menyelesaikan sesuatu dengan secara langsung atau tanpa basa‑basi, yang berarti mereka kurang senang terhadap hal‑hal yang sifatnya berbelit‑belit atau pura‑pura.
Bagi pelatih, guru olahraga, atau yang sejenis lainnya, yang berarti mengasuh, membina, melatih ataupun mengajar seseorang atau sekelompok orang, dengan mengetahui bahwa anak didiknya memiliki  tipe mesomorf, tentu akan dapat membantu tugasnya dalam mengarahkan atau mengembangkan potensi ke arah yang sesuai dengan keadaan atau tipe mesomorf yang dimilikinya. Dengan mengetahui bahwa seseorang memiliki tipe tertentu, berarti dapat diketahui pula (seara umum) mengenai sifat‑sifat kejiwaannya. Dengan demikian setiap kasus atau permasalahan yang dialami seorang mesomorf harus mendapatkan penyelesaian sesuai dengan ciri‑ciri atau sifat‑sifat kejiwaan yang dimilikinya. Oleh karena itu penyelesaian masalah secara psikologis antara seorang endomorf tentu akan berbeda dengan orang mesomorf, atau penyelesaian terhadap permasalahan seorang  viscerotonia tentu akan berbeda dengan seorang somatotonia.

3. Ektomorf
Orng-tinggiKelompok orang yang termasuk ke dalam tipe ektomorf atau tingkat perkembangan organ yang mencakup susunan saraf dan kulit, pada umumnya tampak kurus, kerempeng dan relatif tinggi. Seperti halnya pada tipe‑tipe endomorf dan mesomorf,  bahwa tipe ektomorf juga menunjukkan adanya sifat‑sifat khusus, yaitu kelompok sifat tertentu yang disebut dengan "cerebrotonia". Adapun sifat‑sifat itu dapat digambarkan bahwa kebanyakan dari mereka adalah pendiam, tertutup, tidak suka bergaul karena memang sukar bergaul. Dengan demikian mereka adalah orang‑orang yang lebih senang dengan kesendiriannya. Dengan sederetan sifat‑sifat itu memberi kecenderungan bahwa mereka juga memiliki sikap dan gerakan yang terhambat. Namun demikian mereka memiliki kesadaran diri yang cukup besar, sehingga dalam hidupnya mereka lebih senang berorientasi ke masa depan atau masa tua.
Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya bahwa bagi pelatih, pembina, atau guru olahraga, menghadapi orang yang memiliki tipe tertentu akan berbeda dengan tipe yang lainnya. Khususnya dalam menghadapi orang‑orang ektomorf ini dalam arti membimbing, mengarahkan, atau membantu memecahkan masalah yang dialaminya, adalah relatif lebih sulit dibandingkan dengan tipe‑tipe yang lain yang orang‑orangnya lebih terbuka.
Selain tipe‑tipe tubuh seperti yang dikemukakan oleh Sheldon, ada penggolongan tipe‑tipe tubuh yang lain yang dikemukakan oleh Kretchmer. Adapun penggolongan tipe‑tipe tubuh sesuai dengan ciri‑ciri fisiknya, menurut Kretchmer adalah sebagai berikut:
a. Pyknis
Mereka yang tergolong ke dalam tipe ini memiiki ciri‑ciri tubuh pendek, gemuk, leher kuat, bentuk dada bulat dan perut menonjol ke depan. Dengan oiri‑ciri fisik seperti ini, mereka mempunyai kecenderungan senang dan banyak makan, sehingga cenderung pula akan mendapatkan kemudahan dalam pencernaan makanan. Karena mempunyai ciri senang dan banyak makan, hingga pada umumnya mereka yang tergolong ke dalam tipe ini memiliki simpanan energi yang cukup.
b. Athletis.
Berbeda dengan tipe pyknis, bahwa mereka yang termasuk ke dalam tipe athletis pada umumnya memiliki ukuran badan sedang, otot‑otot relatif kuat, dada lebar, tangan maupun kaki besar dan kuat.
c. Asthenis
Mereka yang termasuk ke dalam tipe asthenis mempunyai ciri‑ciri badan tinggi, langsing, dada rata atau tipis, bahu agak ke depan. Pada umumnya mereka memiliki alat‑alat tubuh bagian  dalam yang cenderung lemah, sehingga mereka yang termasuk ke dalam tipe tubuh ini juga cenderung mendapat kesulitan dalam pencernaan makanan.

Dari penggolongan tipe tubuh yang dikemukakan oleh Sheldon maupun Kretchmer, sebenarnya mengandung kesamaan atau bahkan memang sama, hanya masing‑masing menggunakan istilah yang berbeda. Seperti misalnya tipe endomorf dari Sheldon, mempunyai ciri‑ciri yang sama dengan  tipe pyknis dari Kretchmer. Tipe mesomorf dari Sheldon mempunyai ciri-ciri yang sama dengan tipe athletis dari Kretchmer, serta tipe ektomorf dari Sheldon mempunyai ciri‑cirii fisik yang sama dengan tipe asthenis dari Kretchmer. Seorang ahli lain yaitu Cureton dalam penelitiannya mengenai tipe‑tipe seseorang yang juga menggunakan modifikasi Sheldon, akhirnya memperoleh kesimpulan bahwa:
1.      Mereka yang termasuk ke dalam tipe mesomorf, yaitu yang memiliki ciri‑ciri fisik nampak kekar, berotot kuat dan keras, adalah lebih sesuai untuk menekuni pada cabang olahraga yang memerlukan lebih banyak kekuatan (strenght) dan tenaga (power).
2.      Sedangkan mereka yang termasuk ke dalam kelompok tipe ektomorf yaitu yang memiliki ciri‑ciri fisik kurus, kecil atau kerempeng, relatif tinggi, adalah memiliki fleksibilitas atau kelentukan dan keluwesan gerak relatif lebih baik dibanding tipe lainnya.
Dari uraian di atas, tampak bahwa bentuk raga atau fisik mempunyai sumbangan besar terhadap pencapaian prestasi yang tinggi dalam olahraga. Dengan demikian sudah sewajarnya bahwa untuk menekuni dan mencapai prestasi yang tinggi dalam olahraga, perlu penyesuaian antara ciri‑ciri fisik atau tipe tubuh dan cabang olahraganya.



B A B   III

ASPEK‑ASPEK PSIKOLOGIS DALAM OLAHRAGA

Telah diuraikan sebelumnya bahwa kegiatan berolahraga adalah merupakan salah satu perilaku manusia, sedangkan perilaku manusia selalu diwarnai oleh keadaan fisik maupun psikologisnya, dengan demikian kegiatan berolahraga juga selalu diwarnai oleh keadaan kedua aspek tersebut. Hal ini kiranya sudah tidak asing lagi, karena memang yang melakukan olahraga adalah manusianya, bukan sekedar fisiknya. Dengan kata lain bahwa dalam kegiatan berolahraga yang merupakan salah satu bentuk perilaku manusia, tentu tidak akan terlepas dari pengaruh aspek fisik maupun aspek psikologis atau pengaruh alat gerak maupun motor penggeraknya.
Terutama pengaruh dari aspek psikologis adalah banyak macamnya, sehingga dalam kegiatan olahraga juga bermacam‑macam akibat yang muncul. Adapun beberapa aspek itu akan diuraikan seperti berikut :


A. Kecerdasan dalam olahraga.

Istilah kecerdasan sering pula disebut sebagai inteligensi, kecakapan, kepandaian, atau juga intelektualitas. Kecerdasan atau yang disebut dengan bermacam‑macam istilah itu, adalah merupakan faktor penting yang sering menentukan kemenangan dalam pertandingan olahraga, khususnya dalam cabang‑cabang tertentu seperti tenis lapangan, sepak bola, bola voli, bulu tangkis, tinju dan cabang‑cabang lain yang semacam.
Dalam cabang‑cabang yang semacam itu, pada umumnya sebelum pertandingan seorang pemain harus mengetahui bahwa siapa sebenarnya calon lawannya itu. Dengan kata lain bahwa pemain harus tahu lebih dulu calon lawannya, baik dalam hal kelebihan maupun kekurangannya. Maksudnya agar pemain yang akan bertanding itu harus mengetahui lebih dahulu kekuatan dan kelemahan lawan, di samping juga kemampuan dirinya sendiri, agar selanjutnya dapat menentukan pola ataupun strategi yang digunakan dalam bertanding nanti. Selain itu selama bertanding atau selama dalam pertandingan berlangsung, ia dituntut pula untuk menganalisis permainan lawan, yang kemudian ia dituntut untuk segera menentukan sikap dan bertindak sebagai jawaban atas permainan lawan atau sebagai tindakan antisipasi terhadap permainan lawannya itu. Hal semacam ini dapat dilakukan kalau pemain yang bersangkutan memiliki kecerdasan atau inteligensi yang cukup memadai atau relatif tinggi. Untuk itu perlu diketahui lebih dahulu apa sebenarnya yang dimaksud kecerdasan atau inteligensi atau kepandaian itu, hingga demikian besar pengaruhnya terhadap cabang‑cabang olahraga tertentu dalam mencapai prestasi yang setinggi‑tingginya.
Ada bermacam‑macam batasan mengenai kecerdasan atau yang biasa disebut dengan inteligensi, karena memang banyak pula para ahli yang mengemukakan batasan itu sesuai dengan sudut pandangnya masing‑masing. Untuk itu batasan tentang inteligensi hanya beberapa yang akan dikemukakan. Menurut William Stern, inteligensi adalah merupakan kemampuan untuk menggunakan secara tepat segenap alat‑alat bantu dan fikiran, guna menyesuaikan diri terhadap tuntutan‑tuntutan baru. Dari batasan Stern ini dapat digambarkan bahwa orang yang cerdas atau pandai akan lebih mampu berfikir, menimbang, menganalisis, mengkombinasikan segala informasi yang diperolehnya, untuk menemukan kesimpulan dan kemudian memutuskan dan bertindak. Dengan demikian orang yang cerdas atau pandai atau cakap atau pintar, akan dapat menyelesaikan semua itu dalam waktu yang relatif singkat, memahami masalah lebih cepat dan cermat, juga mampu bertindak secara cepat.
Menurut Wechsler, inteligensi adalah merupakan potensi atau kemampuan yang bersifat umum yang dimiliki seseorang atau individu untuk bertindak secara terarah, berfikir secara rasional dan menyesuaikan diri secara efektif dengan lingkungannya. Dari batasan Wechsler ini sebenarnya secara umum adalah tidak jauh berbeda atau bahkan mengandung pengertian yang sama. Artinya bahwa batasan dari Wechsler inipun dapat digambarkan, bahwa seseorang yang cerdas atau pandai atau memiliki inteligensi tinggi, adalah orang yang cepat menyesuaikan diri dengan situasi yang ia hadapi, relatif cepat, tepat dan cermat.
Dari dua batasan tentang inteligensi di atas kemudian dapat disimpulkan, bahwa seseorang yang memiliki inteligensi tinggi, adalah orang yang memiliki kemampuan ataupun potensi untuk menyesuaikan diri dengan situasi, kondisi, ataupun lingkungannya, lebih cermat dan cepat. Dengan demikian sebenarnya perbedaan antara orang yang memiliki inteligensi rendah, sedang dan tinggi, hanya terletak pada soal tempo atau waktu, walaupun sebenarnya tidak sesederhana itu persoalannya. Menyesuaikan dengan situasi, kondisi, maupun lingkungan, adalah bermacam‑macam bentuk maupun jenisnya. Seorang siswa yang lulus Sekolah Dasar dan masuk ke SMP, berarti harus menyesuaikan dengan situasi, kondisi, maupun lingkungan di SMP itu. Artinya bahwa selain ia harus menyesuaikan dengan teman‑temannya yang baru, juga harus menyesuaikan dengan semua kegiatan termasuk jenis‑jenis mata pelajaran yang baru baginya. Demikian pula saat ia masuk ke SMA, masuk ke pendidikan tinggi, ia selalu harus menyesuaikan dengan hal‑hal yang baru. Jika ia memiliki kecerdasan yang cukup atau relatif tinggi, tentu ia akan cepat menyesuaikan diri, seperti misalnya dapat menangkap dan mengerti tentang semua pelajaran yang diberikan, lebih cepat dari pada teman lainnya. Sebaliknya seseorang yang memiliki kecerdasan atau inteligensi relatif rendah, untuk mengerti sesuatu atau untuk menyesuaikan dengan sesuatu yang baru, akan diperlukan waktu yang lebih lama. Biasanya orang yang lamban atau lama untuk mengerti sesuatu ; yang berarti lamban juga untuk menyesuaikan dengan lingkungannya ; akan dikatakan sebagai anak bodoh. Dengan demikian seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa cerdas dan bodoh atau inteligensi tinggi dan rendah, secara umum adalah hanya soal tempo atau waktu penyesuaian. Dengan kata lain bahwa sebenarnya semua manusia ini memiliki potensi atau kemampuan untuk menyesuaikan diri, hanya kadar atau besar kecilnya kemampuan itu berbeda‑beda, hingga ada yang dikatakan cerdas atau berinteligensi tinggi, juga ada yang sedang‑sedang saja, ada pula yang dikatakan bodoh atau berinteligensi relatif rendah, dan lain sebagainya. Namun demikian seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa persoalan inteligensi atau kecerdasan atau yang semacamnya adalah tidak semudah dan sesederhana itu.
Berkemb. Menc.batas kemat.nya dari dalam
 
hrs ada rangsangan dari luar sec teratur (ling./pendd. & pengaj.)
 
otak-4Kecerdasan atau inteligensi adalah bersifat konstan atau relatif tetap, walau tidak seluruhnya demikian. Artinya bahwa sebagian dari kecerdasan ini ditentukan oleh pembawaan atau telah dimiliki sejak lahir yang tidak terlalu banyak bergantung pada faktor lingkungan. Kecerdasan yang bersifat bawaan ini sudah barang tentu tidak akan banyak dapat dirubah oleh faktor sekolah, karena memang sebenarnya terdapat batas tertentu pada kemampuan intelek itu.
Perkembangan kecerdasan atau kemajuan kecerdasan adalah berasal dari dalam hingga mencapai kematangannya, dan setelah itu akan dapat dicapai melalui pengajaran dan pendidikan yang teratur, hingga mencapai pada kecerdasan yang sesuai dengan yang sebenarnya ia miliki. Dengan kata lain bahwa seseorang yang sebenarnya memiliki kecerdasan tinggi, namun tanpa adanya suatu pengajaran dan pendidikan atau pengarahan tertentu, tidak akan dapat mencapai puncak kemampuan yang sebenarnya ia miliki.
Dalam kaitannya dengan olahraga, kecerdasan juga diperlukan dalam cabang‑cabang tertentu. Artinya memang ada cabang tertentu yang memerlukan kemampuan untuk berfikir secara cepat dan tepat, kemudian bertindak secara cepat untuk menganti-sipasi lawannya. Oleh karena itu kondisi kecerdasan ini dalam kaitannya dengan olahraga, agar tetap atau bertambah baik harus tetap memperoleh stimulasi atau rangsangan untuk berfungsi, dengan salah satu cara bahwa yang bersangkutan harus selalu dibiasakan untuk menggunakan kemampuan inteleknya. Seorang pemain yang terus menerus berlatih baik secara fisik maupun teknik, tetapi lupa atau tidak pernah memberi makanan intelek, akibatnya juga kegiatan yang bersifat intelektualistis menjadi tidak berkembang sesuai dengan yang sebenarnya ia miliki. Untuk itu setelah disadari dan dimengerti bahwa intelektualitas atau kecerdasan mempunyai peranan penting dalam olahraga (terutama untuk cabang tertentu), maka makanan intelek ini perlu diperhatikan antara lain dengan cara memberi kesempatan kepada mereka untuk bersekolah atau mengikuti kursus‑kursus tertentu. Jika mereka atau olaragawan yang bersangkutan sedang dalam pemusatan latihan, hendaknya tetap memperoleh kesempatan melatih proses bertikir, dengan cara latihan menganalisis jalannya suatu pertandingan, mengungkapkan pendapat yang dapat dilakukan dalam diskusi‑diskusi yang terarah. Dengan demikian peran seorang pelatih atau pembina olahraga akan semakin luas, karena tidak sekedar bertugas membentuk seseorang memiliki keterampilan dasar yang hebat, melainkan juga membentuk seseorang itu pandai menganalisis pola atau strategi permainan lawan, juga memanfaatkan kemampuan dirinya agar pada akhirnya dapat memenangkan permainan atau suatu pertandingan yang dilakukannya.

B. Bakat dalam olahraga.

Seperti halnya kecerdasan atau inteligensi, bahwa bakat juga merupakan salah satu faktor penting sebagai pendukung yang diperlukan dalam pencapaian prestasi olahraga. Untuk mencapai prestasi yang tinggi dalam olahraga, tampaknya tiada satupun cabang olahraga yang tidak memerlukan adanya bakat dari pelakunya. Artinya bahwa bakat adalah mutlak diperlukan. Demikian pentingnya peranan bakat dalam pencapaian prestasi olahraga, sehingga perlu diketahui lebih dahulu apa bakat itu.
Untuk menjelaskan tentang bakat, sebenarnya sama rumitnya dengan masalah kecerdasan atau intelegensi. Dengan memunculkan pertanyaan apa bakat itu ? justru akan banyak menimbulkan persoalan. Artinya bahwa sudah sejak lama para ahli mencoba menjelaskan dengan sudut pandangnya masing‑masing, namun hasilnya ternyata belum dapat memuaskan semua pihak. Namun demikian usaha selanjutnya untuk menjawab pertanyaan tersebut, akhirnya tetap muncul bermacam‑macam definisi atau batasan yang berbeda satu dengan lainnya. Untuk itu tidak semua batasan mengenai bakat akan dikemukakan, namun hanya salah satu di antaranya yang dipandang sesuai dengan kepentingan olahraga tentunya.


cerdas-bakat

Bakat adalah kemampuan untuk terbentuknya keahlian atau keberhasilan seseorang dalam mengerjakan sesuatu (Saparinah S. 1982). Dari sini tampak bahwa sebenarnya bakat adalah seperti halnya kecerdasan atau kecakapan, artinya masing‑masing adalah merupakan kemampuan atau potensi yang dimiliki oleh seseorang. Bakat adalah potensi atau kemampuan seseorang yang lebih khusus, sedangkan kecerdasan adalah kemampuan atau potensi yang lebih umum. Dengan kata lain bahwa orang yang dikatakan cerdas atau pandai atau cakap, biasanya memiliki kelebihan yang hampir menyeluruh, tetapi orang yang dikatakan berbakat biasanya terbatas dalam hal‑hal yang tertentu seperti berbakat dalam matematika atau berbakat menggambar atau berbakat olahraga dan sebagainya. Dengan demikian bakat dalam kaitannya dengan olahraga dapat disebut sebagai bakat olahraga, yang artinya adalah kemampuan atau potensi seseorang untuk berprestasi dalam kegiatan olahraga.


Orang yang dikatakan berbakat dalam olahraga, artinya dalam dirinya terdapat ciri‑ciri yang dapat dikembangkan menuju keberhasilan, yaitu prestasi yang tinggi dalam olahraga. Untuk itu ciri‑ciri yang terdapat di dalam diri seseorang atau individu perlu dikenali, agar diperoleh bahan baku atau bahan mentah yang dapat dikembangkan secara maksimal. Hal ini sering disebut dengan pemanduan bakat, yang tidak lain maksudnya adalah mengenali ciri‑ciri potensi seseorang atau mengidentifikasi ciri‑ciri kemampuan seseorang yang dapat dikembangkan dan lebih berkembang dari pada kemampuan lainnya, ke arah jenis olahraga tertentu yang sesuai dengan ciri‑ciri kemampuannya itu. Sebenarnya setiap cabang olahraga memerlukan berfungsinya lebih dari satu faktor bakat. Dengan kata lain bahwa sebenarnya bermacam‑macam faktor mungkin diperlukan dalam cabang olahraga tertentu. Misalnya dalam olahraga tinju, diperlukan berfungsinya faktor‑faktor kecepatan, kelincahan, kekuatan dan mungkin masih banyak lagi. Pada setiap individu sebenarnya terdapat semua faktor yang diperlukan untuk berbagai cabang olahraga, hanya saja tentu dengan perbandingan porsi, kombinasi, maupun intensitas yang berlainan. Untuk itu pada umumnya dalam mengidentifikasi tentang faktor‑faktor bakat, yang dilakukan adalah membuat urutan (ranking) mengenai faktor‑faktor bakat pada setiap individu.
Bertolak dari jalan fikiran seperti di atas, sehingga pada umumnya tes bakat disusun dengan prosedur sebagai berikut :
1.      Menganalisis kegiatan berolahraga, artinya melakukan analisis untuk menemukan faktor‑faktor apa saja yang diperlukan, agar seseorang dapat berhasil dalam kegiatan berolahraga secara umum.
2.      Dari hasil analisis itu kemudian dibuat suatu batasan pengertian (description) tentang faktor‑faktor itu.
3.      Dari batasan pengertian tentang faktor‑taktor itu, akan diketahui syarat apa saja yang harus dipenuhi, agar seseorang dapat lebih berhasil dalam cabang olahraga tertentu.
4.      Dari syarat‑syarat itu, untuk selanjutnya dijadikan landasan menyusun alat ukur (alat ukur bakat), yang biasanya alat ukur itu berujud/berbentuk dan disebut tes.
Mencermati prosedur mengenai pembuatan tes bakat yang masih bersifat umum ini, ternyata memang masih memerlukan penjelasan secara panjang lebar dan lebih mendalam, sehingga untuk menyusun tes bakat memang tidak mudah. Dengan demikian alat ukur atau tes bakat yang telah ada itupun belum dapat dikatakan memuaskan, karena memang tes bakat tidak akan mungkin memuat seluruh faktor yang disyaratkan. Untuk itu yang dapat dilakukan dalam membuat atau menyusun tes bakat adalah, berusaha membuat sedekat mungkin dengan syarat yang seharusnya dipenuhi, atau mengambil faktor‑faktor yang lebih dominan yang dapat ditampung di dalam rangkaian tes itu.
Sungguhpun membuat tes atau menyusun tes bakat adalah tidak mudah dan tidak setiap orang dapat membuatnya, namun dalam bidang olahraga faktor bakat tetap harus diperhatikan, jika diinginkan prestasi yang tinggi. Belum atau tidak dapat menyusun tes bakat, bukan berarti harus melupakan faktor bakat, karena setidaknya dapat digunakan tes bakat yang telah dibuat oleh para ahli atau orang lain, walaupun dirasa masih belum tepat benar. Hal ini seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa bakat adalah merupakan modal utama yang mutlak diperlukan dalam olahraga, karena memang bakat itulah yang akan dikembangkan melalui pembinaan dan latihan untuk mencapai prestasi setinggi‑tingginya.
Kadang‑kadang atau bahkan sering bahwa walaupun tes atau alat ukur itu ada, namun tidak mudah untuk dilaksanakan atau diterapkan, karena mungkin banyak persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya. Sungguhpun demikian sering pula orang mengatakan atau seorang guru yang mengatakan bahwa salah seorang muridnya sangat berbakat dalam cabang olahraga tertentu, walaupun ia tak pernah melakukan atau mengadakan tes bakat untuk murid‑muridnya. Hal ini hampir dapat dipastikan bahwa guru itu hanya menilai berdasarkan penglihatan secara visual, yang berarti walaupun masih sangat terbatas ia memiliki pengetahuan tentang faktor‑faktor bakat sesuai dengan cabang olahraga yang dimaksudkan. Seandainya ia tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang faktor‑faktor bakat itu, tidak akan mungkin ia dapat mengatakan semacam itu. Hal semacam itulah minimal yang harus dilakukan, seandainya memang tidak dapat melaksanakan tes bakat karena tidak terdapat peralatan yang sangat sederhana sekalipun, atau karena memang letak atau lokasi yang sangat terpencil dan jauh dari peralatan yang memadai. Dengan demikian dalam upaya mengembangkan dan membina potensi anak didik tidak secara sembarangan seluruh anak yang ada diperlakukan sama rata, yang akhirnya hanya membuang tenaga, waktu, fikiran secara sia‑sia, karena sebenarnya mereka tidak memiliki bakat sama sekali.

C. Minat dalam olahraga.

Di atas telah diuraikan bahwa betapa pentingnya peranan bakat maupun inteligensi (dalam cabang tertentu), demi mencapai prestasi yang setinggi‑tingginya. Sebenarnya bakat maupun inteligensi atau kecerdasan itu saja belum cukup menjamin untuk mencapai prestasi yang tinggi, karena ternyata masih banyak faktor lain yang juga ikut menunjang atau berpengaruh terhadap pencapaian prestasi atau keberhasilan tertentu, salah satu di antaranya adalah faktor minat.
Minat dapat diartikan sebagai kecenderungan untuk memilih dan atau melakukan sesuatu hal atau obyek tertentu, di antara sejumlah obyek yang tersedia. Dengan demikian seseorang yang mempunyai minat terhadap sesuatu obyek tertentu, artinya ia telah menentukan pilihannya terhadap obyek itu. Jika ia memilih salah satu obyek di antara sejumlah obyek, artinya ia telah mempertimbangkannya lebih dahulu. Mempertimbangkan dapat didasarkan atas banyak hal yakni karena senang, karena mendatangkan keuntungan, karena lebih mudah, karena mendatangkan popularitas atau karena mudah untuk dikerjakan atau dijalani, dan lain sebagainya. Mempertimbangkan sebelum menentukan pilihan dengan dasar yang bermacam‑macam itu, artinya ia telah menilai atau memberikan penilaian kepada masing‑masing obyek sesuai dengan kriteria atau dasar yang bermacam-macam tadi. Akhirnya ada salah satu obyek yang mendapatkan nilai tertinggi atau terbanyak, dan kemudian obyek itulah yang dipilih atau yang diminatinya.
milih-milihDengan demikian bahwa sebenarnya seseorang yang berminat terhadap sesuatu obyek tertentu, belum tentu ia menyenangi obyek itu. Pada umumnya memang berminat selalu dikaitkan dengan rasa senang, namun ternyata faktor senang hanya salah satu pertimbangan dari banyak pertimbangan. Dengan kata lain bahwa berminat belum tentu senang, dan menyenangi sesuatu juga belum tentu meminati sesuatu itu. Yang jelas bahwa melalui berbagai pertimbangannya, seseorang akan memberikan nilai kepada obyek tertentu lebih besar dari obyek lainnya, kemudian ia akan memutuskan pilihannya pada obyek yang mempunyai nilai lebih tinggi dari obyek lainnya, dan itulah yang menjadi minatnya. Untuk itu seseorang yang berminat terhadap sesuatu, tentu ia akan berusaha dengan segala kemampuannya untuk mencapai keberhasilan, walau kadang‑kadang ada juga yang justru menemui kegagalan. Hal ini sangat tergantung dari cara berfikir seseorang, dalam meletakkan dasar atau kriteria untuk menilai obyek yang dipilihnya itu. Artinya bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi dan berpengetahuan luas, tentu memiliki cara berfikir yang lebih cermat dalam mempertimbangkan sesuatu. Sebaliknya seorang yang berpendidikan rendah atau pengetahuan sempit, pada umumnya juga memiliki cara berfikir yang dangkal, sehingga dalam mempertimbangkan sesuatu juga kurang cermat, akibatnya apa yang sebelumnya dinilai baik untuk dirinya dan mampu dilakukannya ternyata menjadi sebaliknya. Untuk itu dalam olahraga selain bakat, minat juga perlu dikenali untuk menunjang keberhasilannya.
Seorang yang ingin berprestasi dalam cabang olahraga tertentu dan ia dihadapkan pada berbagai cabang olahraga, tentu ia harus menentukan minatnya selain harus sesuai dengan bakatnya dalam cabang tertentu. Artinya bahwa setelah ia berhadapan dengan ber-bagai cabang olahraga, ia tentu akan menilai masing‑masing cabang dengan berbagai pertimbangan. Pertimbangan pertama mungkin dari rasa senang, artinya bahwa sesuai dengan kesenangannya ia akan memilih cabang tenis misalnya. Namun setelah dipertimbangkan lagi, ternyata dalam cabang olahraga tenis ini telah banyak saingan yang berprestasi tinggi. Di samping itu ternyata bahwa dalam olahraga tenis diperlukan biaya yang tidak sedikit, untuk memenuhi alat dan perlengkapan maupun keperluan latihan lainnya. Sedangkan dalam cabang lainnya yaitu atletik dalam nomor lari misalnya, walaupun sebenarnya lebih senang pada cabang tenis tetapi tampaknya pada nomor lari lebih memberi kemungkinan berprestasi baginya. Artinya bahwa dalam nomor lari ini walaupun sebenarnya kurang disenangi, namun ia dapat melakukan latihan dengan baik, karena lintasan atau tempat latihan tidak memerlukan tempat khusus yang harus menyewa, di samping itu peralatan atau perlengkapan relatif lebih murah dan terjangkau. Dengan demikian akhirnya ia menentukan minatnya pada nomor lari itu, dengan pertimbangan bahwa dalam cabang tenis ia senang tetapi tak mampu sewa lapangan, beli bola, beli racket, dan lain sebagainya, hingga praktis tak bisa melakukan latihan. Tetapi dalam nomor lari, ia dapat berlatih dengan baik walau tanpa sepatu dan lintasan dalam stadion. Dengan kata lain bahwa dalam nomor lari itu, ia lebih memiliki kemungkinan untuk berprestasi, hingga akhirnya ia memilih cabang itu. Sebaliknya seandainya ia hanya menuruti rasa senang dan berlatih tenis, mungkin kegiatannya itu akan terhenti di tengah jalan karena tidak mampu mengeluarkan biaya yang relatif tinggi baginya.
Memperhatikan pada contoh kasus di atas, dapat dijelaskan bahwa seandainya orang yang senang olahraga tenis itu juga mampu membiayai dirinya untuk keperluan latihannya dengan baik, kemungkinan lebih besar ia akan dapat meraih prestasi lebih baik pada cabang tenis dari pada nomor lari. Dengan kata lain bahwa sebaiknya memang apa yang diminati juga disenangi, atau yang disenangi juga diminati, hal ini akan lebih mendukung tercapainya tujuan.

D. Emosi dalam olahraga.

Istilah emosi sering dikaitkan dengan hal‑hal ataupun dikonotasikan sebagai perilaku yang sifatnya negatif, baik dalam bentuk perilaku fisik maupun berupa kata‑kata atau kalimat ataupun dalam bentuk sikap. Artinya bahwa hanya tindakan atau kalimat (kata‑kata) atau sikap yang sifatnya negatif itu yang pada umumnya dikatakan sebagai perwujudan dari emosi seseorang. Namun sebenarnya bahwa emosi bukan hanya yang menyangkut hal‑hal negatif saja, melainkan juga menyangkut hal‑hal yang sifatnya positif dan menyenangkan. Emosi sebenarnya mencakup berbagai macam perasaan seperti susah, sedih, senang, gembira, kecewa, marah dan masih banyak lagi perasaan sebagai luapan emosional seseorang. Oleh karena itu perlu dimengerti lebih dahulu mengenai pengertian tentang emosi, agar tidak terjadi salah pengertian yang akan menyesatkan.
Sebenarnya bahwa emosi adalah merupakan gejala kejiwaan, yang muncul karena adanya persepsi seseorang terhadap sesuatu hal. Dengan demikian sebagai perwujudan atau sebagai ekspresi dari emosi dapat juga bermacam‑macam bentuk perilaku, seperti orang susah diekspresikan dalam bentuk menangis atau termenung, marah diekspresikan dengan berteriak atau menyerang orang lain dan semacamnya, senang diekspresikan dengan tertawa atau melonjak‑lonjak atau justru dengan menjerit, dan mungkin pula bahwa segala luapan emosional itu hanya diekspresikan dengan diam termenung saja. Dengan demikian sebenarnya bahwa selain bentuk luapan emosi itu bisa bermacam‑macam, juga bentuk ekspresinya pun bermacam-macam. Hal ini disebabkan karena berbagai macam faktor, baik itu faktor‑faktor yang mempengaruhi meluapnya emosi maupun faktor‑faktor yang mempengaruhi dalam mengekspresikannya. Dalam kejadian yang berbeda, mungkin akan memunculkan luapan emosional yang sama, dan bentuk ekspresinya bisa sama dan bisa berbeda pula. Sebaliknya bahwa bisa terjadi juga dalam kejadian yang sama, akan memunculkan emosi yang berbeda antara orang satu dengan lainnya. Jika terjadi emosi yang berbeda dan akibat yang ditimbulkan atau bentuk ekspresinya menjadi berbeda, maka perbedaan‑perbedaan itu disebabkan oleh karena persepsi mereka yang berbeda pula terhadap kejadian itu. Sedangkan persepsi orang satu dengan lainnya menjadi berbeda walaupun dalam kejadian atau kondisi atau situasi yang sama, disebabkan karena beberapa faktor antara lain luasnya pengetahuan, tingkat pendidikan maupun pengalamannya selama ia hidup. Bahkan di antara orang‑orang yang mempunyai tingkat pendidikan sama, dapat pula terjadi perbedaan persepsi mengenai hal yang sama, karena mereka memang hidup dalam lingkungan dan kebudayaan yang berbeda. Untuk itu perlu kiranya dimengerti lebih dahulu tentang persepsi, sebelum diuraikan lebih lanjut mengenai emosi.
Persepsi adalah mengandung unsur‑unsur mengamati, mencerna dalam fikiran sesuai dengan pengetahuannya dan menyimpulkan. Selanjutnya kesimpulan yang muncul ini, mung­kin yang sering disebut sebagai tanggapan. Dengan demikinn persepsi sering pula disebut sebagai tanggapan seseorang terhadap sesuatu. Jika dilihat kembali mengenai batasan tentang emosi, maka dapat juga dikatakan bahwa emosi adalah gejala kejiwaan yang muncul karena tanggapan seseorang terhadap sesuatu hal.
Beberapa orang yang menyaksikan terjadinya kecelakaan di jalan raya misalnya, tentu menimbulkan akibat yang berbeda‑beda bagi yang melihatnya, karena persepsi atau tanggapan mereka terhadap kejadian itu juga berbeda, sesuai dengan sudut pandang atau pikiran masing‑masing. Orang yang satu mempunyai tanggapan terhadap kejadian itu bahwa “biasanya memang pejalan kaki atau pemakai jalan kurang atau tidak tertib terhadap peraturan lalu lintas yang berlaku” sehingga emosi yang muncul juga tidak terlalu berat atau biasa saja tentang kejadian itu. Dengan demikian perwujudan atau ekspresi dari emosinya juga biasa‑biasa saja, mungkin setelah melihat korban kecelakaan itu, lalu pergi. Berbeda dengan orang lainnya, bahwa menanggapi kejadian itu dari sisi kemanusiaan. Setelah melihat korban kecelakaan yang luka parah, ia mempunyai tanggapan sesuai dengan pengetahuannya bahwa orang yang luka parah tentu merasakan sakit yang amat sangat, kalau dibiarkan tentu akan mati, sementara orang lain yang melihat hanya diam saja. Tanggapan atau persepsi itu kemudian memunculkan emosi dalam bentuk rasa kasihan, dan sebagai perwujudan rasa kasihan atau sebagai luapan atau ledakan emosinya, tanpa diminta ia segera membawa korban ke Rumah Sakit terdekat, sambil melelehkan air matanya. Sementara ia menggendong korban, orang lain terbengong atau heran karena korban yang digendong jauh lebih besar, tetapi mampu juga ia menggendong. Mengapa demikian ? Hal ini dimungkinkan karena luapan atau ledakan emosinya, sehingga muncul kekuatan atau kemampuan lebih besar dari biasanya. Hal ini memang sangat mungkin terjadi, mengingat sifat dan fungsi emosi adalah :
1.      Memperkaya dan mengisi arti kehidupan seseorang. Namun demikian jika emosi ini terlalu kuat atau terlalu besar, maka akan berakibat munculnya perilaku atau perbuatan yang tidak rasional, yang berarti mengakibatkan penganalisaan kurang cermat.
2.      Berperan penting bagi kehidupan sehat, ekspresi diri, kepemimpinan, maupun perkembangan nilai‑nilai.
3.      Dapat dirasakan tanpa diketahui tempatnya.
4.      Berpengaruh terhadap bekerjanya kelenjar‑kelenjar dalam tubuh, sehingga mempengaruhi pula cara berfikir, perilaku, tindakan, sikap, maupun pengambilan keputusan, juga kekuatan, yang keseluruhannya itu akan menunjukkan kepribadian seseorang.
Dengan demikian bahwa contoh kasus di atas lebih terkait dengan fungsi emosi pada nomor 4, yaitu bahwa emosi berpengaruh terhadap bekerjanya kelenjar dalam tubuh, hingga dapat memunculkan kekuatan yang lebih dari biasanya.
Memperhatikan pengertian mengenai emosi seperti diuraikan di atas, sebenarnya bahwa emosi yang muncul pada seseorang tidak selalu mengakibatkan hal‑hal yang negatif. Luapan atau ledakan emosional dapat berbentuk senang, sedih, kecewa, marah, takut, cemas, kasihan, dan perasaan lainnya. Dengan demikian sebagai akibatnya atau sebagai ekspresinya dapat bermacam‑macam pula seperti tertawa atau melonjak dan sejenisnya, menangis atau duduk termenung dan sejenisnya, mengumpat atau bertindak kasar dan sejenisnya, menggigil dan gagap berbicara atau sejenisnya, dan lain sebagainya, sesuai dengan rangsang yang masuk maupun tingkat pendidikan, pengetahuan dan pengalaman yang bersangkutan.

Kaitannya dengan pengalaman hidup seseorang, tidak jarang justru perilaku manusia atau seseorang lebih banyak dipengaruhi oleh emosi dari pada akal sehat atau rasionya, sehingga mengakibatkan tindakannya tidak terkontrol atau tidak cermat dalam mengambil keputusan atau berfikir, karena memang akal sehat atau rasionya sudah tertutup oleh emosinya. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa emosi seseorang sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya, sehingga ada orang yang dikatakan telah memiliki kestabilan emosi, tetapi ada pula yang dikatakan belum memiliki kestabilan emosi. Orang yang telah banyak memiliki pengalaman hidup, berarti ia telah banyak menemui kasus‑kasus yang beraneka ragam. Kasus‑kasus itu sebenarnya merupakan rangsang bagi munculnya emosi seseorang, dengan segala perwujudannya. Dari banyaknya rangsang yang masuk dan bermacam‑macam, tentu akan memunculkan emosi yang bermacam‑macam pula. Untuk itu berarti bermacam‑macam pula tindakan yang pernah dilakukan sebagai akibat dari emosinya, dan ini merupakan pengalaman baginya. Dari pengalamannya itu, berangsur‑angsur ia akan dapat mengendalikan emosinya, dalam arti bahwa ternyata tindakan yang pernah dilakukan sebagai luapan emosinya itu, merugikan dirinya atau bahkan merugikan orang banyak. Seseorang yang telah memiliki kestabilan emosi, berarti ia tidak mudah atau tidak cepat terganggu oleh rangsang‑rangsang yang masuk, sehingga kalau ia mengalami perasaan marah misalnya, ia akan dapat mengekspresikannya dengan wajar hingga tidak terlalu mengganggu efektivitas kerja kelenjar dalam tubuh secara berlebihan.
Demikian pula yang terjadi dalam kegiatan berolahraga. Artinya bahwa jika emosi mempengaruhi perilaku manusia, sedangkan kegiatan olahraga adalah merupakan salah satu bentuk perilaku manusia, maka artinya emosi iuga berpengaruh terhadap kegiatan olahraga. Terutama emosi dalam bentuk rasa cemas atau kecemasan, adalah besar pengaruhnya terhadap penampilan olahraga yang berarti berpengaruh pula terhadap pencapaian prestasinya. Pengendalian emosi pada saat bermain atau berlomba atau bertanding, sering kali menjadi faktor penentu dalam mencapai keberhasilan atau kemenangan. Kecemasan adalah merupakan salah satu bentuk emosi, yaitu merupakan perasaan khawatir yang pada tahap lebih berat akan sampai pada keadaan takut atau ketakutan. Sesuai dengan salah satu fungsi emosi adalah dapat mempengaruhi bekerjanya kelenjar dalam tubuh, maka perasaan cemas juga merupakan faktor penggerak yang dapat mengakibatkan munculnya kekuatan yang besar bagi seseorang. Namun demikian jika gejala emosional semacam itu muncul dalam kadar atau ukuran yang sangat besar atau terlalu besar, akibatnya justru akan menimbulkan over stimulus yang justru dapat merugikan.
Berkaitan dengan gejala emosional yang disebut cemas, sebenarnya tidak seorangpun yang terlepas dari rasa cemas. Semua orang tentu memiliki rasa cemas, hanya saja dalam kadar atau ukuran atau derajat tertentu yang berbeda‑beda. Kecemasan dalam kadar tertentu memang dapat menyebabkan orang menjadi putus asa dan tidak berdaya, tetapi sebaliknya luapan emosional dalam kadar tertentu pula justru bermanfaat. Karena derajat kecemasan sebagai ujud emosional adalah berbeda antara orang yang satu dengan lainnya, maka dalam kaitannya memanfaatkan emosi dalam kegiatan olahraga, pembina atau pelatih atau guru olahraga perlu mencari cara‑cara yang sesuai bagi setiap orang untuk mengatasi atau mengendalikan gejolak emosinya. Dengan emosi yang terkendali diharapkan akan dapat lebih merangsang bekerjanya kelenjar dalam tubuh, sehingga dapat memunculkan tenaga yang lebih besar, tetapi masih dalam pengendalian atau penguasaan akal sehat atau rasionya.
Start
E. Konsentrasi dalam olahraga.

Faktor lain yang tak kalah pentingnya dalam kaitannya dengan pencapaian keberhasilan dalam olahraga, adalah faktor konsentrasi. Namun sebelumnya perlu dimengerti lebih dahulu, mengenai istilah konsentrasi ini walaupun istilah itu telah sering kita dengar dan diucapkan.
Konsentrasi yang dalam bahasa asing (Inggris) ditulis dengan concentration, adalah berarti "pemusatan". Namun demikian pada umumnya istilah konsentrasi, diartikan sebagai pemusatan pemikiran dan perhatian. Hal ini memang tidak salah walau sebenarnya kurang lengkap, sebab konsentrasi hanya berarti "pemusatan", sedang pada umumnya terutama dalam olahraga istilah konsentrasi memang dimaksudkan sebagai pemusatan dalam hal pemikiran dan perhatian terhadap apa yang akan dilakukan, hingga akhirnya konsentrasi diartikan sebagai pemusatan pemikiran dan perhatian terhadap sesuatu yang akan dilaksanakan atau diusahakan. Untuk itu konsentrasi dalam kaitannya dengan olahraga, sebenarnya memang merupakan faktor yang sangat diperlukan untuk mencapai tujuan keberhasilan. Konsentrasi seperti yang dimaksud di atas, sebenarnya mengandung unsur pokok yaitu "perhatian". Sedangkan "perhatian" sesuai dengan penggunaannya, dapat diartikan sebagai pemusatan tenaga psikis yang tertuju kepada suatu obyek, dan dapat pula diartikan sebagai banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai suatu aktivitas yang dilakukan. Dengan demikian tampaknya memang banyak sedikitnya perhatian inilah yang pada umumnya didisebut sebagai konsentrasi. Jika demikian, maka sebenarnya sesuai dengan kepentingan olahraga konsentrasi dapat digolongkan sesuai dengan intensitas dan luasnya obyek.
Sesuai dengan intensitas konsentrasi atau banyak sedikitnya kesadaran yang tertuju atau menyertai suatu aktivitas atau usaha tertentu, konsentrasi dapat dibedakan menjadi : konsentrasi intensif, dan konsentrasi kurang atau tidak intensif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, semakin banyak kesadaran yang menyertai suatu aktivitas atau usaha, berarti semakin intensif konsentrasinya. Oleh karena itu sebenarnya tidak mungkin bahwa melakukan dua aktivitas secara bersamaan, dengan konsentrasi yang sama intensifnya. De-ngan kata lain bahwa konsentrasi yang terpecah kepada lebih dari satu aktivitas, menjadi kurang atau tidak intensif. Sedangkan keberhasilan suatu usaha, diperlukan konsentrasi yang intensif. Sehingga dapat dikatakan bahwa konsentrasi yang kurang atau tidak intensif jelas akan mengurangi keberhasilan usahanya.
Sesuai dengan luasnya obyek yang memerlukan perhatian, konsentrasi dapat dibedakan menjadi : konsentrasi distributif dan konsentrasi konsentratif. Adapun konsentrasi yang distributif maksudnya adalah, konsentrasi yang terpencar atau terpecah kepada bermacam‑macam obyek. Konsentrasi semacam ini seperti terdapat pada seseorang yang sedang bermain atau bertanding sepak bola misalnya, artinya bahwa selain ia harus berkonsentrasi terhadap bola yang sedang dibawa, ia juga berkonsentrasi terhadap posisi teman‑temannya, selain juga terhadap lawannya sebagai halangan yang perlu diantisipasi. Sedangkan konsentratif maksudnya adalah, bahwa konsentrasi itu hanya terpusat kepada satu obyek atau kepada obyek yang sangat terbatas. Konsentrasi semacam ini seperti terdapat pada seseorang yang sedang dalam keadaan siap, menunggu aba‑aba start (bunyi pistol start) dalam perlombaan lari misalnya.
Seperti telah diuraikan di atas, hahwa konsentrasi adalah merupakan pemusatan perhatian terhadap suatu usaha tertentu. Dengan demikian terganggunya perhatian, berarti merupakan gangguan pula terhadap konsentrasi. Sedangkan perhatian dilihat dari cara pemunculannya, dapat dibedakan menjadi : perhatian yang spontan, dan perhatian yang disengaja. Artinya bahwa perhatian yang spontan adalah perhatian yang datangnya mendadak dan tidak disengaja atau tidak terduga, sedangkan perhatian yang disengaja adalah memang sudah diusahakan atau dikehendaki. Dengan demikian sebenarnya perhatian jenis pertama atau perhatian yang spontan, adalah yang sering menimbulkan gangguan dalam pertandingan atau perlombaan olahraga, sebab perhatian itu datangnya secara mendadak atau secara tiba‑tiba, yang sudah barang tentu sebenarnya tidak dikehendaki karena memang tidak dipersiapkan sebelumnya. Dengan datangnya perhatian yang mendadak, biasanya akan menggeser perhatian yang telah dipersiapkan atau disengaja, sehingga perhatian yang datangnya mendadak itu berarti akan mengganggu konsentrasi seseorang.
Di dalam kegiatan olahraga, khususnya dalam situasi bertanding atau berlomba, konsentrasi adalah merupakan faktor penunjang yang besar pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan, di samping kemampuan atau keterampilan dalam cabang olahraga itu sendiri tentunya. Dengan kata lain bahwa semakin besar perhatian (konsentrasi) tertuju kepada usaha yang akan atau sedang dilakukan, semakin besar pula kemungkinan memperoleh keberhasilan dari usahanya itu. Sebaliknya semakin banyak perhatian spontan atau mendadak itu muncul, berarti semakin besar pula gangguan konsentrasi itu terjadi, dan akibatnya semakin kecil pula kemungkinan memperoleh keberhasilan dalam usahanya.
Gangguan konsentrasi secara umum terjadi dari: lingkungan keluarga, kerja atau sekolah, dan dari lingkungan olahraga sendiri.
1. Lingkungan keluarga.
Segala hal yang terjadi di dalam keluarga, terutama yang bersifat negatif seperti problem keuangan, anggota keluarga sakit, pertengkaran dalam keluarga, dan lain‑lainnya yang sejenis, tentu akan mengganggu fikirannya. Fikiran yang terganggu, berarti pula memecah perhatian sewaktu seseorang berada di lapangan untuk bertanding. Walaupun sebenarnya permasalahan itu telah mengganggu jauh sebelum berada di lapangan pertandingan, tetapi pada saat di lapangan sebenarnya ia tidak menghendaki perhatiannya terpecah dengan persoalan rumah tangga. Namun demikian secara tidak diduga atau tidak disengaja, secara mendadak persoalan keluarga itu muncul kembali, dan ini berarti akan memecah perhatiannya yang berarti pula mengganggu konsentrasinya. Dengan terganggunya konsentrasi saat bertanding atau berlomba, akan berakibat buruk terhadap dirinya atau prestasinya.
2. Lingkungan kerja atau sekolah.
Seperti halnya lingkungan keluarga, bahwa bagi yang masih sekolah atau yang sudah bekerja atau yang sudah tidak sekolah dan belum bekerja, tentu mempunyai persoalan tertentu dengan lingkungan kelompoknya. Pada saat atau menjelang bertanding, kebetulan bersamaan waktunya dengan ujian di sekolah misalnya. Hal ini juga dapat memecah perhatian yang berarti akan mengganggu konsentrasi. Demikian pula dengan persoalan kantor seperti harus segera menyelesaikan pembukuan tutup tahun misalnya, sedangkan saat itu bersamaan dengan dimulainya pemusatan latihan atau justru bersamaan dengan pelaksanaan pertandingan. Seandainya ia tetap melakukan pertandingan atau tetap mengikuti pemusatan latihan, tentu perhatiannya akan terpecah dengan persoalan pembukuan yang belum terselesaikan, sehingga ini merupakan gangguan konsentrasi saat melakukan latihan maupun dalam pertandingan. Adapun bagi atlit yang masih pengangguran, artinya ia telah lulus sekolah tetapi belum mendapatkan pekerjaan misalnya, ini justru lebih banyak mendapatkan gangguan konsentrasi, walaupun tidak seluruhnya demikian. Pada umumnya seseorang yang menganggur, justru memiliki lingkungan pergaulan bermacam‑macam. Dengan demikian kemungkinan munculnya persoalan yang dapat mengganggu perhatiannya juga relatif lebih banyak.

3. Lingkungan olahraga.

Seperti halnya lingkungan yang lain, di dalam lingkungan olahraga sendiri juga sering timbul persoalan yang dapat mengganggu konsentrasi bagi atlet. Ada beberapa hal yang sering menimbulkan gangguan konsentrasi, pada saat atlet sedang dalam program latihan maupun pada saat bertanding di lapangan. Beberapa di antaranya adalah : faktor penonton, faktor petugas termasuk di dalamnya adalah wasit, pembantu wasit dan yang lainnya, faktor lawan, faktor alat, perlengkapan, fasilitas, cuaca, dan lain sebagainya.
Ada jenis penonton yang justru menumbuhkan semangat, seperti penonton yang berpihak padanya atau sebagai supporters bagi teamnya. Tetapi ada jenis penonton yang dapat memecah perhatian pemain setiap saat, hingga dapat mengganggu konsetrasinya, ter-utama penonton yang senang akan sensasi atau penonton yang datang hanya ingin membuat keributan. Demikian juga dengan petugas, seperti wasit yang tidak menguasai benar tentang peraturan, tentu akan banyak membuat kesalahan dalam bertindak, sehingga hal ini akan mengganggu konsentrasi pemain, terutama tindakan petugas yang berat sebelah. Faktor lawan yang bermain tidak semestinya, misalnya bermain terlalu kasar, bahkan menjurus ke arah tindakan yang membahayakan, tentu juga akan mempengaruhi konsentrasi pemain. Demikian pula dengan alat‑alat, perlengkapan, fasilitas maupun cuaca yang tidak biasanya dialami, tentu akan membuat konsentrasi pemain menjadi terpencar atau terpecah. Selain mereka berkonsentrasi terhadap permaianannya, juga harus memikirkan sesuatu yang lain, yang belum pernah di alami sehingga perlu penyesuaian pada saat itu pula.
Gangguan‑gangguan yang sifatnya spontan seperti di atas, tidak dapat diabaikan dan perlu persiapan sebelumnya. Artinya bahwa pemain maupun pelatih memang harus bersiap diri menghadapi gangguan itu.

F. Frustrasi dalam olahraga.

Dalam olahraga, munculnya perasaan frustrasi pada umumnya setelah mengalami kegagalan dan sulit mencari jalan ke luar untuk mengatasi kegagalannya itu. Sehingga frustrasi sebenarnya semacam perasaan bingung atau kebingungan, setelah mencoba mengatasi kegagalannya yang berulang‑ulang, dan tidak dapat menemukan jalan ke luarnya. Seorang pemain tenis yang selalu gagal menerima service dari lawannya, walaupun ia telah berusaha dengan berbagai cara, akhirnya ia menderita frustrasi. Artinya ia menderita kebingungan setelah usahanya selalu gagal, dan akhirnya merasa putus asa. Dari perasaan putus asa, pada umumnya menimbulkan akibat yang bermacam‑macam seperti membanting racket, mengumpat dengan kata‑kata kasar, dan lain sebagainya. Biasanya orang mengatakan bahwa pemain itu mengalami frustrasi, karena melihat akibat yang muncul itu. Hal seperti ini adalah merupakan frustrasi yang sifatnya temporer (sesaat), yang dapat segera hilang tetapi juga dapat berkepanjangan. Frustrasi yang sifatnya temporer dapat segera hilang, sewaktu terjadi perubahan situasi. Seperti misalnya yang terjadi pada contoh di atas, setelah beberapa game berlalu dan kondisi mulai menurun, ternyata service yang mematikan dan selalu gagal diantisipasi itu akhirnya melemah dan dapat diatasi. Sewaktu seseorang mulai dapat mengatasi kesulitannya itu, perasaan frustrasi berangsur‑angsur berkurang dan akhirnya akan hilang. Sedangkan dalam pengertian umum, yang dimaksud frustrasi biasanya adalah perasaan gagal untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, yang sifatnya berkepanjangan. Dengan kata lain bahwa frustrasi adalah perasaan yang muncul karena tidak tercapainya suatu pemuasan kebutuhan, karena adanya rintangan yang menghalangi dan sulit diatasi hingga benar‑banar tidak teratasi.
Setiap orang tentu ingin memenuhi kebutuhannya dan ingin memperoleh kepuasan, ingin mencapai tujuan dan harapannya, ingin berprestasi di dalam olahraga yang ditekuninya dan ingin menang dalam pertandingan. Hal‑hal semacam ini akan dapat menimbulkan frustrasi, apabila menemui kegagalan. Sebenarnya frustrasi bukan hanya disebabkan karena kegagalan belaka, tetapi justru lebih banyak disebabkan dari dalam diri individu itu sendiri. Telah banyak orang menemui kegagalan atau banyak pula orang yang kalah dalam pertandingan, yang berarti mereka tidak bisa mencapai keinginannya, tetapi mereka tidak frustrasi. Sehingga sebenarnya frustrasi dapat terjadi bukan hanya kegagalannya itu, tetapi lebih banyak ditentukan sifat‑sifat individu dan pengalaman hidupnya. Dengan demikian rintangan yang menyebabkan timbulnya kegagalan selain datang dari luar individu, juga karena faktor dari dalam individu sendiri, yang keduanya akhirnya merupakan sumber frustrasi.
Faktor dari luar individu bisa berujud lawan yang memang sangat tangguh, alat dan perlengkapan, maupun petugas lapangan, dan lain sebagainya yang di anggapnya merupakan halangan atau rintangan bagi tercapainya keberhasilan. Lawan yang sangat tangguh atau memang di atas dari kemampuan dirinya, jelas merupakan rintangan utama bagi pencapaian keberhasilan, sebab memang mereka saling menghalangi dan saling merintangi agar dirinyalah yang memperoleh keberhasilan.
Demikian pula dengan alat dan perlengkapan yang kurang memadai atau bukan yang seperti biasanya dipakai, akan merupakan rintangan dan mungkin menimbulkan kegagalan. Petugas juga sering dianggapnya sebagai rintangan bagi tercapainya keberhasilan, sebab ada kalanya petugas lapangan yang bertindak berat sebelah atau kurang mampu melaksanakan tugasnya, hingga merugikan pihak tertentu yang akhirnya dapat merupakan rintangan untuk memperoleh keberhasilan, dan hal ini dapat pula sebagai sumber frustrasi.
Faktor rintangan dari dalam individu, lebih bersumber pada bagaimana pengalaman atau cara berfikir seseorang, dalam menanggapi rintangan dari luar itu. Seseorang yang tidak mau dan tidak mampu melihat kemampuan dirinya (introspeksi), pada umumnya lebih besar mendapatkan kemungkinan frustrasi dalam setiap kegagalannya. Oleh karena itu sebenarnya pengalaman yang bervariasi sangat diperlukan bagi seseorang, agar dapat dan mau melihat setiap kenyataan yang terjadi, hingga setiap kegagalan yang dialami saat itu tidak dianggap sebagai kegagalan untuk seterusnya, dan hal ini berarti sudah mengurangi adanya sumber frustrasi itu.
Akibat dari frustrasi dapat bermacam‑macam, yang pada umumnya bersifat negatip seperti munculnya agresivitas atau justru patah semangat. Oleh karena itu sedapat mungkin frustrasi harus dihindari, dengan persiapan‑persiapan jauh sebelum puncak kegiatan (pertandingan) dilaksanakan. Untuk itu seharusnya setiap program latihan juga dipersiapkan untuk memberikan pengalaman menghadapi setiap kemungkinan yang terjadi, termasuk kemungkinan gagal dalam pertandingan.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa gejala emosional dapat muncul dengan berbagai istilah dan memang banyak jenisnya seperti stress, ketegangan, cemas dan juga frustrasi dan lain sebagainya. Kadang‑kadang antara istilah satu dengan lainnya sulit dicari perbedaannya, karena memang perbedaan yang sangat tipis dan penggunaan pada situasi dan kondisi yang berbeda, sehingga muncul istilah yang berlainan. Selain itu memang ada beberapa istilah yang tampaknya mempunyai pengertian sama, tetapi sebenarnya merupakan urutan atau tingkatan munculnya gejala emosional. Sedangkan urutan munculnya gejala emosional inipun sebenarnya sulit ditentukan dari mana mulainya, seperti misalnya munculnya stress, ketegangan, cemas, frustrasi. Dapat juga dikatakan bahwa mula‑mula orang merasa gagal dalam suatu hal, sehingga ia merasa tertekan dan terancam harga dirinya. Dengan perasaan tertekan (stress) akan mengakibatkan keadaan kejiwannnya menjadi terganggu keseimbangannya, sehingga ia berusaha memperoleh keseimbangannya kembali dengan cara mengatasi kegagalannya itu. jika ia tidak berhasil mengatasinya, ia akan merasa cemas karena dirinya benar‑benar terancam dengan kegagalannya itu. Selanjutnya cemas yang berkepanjangan, akan menimbulkan frustrasi yang akibatnya dapat memunculkan perilaku agresif, yang bentuknya bermacam‑macam.
Namun demikian urutan seperti di atas, ternyata tidak selalu terjadi demikian. Ada kalanya urutan itu menjadi terbalik atau dengan urutan yang lain, seperti misalnya seseorang yang melakukan tindakan agresif, baru kemudian ia merasa tegang dan cemas karena melihat akibat perbuatannya itu, mungkin akan berakibat panjang. Dengan demikian pemunculan gejala emosional banyak dipengaruhi oleh faktor individunya sendiri, yaitu bagaimana ia menghadapi suatu persoalan. Hal ini tentu erat kaitannya dengan pengalaman dan cara berfikir seseorang, tingkat pendidikan maupun lingkungannya.

G. Motivasi dalam olahraga.

motivasiMotivasi yang pada umumnya diartikan sebagai suatu dorongan, sebenarnya adalah merupakan proses. Motivasi adalah merupakan seluruh proses dari adanya kebutuhan, yang menimbulkan dorongan untuk dilakukannya perilaku tertentu, demi memenuhi kebutuhan yaitu tercapainya tujuan. Jika motivasi merupakan proses, maka sebenarnya yang menjadi sumbernya adalah yang disebut motif. Perbuatan atau perilaku seseorang selain ditentukan oleh faktor‑faktor dari luar, juga ditentukan oleh faktor dari dalam individu sendiri. faktor dari dalam yang dimaksud adalah kekuatan yang ada dalam diri seseorang, yang disebut motif.
Motif adalah merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin yaitu movere, yang artinya adalah menggerakkan atau mendorong untuk bergerak. Dengan demikian motif dapat diartikan sebagai penggerak atau pendorong bagi manusia ke arah tujuan tertentu. Selanjutnya setelah motif itu menjadi aktif, kemudian menjadi apa yang disebut motivasi.
Manusia sebagai individu maupun makhluk sosial, memiliki dua motif sesuai dengan kebutuhannya sebagai manusia, yaitu motif dari dalam dan motif dari luar. Karena sumber penggerak atau pendorong (motif) dapat dari dalam dan dari luar, maka sebagai prosesnya yaitu motivasi juga ada dua macam yaitu motivasi dalam (instrinksik) dan motivasi luar (ekstrinksik).
1. Motivasi dalam.
Yang dimaksud motivasi dalam adalah, munculnya motivasi yang didasari oleh motif dari dalam diri individu, yang antara lain meliputui motif biologis, yaitu yang menyangkut atau berkaitan dengan keperluan dan kebutuhan untuk mempertahankan hidup, atau yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia seperti makan dan minum misalnya. Kebutuhan makan dan minum ini merupakan motif, yang apabila seseorang merasa lapar kemudian kebutuhan makan (motif) ini menjadi aktif. Selanjutnya kebutuhan makan ini merupakan motivasi baginya untuk bergerak mengambil piring, buka almari, ambil nasi dan makan; atau dapat pula berujud prilaku ambil uang, ambil sepeda, pergi ke warung, beli nasi dan makan. Dengan kata lain bahwa karena lapar (berarti ia memiliki motif untuk makan), sehingga ia memiliki motivasi untuk segera ambil piring, buka almari, dan ambil nasi.
Demikian pula di dalam dunia olahraga, bahwa motivasi itu dapat disebabkan dari dalam diri individu sendiri. Seperti misalnya keinginan seseorang untuk mencapai prestasi yang setinggi‑tingginya, berarti di dalam dirinya telah dimiliki motif berprestasi yang akan mendorong dirinya untuk berlatih keras, demi mencapai keinginannya itu. Dengan kata lain bahwa karena ia memiliki motif berprestasi, sehingga ia memiliki motivasi untuk berlatih keras demi tercapainya tujuan. Motif‑motif sebagai sumber motivasi yang berasal dari dalam ada bermacam‑macam seperti prestasi, harga diri, dan lainnya yang semacam. Seseorang yang memiliki motif berprestasi, ia akan berlatih keras semata‑mata memang hanya ingin mencapai prestasi yang tinggi sebagai kepuasan hatinya. Seseorang yang me-miliki motif harga diri, ia akan berlatih keras untuk mencapai prestasi tinggi demi harga dirinya. Sehingga kepuasannya bukan terletak pada prestasi yang tinggi semata, tetapi dari prestasi yang tinggi ia berharap disanjung oleh orang banyak, dan sanjungan itu yang lebih menjadi kepuasannya. Apapun motifnya, Jika motif itu muncul dari dalam dirinya sendiri, maka motivasi untuk berlatih pada umumnya akan lebih ajeg, stabil, konsisten, dan bertahan relatif lama.
2. Motivasi  Luar.
Yang dimaksud motivasi luar adalah, motivasi yang didasari oleh motif dari luar atau yang disebut sebagai motif sosial, yaitu yang menyangkut atau yang berhubungan dengan kebutuhan sosial seperti karena hadiah yang dijanjikan, dan ini bisa berupa uang, pe-kerjaan, atau hadiah sejenis lainnya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, seseorang memiliki motivasi berlatih dengan keras karena ia memiliki motif mendapatkan hadiah uang atau pekerjaan atau hadiah lainnya. Sehingga motivasi luar ini, pada umumnya ber-sifat labil atau tidak ajeg atau tidak menetap, karena setelah tidak ada hadiah, motivasi berlatih menjadi kendor atau menurun. Tetapi demikian hadiah itu dimunculkan kembali, maka motlvasi untuk berlatih juga muncul kembali. Dengan kata lain bahwa jika motif itu kuat (ingin mendapatkan hadiah), maka motivasi berlatih menjadi kuat. Tetapi jika motif menurun atau hilang (tidak ada hadiah), maka motivasi berlatih juga menurun atau hilang, karena ia kehilangan sumber dorongan (motif).
Dari dua jenis motivasi di atas menunjukkan bahwa sebenarnya motivasi dalam, adalah yang lebih diutamakan untuk selalu dibangkitkan, dengan maksud agar semangat berlatih tetap konsisten (ajeg). Hal ini cenderung lebih ditujukan untuk mereka yang melakukan olahraga, karena menghadapi atau dipersiapkan untuk pertandingan (olahraga prestasi). Sedangkan di luar olahraga prestasi, sebenarnya banyak Jenis motivasi berolahraga. Motivasi berolahraga bagi seseorang baik anak‑anak, remaja maupun orang tua, yang tidak dipersiapkan untuk suatu pertandingan ada bermacam‑macam seperti misalnya hanya untuk bersenang‑senang, melepaskan ketegangan psikis, mencari teman atau sebagai sarana pergaulan, untuk kebanggaan, maupun untuk menjaga kesehatan tubuh. Motivasi seperti ini dapat saja berkembang, artinya bahwa yang semula tidak ada niat untuk bertanding akhirnya meningkat motivasinya untuk berprestasi, dan mengikuti pertandingan‑pertandingan.
Apapun motifnya hingga seseorang memiliki motivasi untuk melakukan latihan olahraga, sebaiknya harus berasal dari dalam dirinya sendiri. Dengan demikian yang penting dalam membangkitkan motivasi seseorang dalam kegiatan berolahraga, baik yang dipersiapkan untuk suatu pertandingan maupun dengan tujuan lain adalah, menanamkan pengertian yang berkaitan dengan cabang yang ditekuninya atau kegiatan olahraga yang dilakukannya. Dengan demikian akhirnya diharapkan bahwa mereka akan dapat menentukan atau menetapkan sendiri tentang target yang sebenarnya ingin dicapai, sehingga sebagai konsekuensi dari targetnya itu, ia akan memiliki kesadaran sepenuhnya bahwa ia harus melakukan latihan secara benar dan teratur. Artinya bahwa setelah mereka mengerti benar tentang hal‑hal yang memang harus dilakukan untuk meraih cita‑citanya, mereka akan melakukan latihan secara benar sesuai petunjuk pelatih dengan penuh kesadaran, dan bukan dirasakan sebagai kegiatan yang menyiksa. Pada umumnya seseorang yang kurang mengerti benar tentang maksud maupun seluk-beluk kegiatan latihan, akan merasakan kegiatan latihan itu sebagai siksaan atau terlalu berat, sehingga hal ini dapat mengendorkan semangat berlatih. Demikian pula dengan kegiatan olahraga yang dilakukan karena hanya ikut‑ikutan yang katanya untuk meningkatkan derajat kesehatan mereka, tanpa ia tahu bagaimana proses atau pengaruh kegiatan fisik terhadap organ tubuh yang sebenarnya, ia akan berhenti berlatih selagi tidak ada teman seperti biasanya. Lain halnya dengan mereka yang telah tahu benar tentang pengaruh kegiatan fisik terhadap kerja organ‑organ dalam tubuh, ia melakukan latihan olahraga adalah sudah merasa sebagai kebutuhan, hingga tanpa teman pun tetap akan berlatih secara teratur. Dengan kata lain bahwa untuk membangkitkan motivasi, kesadaran akan tujuan harus ditanamkan.

H. Agresivitas dalam olahraga.

Agresivitas adalah merupakan sifat seseorang (individu), yang selanjutnya setelah berbentuk perilaku disebut perilaku agresif. Pada umumnya perilaku agresif adalah berbentuk tindakan yang menyerang, dan dapat berujud bermacam‑macam seperti memukul, menendang, mengumpat dengan kata‑kata kasar kepada orang tertentu dan lain sebagainya, yang sifatnya adalah menyerang orang lain. Di dalam cabang‑cabang olahraga tertentu, tindakan agresif sangat diperlukan walaupun dalam batas‑batas tertentu sesuai dengan aturan yang ada.
Secara umum agresivitas biasanya muncul karena frustrasi, dan frustrasi muncul bermula dari keadaan cemas, sedangkan cemas muncul karena ketegangan (stress) atau tekanan‑tekanan yang tidak teratasi. Dengan kata lain bahwa seseorang yang mendapat tekanan, tentu berusaha untuk keluar dari tekanan itu. Setelah berusaha berkali‑kali selalu mengalami kegagalan, kemudian merasa cemas sehingga keseimbangan jiwanya mulai terganggu. Keadaan ini jika berlangsung terus, dapat memunculkan frustrasi dan biasanya frustrasi inilah yang mendorong tindakan atau perilaku agresif. Hal ini menunjukkan bahwa tampaknya tindakan agresif adalah merupakan tingkah laku yang bertujuan melukai atau mencelakai orang lain. Namun dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah dikaitkan dengan olahraga tertentu, ternyata tindakan agresif tidak selalu dilandasi dengan keinginan melukai atau mencelakakan orang lain, dan juga tidak selalu muncul karena frustrasi.
Di dalam olahraga dikenal adanya dua jenis tindakan agresif, yaitu tindakan agresif karena frustrasi dan tindakan agresif bukan karena frustrasi. Tindakan agresif karena frustrasi, biasanya tindakan yang dilakukan disertai dengan rasa marah dan ingin mencelakai atau melukai orang lain, yang biasanya juga disebut dengan "hostile aggresion". Seorang pemain sepak bola yang frustrasi karena tak pernah dapat merebut bola atau tak pernah dapat memasukkan bola ke gawang lawan, akhirnya ia berusaha menyerang kaki lawannya, dengan tujuan mencederai lawan yang selalu membuatnya gagal itu. Sedangkan tindakan agresif yang bukan karena fruntrasi (instrumental aggresion), ada bermacam‑macam seperti beberapa di antaranya adalah tindakan agresif karena meniru, tindakan agresif karena perintah dan tindakan agresif karena pengaruh kelompok.

1. Tindakan agresif instrumental.
Seperti dalam cabang olahraga sepak bola atau tenis atau juga bulu tangkis misalnya, diperlukan adanya tindakan yang agresif demi mencapai kemenangan. Tindakan yang sifatnya agresif (menyerang) dan bertujuan hanya untuk memenangkan pertandingan, adalah yang dimaksud sebagai tindakan agresif instrumental. Dengan demikian tindakan agresif yang dilakukan, bukan atas dasar marah atau frustrasi, tetapi didasarkan atas tujuan memenangkan pertandingan yang berarti juga masih dapat atau mampu memperhatikan dan mematuhi aturan‑aturan yang ada.

2. Tindakan agresif karena meniru.
Yang dimaksudkan tindakan agresif ini adalah, seseorang melakukan tindakan agresif bukan karena frustrasi dan juga bukan karena marah, melainkan meniru tindakan para tokoh olahraga yang dikaguminya. Tindakan agresif semacam ini sejauh masih dikaitkan dengan tujuan untuk memenangkan pertandingan, adalah masih baik. Namun sering pula tindakan agresif karena meniru yang menjurus ke arah negatif, sehingga hal ini perlu dicegah.

3. Tindakan agresif karena perintah.
Dalam cabang olahraga seperti tinju atau karate atau pencak silat, sering terjadi tindakan agresif karena memang diperintahkan oleh pelatihnya. Sebab dalam cabang olahraga seperti ini, banyak sedikitnya tindakan menyerang juga merupakan unsur yang dinilai. Dengan demikian seseorang yang bertanding hanya bertahan saja, memang perlu diberikan perintah atau instruksi agar lebih agresif, dengan tujuan memperoleh penilaian. Walaupun dalam cabang‑cabang seperti ini mungkin juga tindakan agresif itu menyebabkan luka atau cedera, tetapi tindakan agresif yang dilakukan sebenarnya hanya untuk memenangkan pertandingan, dan memang hanya dengan cara seperti itu yang berlaku dalam cabang olahraga seperti tinju. karate atau pencak silat.

4. Tindakan agresif karena pengaruh kelompok.
Pengaruh kelompok seperti penonton ataupun kelompok pemain sendiri, sering juga dapat merangsang munculnya prilaku agresif. Hal ini karena seseorang yang berada dalam ikatan kelompok, sering berperilaku lain dari pada dalam kedudukannya sebagai individu. Sehingga perilaku agresif jenis ini muncul karena pengaruh dari kelompok tertentu yang mempengaruhi, dan bukan karena frustrasi sebelumnya. Tindakan agresif jenis ini, sebenarnya juga erat kaitannya dengan sifat individu itu sendiri. Pada umumnya memang individu yang memiliki sifat agresif, akan mudah memunculkan sifat agresifnya karena rangsangan dari luar seperti dari penonton misalnya.
Dengan demikian sebenarnya bahwa tindakan agresif (khususnya dalam olahraga), tidak selalu harus dikaitkan dengan gejala frustrasi. Yang diperlukan dalam olahraga adalah agresif untuk memenangkan pertandingan, sehingga justru sifat‑sifat agresif itu harus dapat dimanfaatkan, agar tersalur secara wajar dan terarah dalam aktivitas olahraga yang diikutinya.
Berkaitan dengan agresivitas, sebenarnya ada dua faktor dalam diri manusia yang perlu diperhatikan, yaitu faktor "instigation" dan "inhibitions". Faktor instigation adalah merupakan kekuatan dari dalam diri seseorang, yang dapat menimbulkan motivasi atau dorongan untuk berperilaku agresif. Sedangkan faktor inhibitions adalah merupakan faktor‑faktor dalam diri seseorang yang menentang ekepresi tindakan agresif. Oleh karena itu tampaknya faktor lingkungan memang mempunyai pengaruh yang besar, terhadap mun-culnya perilaku agresif maupun tercegahnya atau tertekannya perilaku agresif. Artinya bahwa faktor "instigation" atau "inhibitions" yang muncul pada saat itu, tergantung kuat dan lemahnya pengaruh penonton (misalnya) yang memanaskan situasi, atau sebaliknya tindakan pelatih yang dapat meredakan situasi. Jika lebih kuat pengaruh penonton yang memanaskan situasi, maka faktor instigation yang akan mendorong realisasi prilaku agresif. Jika tindakan pelatih yang meredakan situasi lebih kuat, maka faktor inhibitions segera merealisasikan pencegahan perilaku agresif.
Jika faktor lingkungan ternyata mempunyai pengaruh besar terhadap munculnya perilaku agresif, maka sebenarnya perilaku agresif dapat diperoleh atau dipelajari melalui lingkungan dan pengalamannya, di samping juga diwarnai oleh sifat‑sifat pribadinya yang lain. Seseorang yang terbiasa dengan menampilkan perilaku agresif dalam merespon setiap frustrasi yang dialaminya, dan tak pernah ada larangan terhadap tindakannya itu, akhirnya sifat agresif menjadi tidak terkontrol. Dari pengalamannya itu, yaitu tindakan agresif yang tak pernah dilarang, hingga setiap tindakan agresif dianggapnya sesuatu yang biasa. Sebaliknya bahwa seseorang yang selalu dilarang dalam setiap tindakan agresifnya, ia juga selalu akan mengontrol dengan ketat setiap pengungkapan agresivitas dalam berbagai kondisi. Seseorang yang agresivitasnya selalu dikontrol dengan ketat, sementara itu frustrasi terus menumpuk, kemungkinannya dapat meledak dengan cara mengalihkan tindakan agresif tersebut kepada lain obyek (orang lain) yang disebut sebagai “displaced aggresion”. Selain itu mungkin juga dapat meledak, dalam bentuk perilaku yang sangat ekstrim berupa tindak kekerasan. Dengan demikian tanpa adanya kontrol maupun dengan kontrol yang kuat, tampaknya memiliki akibat yang kurang baik. Oleh karena itu yang penting bukan "melarang" atau "membiarkan", tetapi memberikan pengertian tentang sesuatu yang dilakukan, di samping pembinaan yang benar tentunya. Selanjutnya diharapkan bahwa dengan pengertian yang benar, akan dapat mengontrol dirinya dan mengendalikan emosinya secara wajar tanpa menimbulkan persoalan lain/baru yang lebih buruk sebagai akibat dari kontrol dan pengendalian diri yang terlalu ketat tersebut.

B A B   IV
KEPRIBADIAN DAN OLAHRAGA
A. Pengertian
Konsep mengenai kepribadian adalah cukup luas, sehingga hal ini justru mendorong para ahli ke arah usaha untuk mendefinisikannya secara tepat, walaupun akhirnya definisi‑definisi yang muncul tetap masih bermacam‑macam. Hal ini karena (seperti yang telah disebutkan di atas) luasnya konsep mengenai kepribadian itu.
Menurut Allport dalam bukunya Cox disebutkan, bahwa kepribadian adalah merupakan pengorganisasian dinamis (pengaturan secara dinamis) mengenai sistem psikologis individu yang menentukan penyesuaian diri secara unik terhadap lingkungannya. Sedangkan Hollander mengemukakan bahwa kepribadian adalah, merupakan keseluruhan karakteristik individu yang membentuk keunikan dirinya.
Adapun ahli lain yaitu Lazarus & Monat dalam bukunya Diane L. Gill menyatakan, bahwa kepribadian adalah keadaan (susunan) psikologis yang unik, atau lebih jelasnya adalah yang mendasari (relatif stabil) mengenai struktur dan proses‑proses psikologis yang mengatur bentuk tingkah laku dan pengalaman seseorang, maupun reaksinya terhadap lingkungan.
Dari batasan mengenai kepribadian seperti di atas, ternyata antara ahli yang satu dengan ahli lainnya secara eksplisit berbeda. Namun demikian dari usaha pendefinisian mereka tampak bahwa sebenarnya telah terdapat keseragaman, bahwa yang jelas kepribadian adalah merupakan keunikan dari masing‑masing individu, sehingga kepribadian dapat dikatakan sebagai pola yang menyeluruh dari karakteristik‑karakteriatik psikologik yang membuat masing‑masing orang merupakan individu yang unik.
Struktur kepribadian menurut Hollander dapat dibedakan ke dalam 3 tingkatan, yaitu psychological cor, typical responses, dan role‑related behaviors. Adapun psychologica1 cor pada dasarnya adalah merupakan inti psikologik, bersifat internal dan konsisten, yang sulit ditembus oleh pengaruh lingkungan. Psychological Cor (inti psikologik) seorang/individu, berpegang pada image (gambaran) seseorang itu tentang dirinya. Artinya bahwa apakah ia seperti kenyatannya, dan hal ini akan menyangkut tentang konsep diri individu itu sendiri. Psychological Cor (inti psikologik) tercermin sebagai suatu perhiasan inti dari kepribadian seseorang, yang menyangkut sikap dasar, nilai, minat, maupun motif.
Typical responses (respon‑respon tertentu/khas) yang lebih bersifat eksternal, adalah berubah‑ubah (dinamis) dan peka terhadap pengaruh lingkungan. Typical responses tercermin pada sikap‑sikap tertentu, di dalam menanggapi situasi lingkungan. Sebagai contoh : seseorang yang menunjukkan perangai tertentu dalam menanggapi keadaan atau situasi tertentu seperti frustrasi, humor, dan kecemasan. Typical responses (respon‑respon tertentu/khas) adalah dipelajarinya cara‑cara yang berkaitan dengan lingkungan, kecuali kalau seseorang itu sedang bersandiwara, atau memang memiliki kepribadian yang tidak atau kurang stabil. Dengan demikian bahwa typical responses adalah merupakan indikator yang meyakinkan (valid), mengenai inti psikologisnya seseorang (psychological cor). Sebagai contoh, jika seseorang merespon (menanggapi) segala situasi lingkungannya dengan perasaan tegang atau ketakutan secara terus menerus (ajeg), berarti yang bersangkutan dapat dikatakan sebagai orang yang sedang menderita kegelisahan atau kecemasan.
Role‑related behavior (prilaku yang berkaitan dengan peran) adalah semacam dengan typical responses, artinya bahwa role‑related behavior juga bersifat eksternal yang peka atau mudah dipengaruhi oleh lingkungan. Role‑related behavior adalah mencerminkan aspek kepribadian yang paling tampak dari luar (menonjol), yaitu seperti pada saat kita menampilkan prilaku‑prilaku yang berkaitan dengan peran kita untuk meluruskan persepsi kita, tentang ling-kungan di mana kita berada atau di mana kita hidup. Artinya bahwa hal ini akan berkaitan dengan sikap seseorang, dalam menghadapi situasi dan kondisi lingkungannya.
Menurut Sigmund Freud dalam teori psikodinamiknya, bahwa kepribadian terdiri dari 3 hal yaitu Id, Ego, dan Super-ego. Adapun "Id" adalah merupakan inti naluriah (instinktif) bawah sadar dari kepribadian, dan merupakan mekanisme pencarian kesenangan atau kepuasan. Sedangkan "Ego" adalah merupakan kesadaran yang bersifat logis dari kepribadian, yang berorientasi pada kenyataan. "Super-ego" adalah merupakan kata hati atau suara hati ataupun merupakan hati nurani manusia, yang berorientasi pada standard moral dalam masyarakat, dan yang mengingatkan seseorang pada kontrol dari orang tua dan proses sosialisasi. Selanjutnya Freud menjelaskan bahwa super-ego membantu dalam pemecahan konflik, yang terjadi antara Id dan Ego.

B. KEPRIBADIAN DAN PENAMPILAN OLAHRAGA.

Sebenarnya sudah sejak tahun 1960 beberapa tinjauan secara mendalam telah dilakukan oleh beberapa ahli, untuk menjelaskan hubungan antara kepribadian dan penampilan olahraga. Sebagian besar dari mereka menyimpulkan bahwa ternyata memang terdapat hubungan secara positif, antara kepribadian dan beberapa aspek penampilan olahraga. Namun demikian bahwa hubungan itu hanyalah hubungan yang bersifat korelasional, bukan merupakan hubungan sebab‑akibat.
Menurut Ogilivie (1968,1976) berdasarkan tinjauan dalam beberapa penelitiannya, menyimpulkan bahwa ada 8 ciri kepribadian yang berhubungan sangat erat dengan penampilan dalam olahraga, yaitu: stabilitas emosional, kekerasan hati (tough‑mindedness), sifat hati‑hati (conscientiousness), disiplin pribadi (self‑discipline), kepastian diri (self‑assurance), kepercayaan (trust), dan keadaan lahiriah (extroversion), juga ketegangan yang rendah (low tension). Sedangkan Cooper (1969) mendapatkan kesimpulan dalam research-nya, bahwa atlet secara jelas berorientasi pada pencapaian prestasi. Selanjutnya Cooper juga memberikan kesannya bahwa atlet cenderung menunjukkan sifat lahiriah, kekuasaan, percaya diri, daya saing, kecemasan rendah, serta tabah. Secara umum bahwa atlet atau mereka yang secara rutin aktif di dalam kegiatan olahraga, memiliki kepribadian relatif berbeda dengan yang bukan atlet atau yang tidak secara aktif terjun dalam kegiatan olahraga. Pada umumnya atlet atau mereka yang aktif secara rutin terjun dalam kegiatan olahraga, lebih bebas, obyektif, dan memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah, dibandingkan dengan non atlet. Selain itu Cooper juga menyebutkan bahwa atlet lebih percaya diri, lebih memiliki rasa kompetitif.
Ashley dan Joy (1977) dalam penelitiannya menunjukkan, bahwa terdapat perbedaan bentuk kepribadian antara atlet‑atlet jenis olahraga beregu (team) dan jenis perorangan (individual), juga antara atlet‑atlet olahraga yang langsung mengalami body contact dengan yang tidak secara langsung mengalami body contact (direct dan parallel sport). Atlet‑atlet olahraga beregu (team) lebih memiliki rasa kekhawatiran atau kecemasan, ketergantungan, dari pada atlet‑atlet olahraga perorangan. Adapun atlet‑atlet dalam direct sport (basket ball, sepak bola), adalah lebih bebas tetapi kurang memiliki kekuatan ego dibandingkan dengan atlet‑atlet parallel sport (volley ball, base ball). Selain itu bahwa pada umumnya pemain sepak bola adalah lebih agresif dan memiliki rasa toleransi dari pada petenis atau pegolf (beregu‑perorangan). Di samping itu bahwa perbedaan bentuk kepribadian terdapat pula pada jenis kelamin yang berbeda, yaitu antara wanita biasa dan wanita yang sukses sebagai atlet, juga antara atlet pria dan atlet wanita maupun pria biasa.
Williams (1980) dalam penelitiannya menyimpulkan, bahwa atlet‑atlet wanita menunjukkan ciri‑ciri kepribadian seperti atlet‑atlet pria maupun pria biasa. Di pihak lain wanita biasa cenderung lebih pasif, bersikap patuh, emosional, agresivitas rendah, kebutuhan prestasi rendah, dan memiliki rasa ketergantungan lebih besar.

B A B    V

P E L A T I H

A. Pengertian

Pelatih yang dimaksudkan adalah seorang atau sekelompok orang yang mengelola atau menangani sekelompok atau seseorang untuk mencapai suatu keberhasilan tertentu. Dengan demikian pelatih olahraga dapat disebutkan sebagai seorang atau sekelompok orang yang mengelola atau menangani sekelompok atau seseorang untuk mencapai prestasi olahraga tertentu yang setinggi‑tingginya. Untuk mencapai tujuan itu, tentunya tidak setiap orang dapat melakukannya. Dengan kata lain bahwa menjadi seorang pelatih olahraga yang ideal, diperlukan syarat-syarat tertentu.

B. Syarat Sebagai Pelatih
pelatih
Telah disebutkan sebelumnya bahwa tidak setiap orang dapat menjadi seorang pelatih, dalam arti pelatih yang baik atau ideal. Agar dapat menjadi seorang pelatih yang baik, diperlukan beberapa syarat tertentu, beberapa di antaranya adalah:
1. Kemampuan Fisik
Seorang pelatih harus memiliki kemampuan secara fisik, yang mencakup tiga hal, yaitu:




a. Kesegaran Jasmani
Seorang pelatih harus selalu siap memberikan contoh‑contoh gerakan yang benar dan baik, di samping memberikan instruksi secara verbal. Untuk keperluan itu diperlukan kesegaran jasmani yang memadai agar tidak terjadi hal‑hal yang tidak diinginkan, karena sesuai dengan pengertian kesegaran jasmani bahwa orang yang segar adalah orang yang “mampu menyelesaikan tugas pekerjaannya sehari-hari tanpa menderita kelelahan yang berlebihan”. "Hal‑hal" yang dimaksud seperti misalnya pada saat melatih seorang pelatih kelihatan lesu, seolah‑olah tidak siap dan sebagainya, akan dapat mempengaruhi keadaan psikhologis bagi anak asuhnya dalam melakukan latihan, di samping kemungkinan cedera saat melatih bagi pelatih sendiri akan lebih besar.
Seorang pelatih yang memiliki tingkat kesegaran jasmani yang baik, diharapkan akan selalu bersemangat dalam menjalankan tugas melatihnya dan tidak kepayahan walaupun harus memberikan contoh‑contoh gerakan dalam latihan. Hal yang demikian diharapkan pula akan dapat mempengaruhi semangat berlatih bagi anak asuhnya, sehingga latihan‑latihan yang diberikan akan terasa menyenangkan dan tidak membosankan. Untuk itu bagi seorang pelatih sangat perlu senantiasa mempertahankan agar keadaan kesegaran jasmani tidak menurun dengan melakukan pemeriksaan medis secara rutin, meng-atur makanan dengan baik, mengatur waktu dengan baik kapan harus beristirahat, bekerja maupun rekreasi, di samping juga secara teratur harus melakukan latihan‑latihan fisik maupun skill yang diperlukan dalam cabang olahraga yang dibinanya.

b. Physical atau Skill Performance
Seorang pelatih harus dapat memberikan contoh gerakan dengan benar dalam cabang olahraga yang dibinanya serta teknik‑ teknik yang diperlukan. Untuk itu seorang pelatih seharusnya selalu mengikuti perkembangan agar dapat sebanyak mungkin  memberikan contoh gerakan teknik yang benar dan baru, sesuai dengan perkembangan cabang olahraga yang dibinanya. Demikian juga jika dalam memberikan teknik‑teknik yang baru itu atlet belum pernah mengetahui sama sekali, sedangkan alat peraga juga tidak ada, maka pelatih harus dapat mendemonstrasikannya dengan benar. Oleh karena itu memang sebaiknya pelatih adalah mantan atlet dalam cabang olahraga yang dibinanya, agar ia benar‑benar mengerti segala kesulitan dan bagaimana mempelajari teknik‑teknik yang dilakukannya secara efektif dan efisien.


c. Proporsi Fisik
Pada umumnya kesan pertama dari anak asuh atau atlet terhadap pelatihnya adalah dari proporsi atau bentuk tubuh. Artinya bahwa proporsi fisik itulah yang dijadikan sebagai penilaian pertama kali terhadap pelatihnya. Untuk itu proporsi fisik yang harmonis dan sesuai dengan cabang olahraga yang akan dibina, sangat diperlukan bagi seorang pelatih. Atlet yang pertama kali bertemu muka dengan calon pelatihnya, terutama akan mengagumi dan lebih menaruh kepercayaan dan kebanggaan terhadap perwujudan orangnya. Kepercayaan itu akan semakin mantap, setelah mengetahui kemampuannya dalam latihan‑latihan yang mulai dilakukan memang dapat dibanggakan. Sebaliknya bentuk fisik atau proporsi fisik ini akan menghilangkan kepercayaan atlet terhadap pelatihnya, bila dari segi fisik sama sekali tidak sesuai dengan cabang yang dibinanya. Sebagai contoh, misalnya seorang pelatih tinju tidak sesuai dengan idealnya seorang mantan petinju (kurus kerempeng), pada waktu pertama kali bertemu dengan para atletnya akan menimbulkan berbagai pertanyaan; benarkah ia yang akan melatih tinju, mampukah ia dan sebagainya. Dengan kata lain bahwa seorang pelatih yang memiliki proporsi fisik sesuai dengan idealnya cabang olahraga yang dibinanya, akan memberikan pengaruh psikologis secara positif. Artinya bahwa untuk pertama kali atlet sudah menaruh kepercayaan padanya, sehingga dalam latihan‑latihan selanjutnya atlet terdorong untuk melakukan instruksi dengan sungguh‑sungguh, dan sudah barang tentu harus ditunjang dengan kemampuan pelatih yang memadai.

2. Kemampuan Psikhologis
Selain kemampuan fisik seperti yang telah dijelaskan sebe-lumnya, seorang pelatih harus memiliki pula kemampuan psikhologis yang memadai. Kemampuan psikhologis yang dimaksud beberapa di antaranya adalah:

a. Memiliki pengetahuan luas dalam bidangnya
Seorang pelatih seharusnya menguasai seluk‑beluk dalam bidangnya secara teoritis maupun praktis. Seorang pelatih harus selalu berusaha untuk menambah dan mengembangkan pengetahuannya, terutama dalam bidangnya baik yang berkaitan langsung dengan cabang olahraga yang dibinanya, maupun secara tidak langsung yaitu ilmu dan pengetahuan pendukungnya seperti anatomi, ilmu jiwa, tes dan pengukuran dan lain sebagainya yang merupakan penunjang dalam pencapaian prestasi olahraga. Hal‑hal tersebut sangat diperlukan agar seorang pelatih dapat secara cepat mengatasi problem‑problem yang timbul selama program latihan berlangsung dan bahkan di arena pertandingan.
Persoalan yang timbul dalam proses melatih tidak semudah dan sesederhana yang diduga oleh banyak orang, sebab obyek yang ditangani adalah manusia. Manusia penuh dengan kemungkinan yang dapat terjadi dalam dirinya, sehingga seorang pelatih harus mempelajari dan mengetahui tentang limu‑ilmu yang berkaitan dengan manusia itu sendiri.

b. Memiliki Inteligensi yang tinggi.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa selama proses melatih tentu akan banyak dijumpai problem atau persoalan, demikian pula selama waktu pertandingan atau perlombaan. Agar dapat menganalisis secara cepat dan mengatasi setiap persoalan yang timbul secara tepat, diperlukan inteligensi yang relatif tinggi bagi seorang pelatih. Dengan kata lain bahwa tinggi rendahnya tingkat inteligensi merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas seorang pelatih.

c. Memiliki daya imajinasi dan kreativitas yang tinggi
Seorang pelatih harus senantiasa meningkatkan dan menyempurnakan terhadap apa yang telah dimiliki oleh para atletnya. Untuk itu jelas diperlukan adanya suatu usaha, yaitu menciptakan sesuatu yang baru, yang lebih baik dari yang sudah ada. Untuk menciptakan sesuatu yang baru dapat pula dilakukan dengan cara merangkai‑ rangkaikan atau mengkombinasikan yang telah ada, sehingga men-jadi sesuatu yang baru. Untuk itu diperlukan daya kreativitas yang tinggi. Seorang pelatih seharusnya tidak akan cepat puas dengan apa yang telah dicapai oleh para atletnya, juga seharusnya tidak cepat puas dengan hanya dapat meniru atau mengikuti dari kerja pelatih‑pelatih lain saja, tetapi harus dapat menemukan sendiri hal‑hal yang baru, demi kemajuan atletnya. Menciptakan sesuatu yang baru memang sulit, tetapi harus selalu diusahakan dan harus dapat dilakukan, agar tidak selalu ketinggalan dengan atlet‑atlet yang ditangani pelatih lain. Untuk itu maka bagi seorang pelatih diperlukan adanya keberanian bertindak, pengetahuan yang luas, pengalaman maupun daya imajinasi yang tinggi, terhadap apa yang akan diciptakan.
Pada saat bertanding, pelatih juga harus pandai menebak strategi yang digunakan lawan, sehingga dengan daya imajinasi mau pun kreativitasnya akan mampu mereka‑reka tentang usaha apa yang sebaiknya atau cocok untuk menangkal bahkan mengungguli strategi lawan, dan diharapkan akhirnya akan dicapai kemenangan bagi timnya. Selain hal‑hal tersebut di atas, pelatih yang memiliki daya imajinasi dan kreativitas yang tinggi, akan mampu menganalisis persoalan yang timbul selama pertandingan berlangsung, sehingga akan dapat memberikan petunjuk selama waktu istirahat atau time out, berdasarkan pengamatannya. Dengan demikian dalam saat yang kritis sekalipun, seorang pelatih harus mampu menganalisis permainan dengan pengamatannya dan dapat memberikan instruksi‑instruksi tertentu, sehingga terwujud bentuk‑bentuk pertahanan maupun penyerangan yang lebih sempurna.

d. Memiliki Keberanian bertindak
Keberanian untuk bertindak adalah salah satu hal yang harus dimiliki seorang pelatih, agar segala apa yang telah direncanakan dapat dilaksanakan. Jika seorang pelatih telah memiliki keberanian untuk melaksanakan apa yang telah direncanakan, maka ia akan memiliki banyak pengalaman dari keberaniannya bertindak tersebut. Berbekal dari pengalamannya yang itu, akan dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk bertindak selanjutnya, di samping disertai pertimbangan akal sehatnya demi kemajuan atletnya, yaitu latihan maupun strategi di arena pertandingan. Sebaliknya jika seorang pelatih kurang memiliki keberanian bertindak, maka semua yang telah direncanakan tidak akan terlaksana sehingga tidak ada artinya. Dengan demikian ia tidak akan pernah memperoleh pengalaman yang sangat berharga bagi tindakan‑tindakan selanjutnya.

e. Memiliki Kestabilan Emosional relatif Baik
Kestabilan emosional yang dimaksudkan beberapa di antaranya adalah:

1) Memiliki kesehatan mental yang baik
Seorang pelatih adalah juga manusia, yang berarti sering mengalami gangguan‑gangguan psikhologis seperti layaknya manusia pada umumnya. Hal ini disebabkan karena tidak semua dorongan‑dorongan kebutuhan hidupnya terpenuhi dan tersalurkan secara memuaskan. Sedangkan kebutuhan manusia adalah sangat kompleks baik kebutuhan jasmani, rokhani, maupun kebutuhan sosialnya. Kadang‑kadang atau bahkan sering bahwa hal yang satu dengan lainnya harus bertentangan untuk mencari jalan keluarnya. Hal inilah yang sering menimbulkan masalah bagi manusia, begitu pula pelatih.
Untuk itu maka, sebagai pelatih saat mengalami problem tertentu, harus mampu mencari jalan ke luar agar tidak menimbulkan pertentangan yang berarti dalam dirinya (walau harus mendahulukan yang satu daripada yang lain), sehingga diharapkan tidak akan mengganggu keseimbangan kejiwaannya. Dengan kata lain bahwa seorang pelatih harus dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang dialami. Untuk keperluan itu, dibutuhkan mental dan emosi yang stabil.

2) Memiliki Sense of humor
Hal ini penting untuk memberikan selingan agar dapat me-ngurangi ketegangan, yang setiap saat dapat timbul dalam menghadapi pertandingan. Memang setiap persoalan yang timbul harus diselesaikan sesuai dengan berat‑ringannya persoalan itu dengan kesungguhan, tetapi tidak harus dengan ketegangan‑ketegangan. Seorang pelatih seharusnya mampu mengubah atau membawa situasi tegang yang sering timbul di antara para atletnya, ke arah suasana yang segar atau rileks, dan bahkan diharapkan dapat menghadapi dan menyelesaikan  persoalan‑persoalan yang rumit (kadang‑kadang persoalan yang rumit akan menyebabkan ketegangan), secara rileks yaitu dalam suasana yang segar, tanpa mengurangi kesungguhan.

3. Memiliki Social Approach yang Baik
Social Approach atau pendekatan sosial bagi seorang pelatih yang dimaksud adalah termasuk di dalamnya:

a. Mudah bergaul sesuai dengan situasinya.
Di dalam latihannya sudah barang tentu atlet ingin meningkatkan prestasinya. Atlet akan lebih bergairah dalam latihan jika merasa senang atau simpatik terhadap pelatihnya. Untuk itu agar seorang pelatih memiliki daya tarik dan simpatik di hadapan para atlet-nya, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah harus mudah dan pandai bergaul. Jika antara pelatih dan atlet sudah terjalin hubungan yang baik, maka diharapkan pelatih akan lebih mudah melaksanakan programnya. Dengan keakraban hubungan batin dan pengertian yang terjalin secara baik antara pelatih dan atlet, diharapkan atlet akan merasa lebih dekat dengan pelatihnya, sehingga berani mengutarakan segala persoalan yang ada pada dirinya. Jika keadaan demikian benar‑benar sudah terwujud, maka seorang pelatih harus benar‑benar dapat menempatkan dirinya sesuai dengan situasinya. Pada saat tertentu seorang pelatih harus dapat berfungsi sebagai ayah, dan mungkin dalam saat dan situasi yang lain harus dapat berfungsi sebagai seorang kakak terhadap adiknya dan bahkan sebagai sahabat karib, tetapi sebaliknya pada saat‑saat tertentu pelatih harus berfungsi sebagai seorang diktator, dimana atlet harus tunduk dan melaksanakan apa yang diinstruksikannya. Satu hal yang mungkin tidak perlu dilakukan oleh pelatih, yaitu mentertawakan atau mengejek atletnya, misalnya atlet mengajukan pertanyaan atau pendapat yang kadang‑kadang memang atlet benar‑benar tidak mengerti, sehingga sering juga mengundang tawa bagi orang lain atau menggelikan. Namun demikian juga perlu diingat bahwa karakter masing-masing atlet berbeda-beda, sehingga tentu saja perlu penanganan yang berbeda pula. Ada atlet yang dapat diubah dengan cara harus diejek, tetapi sebaliknya ada atlet yang diejek menjadi patah semangat atau menjadi rendah diri.

b. Memiliki tingkah laku dan tutur bahasa yang baik.
Harus disadari bahwa seorang pelatih akan banyak ditiru segala tingkah lakunya oleh para atletnya. Untuk itu sebagai seorang pelatih harus benar‑benar korektif terhadap segala yang dilakukannya.  Atlet akan  merasa bangga memiliki pelatih yang disegani dan dikagumi oleh orang lain. Untuk itulah seharusnya pelatih dapat menjadi model bagi atletnya maupun masyarakat di sekelilingnya, dalam arti sebagai manusia yang dapat dijadikan sebagai contoh bagi orang banyak. Agar dapat mewujudkan hal itu sudah barang tentu merupakan tugas yang tidak ringan, dalam arti harus selalu dapat mengatur hidupnya, kebiasaannya, tingkah lakunya maupun tutur bahasanya dengan  baik, sehingga akan terbukti adanya kesamaan antara kata dan perbuatan. Justru yang lebih penting adalah contoh sehari‑hari dalam hidupnya itu, daripada banyak ceramah atau anjuran namun pelatih sendiri tidak pernah melaksanakan apa yang dikatakannya sebagai sesuatu yang baik.


B A B   VI

TAKHAYUL

A. Pengertian Takhayul


takhayul-0Yang dimaksudkan dengan takhayul adalah adanya suatu anggapan bahwa benda atau tingkah laku tertentu memiliki tenaga/kekuatan di luar kemampuan manusia, yang dapat mempengaruhi keberhasilan/keberuntungan dan kegagalan atau kesialan bagi yang melakukannya, yang sebenarnya tidak benar sama sekali. Seperti halnya yang banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat, dalam dunia olahraga dapat pula terjadi adanya takhayul. Anggapan seperti di atas (takhayul) biasanya tanpa dilandasi dengan pertimbangan akal sehat, sehingga tindakannya juga kurang atau tidak rasional pula.
Perbuatan tertentu yang secara ajeg dilakukan oleh seseorang/atlet sebelum pertandingan atau perlombaan dimulai, secara tidak disadari dapat berubah menjadi takhayul. Alat perlengkapan atau benda‑benda lain seperti kostum dijadikan titik tumpu harapan yang berlebih‑lebihan. Sehingga sesuatu atau benda‑benda  itu akan dijadikan sebagai maskot dalam setiap pertandingan atau perlombaan.  Oleh karena itu menurutnya maskot harus selalu dibawa atau dikenakan dalam setiap perlombaan atau pertandingan. Jika tidak, pasti kalah walaupun sebenarnya kekalahan itu hanya kebetulan saja maskot tidak dibawanya. Hal ini terjadi karena kebiasaan seseorang suka menghubung‑hubungkan kekalahan atau kemenangannya dengan apa yang pernah dilakukan sebelum bertanding atau berlomba. Sebagai contoh bahwa setiap kemenangannya kebetulan saja selalu mengenakan kostum merah, dan sewaktu kalah kebetulan pula tidak mengenakan kostum merah. Kejadian yang demikian biasanya sebagai awal salah satu sebab seseorang terjerumus ke dalam hal‑hal yang bersifat takhayul, walaupun sekali lagi bahwa sebenarnya hal‑hal yang terjadi itu hanya kebetulan saja.
Melihat sejarah perkembangan peradaban bangsa kita (Indonesia) ini, agaknya memang masih sulit untuk menghapus kepercayaan terhadap adanya takhayul ini. Namun demikian bagi para pelatih atau pembina yang seharusnya bertindak secara rasional terhadap anak asuhnya, haruslah berhati‑hati dalam menangani hal ini, agar tidak terjadi hal‑hal yang tidak diinginkan. Yang jelas, percaya dengan apa yang disebut takhayul akan banyak akibat negatifnya.
Seseorang yang terjun di arena pertandingan atau perlombaan lebih banyak berharap kepada maskot yang dibawanya, sudah barang tentu akan kurang dalam persiapan lainnya (karena sudah yakin akan kemenangannya setelah membawa maskot). Jika Persiapan secara fisik maupun teknik dan strategi kurang memadai, maka sudah barang tentu hasil yang dicapai akan jauh dari memuaskan. Namun demikian mempercayai dan melakukan hal‑hal yang bersifat takhayul tidak seluruhnya jelek, artinya masih ada beberapa hal yang dapat dimanfaatkan dari kepercayaannya terhadap takhayul itu.

 

B. Manfaat positif dari takhayul


Telah dijelaskan sebelumnya bahwa mempercayai dan melakukan hal‑hal yang bersifat takhayul akan lebih banyak menderita kerugian. Jika disebutkan "lebih banyak" menderita kerudian, maka berarti masih ada hal‑hal yang sifatnya positif. Khususnya bagi pelatih atau pembina olahraga, oleh karena memang kenyataannya masih sulitnya menghilangkan kepercayaan adanya takhayul ini, maka hendaknya justru dapat memanfaatkan hal‑hal positif dari adanya kepercayaan terhadap takhayul ini, walau hanya relatif lebih kecil. Memanfaatkan hal‑hal yang positif ini, yang dimaksudkan adalah dari sisi psikhologisnya. Seorang atlet yang mempercayai adanya takhayul, sudah barang tentu akan memiliki rasa percaya diri sewaktu ia membawa benda (maskot) yang dianggapnya memiliki kekuatan di luar kemampuan kita (manusia). Rasa percaya diri atau keyakinan akan kemampuannya inilah yang harus dimanfaatkan. Seseorang yang sudah memiliki rasa parcaya diri akan kemampuannya dalam pertandingan, diharapkan dapat mempengaruhi pula dalam penampilannya di lapangan, dalam arti bahwa rasa percaya diri ini diharapkan akan menambah kemantapannya di dalam segala tindakan atau penampilannya, sehingga akan dapat mengurangi penampilan yang sifatnya ragu‑ragu. Jika keragu‑raguan sudah banyak berkurang atau bahkan hilang sama sekali, sekarang tinggal bagaimana seorang pelatih itu membina atau mengolah secara fisik, teknik dan taktiknya. Jika pembinaan secara ilmiah sebelumnya sudah dilakukan dengan benar, maka kepercayaan terhadap takhayul yang belum dapat dihilangkan sama sekali itu, justru akan dapat memberikan sumbangan secara positif (dari segi psikhologis) terhadap penampilannya di arena pertandingan atau perlombaan.

C. mengatasi atlet yang masih mempercayai takhayul.

Mempercayai adanya takhayul jelas merupakan sesuatu yang irasional dan tanpa dasar akal sehat. Oleh karena itu banyak akibat yang sifatnya negatif, sehingga akan lebih banyak pula menimbulkan kerugian. Untuk itu jelas bahwa hal‑hal yang bersifat takhayul sebaiknya diusahakan untuk dihilangkan. Namun demikian menghilangkan kepercayaan seseorang terhadap takhayul adalah tidak semudah yang dikatakan/diperkirakan orang, sehingga diperlukan tindakan yang bijaksana untuk mengatasinya. Oleh karena di samping banyak hal yang sifatnya negatif dari kepercayaan adanya takhayul ini juga ada pula hal‑hal yang sifatnya positif, maka beberapa hal di bawah ini mungkin dapat dilakukan untuk mengatasi atlet‑atlet yang masih percaya adanya takhayul.
1.     Program latihan secara ilmiah (benar) tetap dilaksanakan sesuai rencana.
2.    Perjumpaan setiap kali latihan diberikan ceramah‑ceramah tertentu yang sifatnya merasionalkan alam fikiran atlet, yang dilakukan sedikit demi sedikit.
3.    Di dalam mengubah alam fikiran mereka agar ditempuh cara tertentu sehingga tidak menimbulkan kesan mengubah/melarang terlalu drastis.
4.   Agar di dalam mengadakan perubahan alam fikiran mereka tidak menyinggung perasaannya, yaitu diusahakan tidak menyinggung masalah takhayul terlalu mencolok dalam setiap ceramah atau pengarahan yang diberikan.
5.    ceramah diutamakan dan diarahkan dalam hal keagamaan.
Hal‑hal di atas dilakukan apabila atlet yang dibina masih dalam jangka waktu latihan, yaitu  jauh sebelum turun di arena pertandingan atau perlombaan. Namun jika sewaktu terjun di arena pertandingan ternyata masih terdapat atlet yang bertindak atau menggunakan benda‑benda yang berbau takhayul, maka tindakan yang mungkin dapat dilakukan adalah membiarkan atlet membawa atau menggunakan maskotnya, selama tidak mengganggu jalannya pertandingan atau perlombaan. "Membiarkan" yang dimaksudkan bukan berarti pelatih harus menyetujui adanya tindakan yang berbau takhayul itu, tetapi  justru memanfaatkan dari sisi psikologisnya. Mengingat merasionalkan orang yang masih mempercayai adanya takhayul adalah tidak mudah dan diperlukan waktu yang relatif lama, sehingga tidak akan mungkin mengubahnya pada saat ia melakukan pertandingan. Jika seseorang atlet masih melakukan haI‑hal atau membawa benda‑benda yang berbau takhayul pada saat pertandingan kemudian dilarang oleh pelatihnya pada saat itu juga, akibat yang dikhawatirkan akan terjadi adalah bahwa atlet yang semula sudah memiliki kepercayaan diri untuk menang (karena merasa memiliki kemampuan yang "lebih" berkat maskot yang dibawanya), justru akan menjadi sebaliknya, yaitu menjadi kehilangan kepercayaan diri, sehingga penampilannya justru menjadi lebih buruk dari biasanya atau lebih buruk dari pada kemampuan yang sebenarnya ia miliki. Hal ini kemungkinan besar akan terjadi, karena atlet yang percaya benar terhadap maskotnya, kemudian secara mendadak maskot yang dibawanya dipaksa untuk ditinggalkan atau dibuang, maka ia akan merasa kehilangan segala kekuatan dan kemampuannya, karena "sesuatu" yang diharapkan dapat memberikan bantuan di luar kemampuannya itu telah hilang. Jika keadaan sudah demikian, maka segala penampilannya menjadi serba ragu‑ragu dan akhirnya prestasi atau kemampuan yang sebenarnya ia miliki tidak akan dapat ditampilkan dengan baik dan berarti akan mempengaruhi prestasinya (akan menurun) dan lebih buruk dari yang sebenarnya.




DAFTAR PUSTAKA

Bird, Anne Marie, Ph.D. and Cripe, Bernette K., M.S. 1986. Psychology and Sport Behavior. ST. Louis. Toronto. Santa Clara: Times Mirror/Mosby College Publishing.
Cox, Richard H. 1985. Sport Psychology, Concepts and Applications. Iowa: Wm. C. Brown Publishers, Dubuque.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jendral Olahraga dan Pemuda. 1974. Ilmu Jiwa Olahraga. Jakarta: Dep. P dan K.
DR. Sudibyo Setyobroto. 1989. Psikologi Olahraga. Jakarta: PT. Anem Kosong Anem.
Gill, Diane L. Ph.D. 1986. Psychological Dynamics of Sport. Champaign, Illinoin: Human Kinetics Publishers Inc.
Ndong Kamtomo. Psikologi Olahraga. Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Dep.Dik.Bud. Jakarta.
Prof.Dr. Singgih D. Gunarsa dkk. 1989. Psikologi Olahraga. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Saparinah S. Sumarmo Markam. 1982. Psikologi Olahraga, Buku tuntunan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Kesegaran Jasmani dan Rekreasi Proyek Pembinaan Kesegaran Jasmani dan Rekreasi.
Suinn, Richard M. 1980. Psychology In Sports. Minneapolis, Minnesota: Burgess  Publishing  Company.
Sumadi Suryabrata, (BA,Drs.,M.A,Ed.S,Ph.D.). 1971. Psikologi Pendidikan. Jakarta: CV. Rajawali.
Susan Butt, Dorcas. 1976. Psychology of Sport . New York: Van Nonstrand Reinhold Company.
Tutko, Thomas, Ph.D. and Tosi, Umberto. 1976. Sports Psyching. Los Angeles: J.P. Tarcher, Inc.
Verducci, Frank M., Ed.D. 1980. Measurement Concepts in Physical  Education. ST.Louis. Toronto. London: The C.V. Mosby company.



1 komentar: